DESAKKAN ENAM TUNTUTAN KADES
SURABAYA – Kepala Desa (kades) yang tergabung dalam Asosiasi Kepala Desa (AKD) Jawa Timur akan kembali ngluruk Jakarta, Minggu – Senin (2-3/10) besok. Tapi kali ini yang berangkat ke Jakarta tidak seluruh pengurus AKD di Jatim seperti saat menggelar aksi demonstrasi pada 15 Juli lalu. Kali ini hanya belasan pengurus yang akan menemui sejumlah anggota Komisi II DPR RI.
Ketua AKD Jatim, Samari, saat dihubungi Jumat mengatakan, para pengurus harian AKD Jatim akan bertemu dengan sejumlah anggota Komisi II dalam pertemuan informal. “Kami akan bertemu di Gedung DPR atau tempat lain yang ditentukan. Tidak seperti saat 15 Juli lalu, seluruh pengurus AKD di Jatim ikut dan sempat diterima Ketua DPR Marzuki Alie, kali ini hanya pengurus harian AKD Jatim saja,” katanya.
Dikatakan, ada enam tuntutan AKD Jatim kepada pemerintah pusat. Pertama, berkaitan dengan kedudukan kades yang tak jelas, yakni apakah politis atau birokratis. “Bila politis, mengapa kades tak boleh jadi pengurus parpol. Tapi bila birokratis, mengapa pula kesejahteraan kades tidak setara dengan kaum birokrat lain. Ini yang harus jelas. Selama ini kades seolah hanya tukang stempel dan pengantar surat saja, dari pemerintah kabupaten ke kecamatan, misalnya soal surat nikah dan KTP. Padahal kades kan esensinya sama dengan presiden, bupati, atau gubernur,” katanya.
Kedua, mendesak agar ada anggaran desa 5-10 persen yang dialokasikan di APBN. Hal itu karena pembangunan seharusnya dilakukan berbasis pada desa sebab desa menjadi masalah utama bangsa. Mulai masalah kemiskinan, pengangguran, hingga terjadi urbanisasi, semuanya terjadi karena desa tidak menjadi fokus utama pembangunan. Selama ini pembangunan desa masih sebatas jargon dan kamuflase. “Desa hanya diiming-imingi saja, tidak pernah direalisasikan,” katanya.
Padahal bila desa makmur, masyarakatnya sejahtera, negara pasti berjaya. Bahkan bila perlu harus ada menteri urusan desa. Bukan menteri negara percepatan pembangunan daerah tertinggal yang sejatinya mengurusi desa-desa miskin.
“Sekarang banyak terjadi kemiskinan di desa, yang sebagian di antara warga miskin itu akhirnya terpaksa memasuki kota hingga menjadikan kota kumuh. Bila desa makmur tak akan ada urbanisasi. Karena itu harus ada dana untuk menggerakkan pembangunan desa,” katanya.
Dan bila permintaan AKD ini dikabulkan, kata dia, harus disertai regulasi baru yang mengaturnya. Hal itu agar tidak terjadi penyalahgunaan dalam penggunaaan dana desa tersebut. “Kami tak ingin ada kades atau yang lain melakukan penyimpangan sehingga berurusan dengan hukum,” katanya.
Ketiga, masa jabatan kades delapan tahun. Hal itu karena frekuensi pertemuan antara warga dengan pemimpinnya sangat intensif sehingga kades akan sangat dekat dengan warganya. Kades bila terpilih langsung membuat dan melaksanakan program bersama warganya. Berbeda dengan bupati, gubernur, apalagi presiden yang tidak bisa langsung atau sewaktu-waktu bertemu dengan warganya.
“Mereka akan menghadapi petugas pengamanan bila ingin bertemu bupati, gubernur, atau presiden. Warga yang ingin bertemu kades bisa sewaktu-waktu, jadi hubungannya lebih dekat,” katanya.
Keempat, soal kesejahteran kades dan perangkat desa. “Seharusnya mereka mendapat tunjangan minimal sesuai UMK masing-masing kabupaten. Ini amanat PP No. 72/2005, sehingga bila tidak dilaksanakan melanggar konstitusi,” katanya.
Kelima, tak ada larangan kades menjadi pengurus parpol. “Kades itu jabatan politis. Sama dengan bupati, gubernur, atau presiden. Bila bupati boleh jadi pengurus parpol, kades juga seharusnya juga boleh. Bila tidak boleh, apa alasannya? Apa ada ketakutan la wong kades tak punya anggaran,” katanya.
