vesta tua bekas tumpangan Jendral Timur Pradopo di kampung halamannya
Dipilihnya Jendral Pol Timur Pradopo menjadi Kapolri tidak hanya membanggakan keluarganya, tapi juga teman, tetangga dan juga gurunya. Mereka satu suara, sangat bangga melihat Jendral Pol Timur Pradopo dilantik menjadi orang nomor satu di kepolisian negeri ini.
Karena itu, mengiring tugas mulia Timung, demikian keluarga, tetangga, teman dan gurunya biasa menyebut Timur Pradopo, berpesan agar ia bisa menjadi pemimpin yang amanah. Mereka juga mendoakan agar Timung bisa membawa polisi lebih dicintai dan dekat dengan rakyat.
“Saya ikut bangga, salah satu anak didik kami akan menjadi orang nomor satu di kepolisian. Saya yakin Komjen Timur Pradopo bisa mengemban amanah, menjadi kepala polisi yang dicintai anak buah dan rakyat. Sebab, sejak masih muda, ia selalu bersahaja meskipun pandai. Ia juga pendiam dan tidak pernah neko-neko,” kata Siswoko Kepala SDN Gempol Legundi, ketika ditemui beberapa waktu lalu.
Hal senada juga disampaikan Slamet Santoso, teman sekelas Timur Pradopo semasa sekolah di SD Gempol Legundi I. Menurut Slamet, bakat kepemimpinan anak pertama dari tujuh bersaudara pasangan Sigit Saiundan Sriyati itu, memang terlihat sejak SD. Kepandaiannya di atas rata-rata teman sebayanya. Namun sebagai anak desa dari keluarga guru, Timur Pradopo tetap bersahaja dan tak pernah memilih-milih teman.
Selepas menyelesaikan pendidikan di SDN Gempol Legundi tahun 1968, Timur Pradopo kemudian melanjutkan ke SMP Katolik di Kertosono dan SMA Negeri Kertosono. Setelah itu, masuk AKABRI Kepolisian (Sekarang Akpol, red) dan lulus 1978.
“Sejak jadi polisi saya jarang ketemu, maklum tugasnya Timung kan berpindah-pindah. Tapi kalau pas dia pulang ke desa, dia sering menemui teman-teman semasa kecilnya, termasuk saya. Biasanya, kalau pulang itu selesai lebaran, tapi masih dalam bulan syawal,“ kata Slamet mengenang temannya seraya menyebut kebiasan Timur Pradopo naik vespa kalau keliling desa menemui teman-temannya.
Dan, sejak kesibukannya bertambah seiring dengan jabatan yang diemban semakin tinggi, Timur Prdapo jarang pulang ke desa. Terlebih setelah orang tuanya, Sigit Saiun, meninggal dunia. Sedangkan ibunya, Sriyati, sepeninggal suaminya kini tinggal bersama adik Timur Pradopo di Perum Sengon, sehingga ia nyaris tidak pernah pulang ke desanya.
Kesederhanaan Timur Pradopo kecil, remaja hingga menjadi polisi juga diungkapkan Suwarti (77), bibinya yang hingga sekarang masih menetap di desanya. Menurut Suwarti, meski keponakannya itu sudah menjadi orang berada dan pangkat, namun Timur Pradopo tetap hidup sederhana.
Bahkan dengan keluarga besarnya, yang hingga sekarang banyak yang tinggal di desa, tak pernah dilupakannya. Jalinan tali silaturahim tetap dilakukan Komjen Timur Pradopo, meskipun hanya setahun sekali pada saat lebaran. Ia biasanya mendatangi rumah-rumah saudaranya itu di desa.
“Sejak dulu rumahnya ya seperti itu, tidak pernah direhab. Kalau pas pulang ke sini (maksudnya, ke Desa Gempol Legundi, red) ya ke rumah situ. Terakhir dibangun waktu bapaknya masih ada. Sekarang ibunya ikut adiknya di Jombang, rumah itu jadi kosong,“ cerita Suwarti dalam Bahasa Jawa, seraya menunjuk bangunan rumah yang tak terurus di timur rumahnya itu.
Diceritakan, kesederhanaan keponakannya itu memang terlihat sejak kecil. Sewaktu ditinggal tugas orang tuannya di Blitar menjadi guru, pengawasan sehari-hari Timur Pradopo dititipkan pada keluarga Sigit (almarhum, paman Timur Pradopo) dan Suwarti, bibinya yang kebetulan rumahnya bersebelahan.
Sebagai anak tertua dari tujuh bersaudara, ceritanya lagi, Timung tidak banyak berbicara dan cenderung pendiam. Ia selalu memberi contoh pada adik-adiknya, baik soal kedisiplinan maupun kerja keras. Timur juga tak pernah berleha-leha atau berpangku tangan untuk menggapai keinginannya. “Dia memang gigih kalau punya keinginan, tapi tidak banyak omong. Dia pekerja keras,“ tuturnya.
Diungkapkan juga, sebetulnya setelah tamat SMA Timur Pradopo ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