Keenam, meminta perangkat desa menjadi PNS. “Ini bukan kades tapi perangkat desa sebab kades jabatan politis. Enam tuntutan ini kami ajukan, kami siap berdiskusi soal enam tuntutan kami ini dengan pemerintah pusat. Dengan para anggota DPR,” katanya. * gas
SURABAYA – Kepala Desa (kades) yang tergabung dalam Asosiasi Kepala Desa (AKD) Jawa Timur akan kembali ngluruk Jakarta, Minggu – Senin (2-3/10) besok. Tapi kali ini yang berangkat ke Jakarta tidak seluruh pengurus AKD di Jatim seperti saat menggelar aksi demonstrasi pada 15 Juli lalu. Kali ini hanya belasan pengurus yang akan menemui sejumlah anggota Komisi II DPR RI.
Ketua AKD Jatim, Samari, saat dihubungi Jumat mengatakan, para pengurus harian AKD Jatim akan bertemu dengan sejumlah anggota Komisi II dalam pertemuan informal. “Kami akan bertemu di Gedung DPR atau tempat lain yang ditentukan. Tidak seperti saat 15 Juli lalu, seluruh pengurus AKD di Jatim ikut dan sempat diterima Ketua DPR Marzuki Alie, kali ini hanya pengurus harian AKD Jatim saja,” katanya.
Dikatakan, ada enam tuntutan AKD Jatim kepada pemerintah pusat. Pertama, berkaitan dengan kedudukan kades yang tak jelas, yakni apakah politis atau birokratis. “Bila politis, mengapa kades tak boleh jadi pengurus parpol. Tapi bila birokratis, mengapa pula kesejahteraan kades tidak setara dengan kaum birokrat lain. Ini yang harus jelas. Selama ini kades seolah hanya tukang stempel dan pengantar surat saja, dari pemerintah kabupaten ke kecamatan, misalnya soal surat nikah dan KTP. Padahal kades kan esensinya sama dengan presiden, bupati, atau gubernur,” katanya.
Kedua, mendesak agar ada anggaran desa 5-10 persen yang dialokasikan di APBN. Hal itu karena pembangunan seharusnya dilakukan berbasis pada desa sebab desa menjadi masalah utama bangsa. Mulai masalah kemiskinan, pengangguran, hingga terjadi urbanisasi, semuanya terjadi karena desa tidak menjadi fokus utama pembangunan. Selama ini pembangunan desa masih sebatas jargon dan kamuflase. “Desa hanya diiming-imingi saja, tidak pernah direalisasikan,” katanya.
Padahal bila desa makmur, masyarakatnya sejahtera, negara pasti berjaya. Bahkan bila perlu harus ada menteri urusan desa. Bukan menteri negara percepatan pembangunan daerah tertinggal yang sejatinya mengurusi desa-desa miskin.
“Sekarang banyak terjadi kemiskinan di desa, yang sebagian di antara warga miskin itu akhirnya terpaksa memasuki kota hingga menjadikan kota kumuh. Bila desa makmur tak akan ada urbanisasi. Karena itu harus ada dana untuk menggerakkan pembangunan desa,” katanya.
Dan bila permintaan AKD ini dikabulkan, kata dia, harus disertai regulasi baru yang mengaturnya. Hal itu agar tidak terjadi penyalahgunaan dalam penggunaaan dana desa tersebut. “Kami tak ingin ada kades atau yang lain melakukan penyimpangan sehingga berurusan dengan hukum,” katanya.
Ketiga, masa jabatan kades delapan tahun. Hal itu karena frekuensi pertemuan antara warga dengan pemimpinnya sangat intensif sehingga kades akan sangat dekat dengan warganya. Kades bila terpilih langsung membuat dan melaksanakan program bersama warganya. Berbeda dengan bupati, gubernur, apalagi presiden yang tidak bisa langsung atau sewaktu-waktu bertemu dengan warganya.
“Mereka akan menghadapi petugas pengamanan bila ingin bertemu bupati, gubernur, atau presiden. Warga yang ingin bertemu kades bisa sewaktu-waktu, jadi hubungannya lebih dekat,” katanya.
Keempat, soal kesejahteran kades dan perangkat desa. “Seharusnya mereka mendapat tunjangan minimal sesuai UMK masing-masing kabupaten. Ini amanat PP No. 72/2005, sehingga bila tidak dilaksanakan melanggar konstitusi,” katanya.
Kelima, tak ada larangan kades menjadi pengurus parpol. “Kades itu jabatan politis. Sama dengan bupati, gubernur, atau presiden. Bila bupati boleh jadi pengurus parpol, kades juga seharusnya juga boleh. Bila tidak boleh, apa alasannya? Apa ada ketakutan la wong kades tak punya anggaran,” katanya.
Keenam, meminta perangkat desa menjadi PNS. “Ini bukan kades tapi perangkat desa sebab kades jabatan politis. Enam tuntutan ini kami ajukan, kami siap berdiskusi soal enam tuntutan kami ini dengan pemerintah pusat. Dengan para anggota DPR,” katanya. * gas
No comments:
Post a Comment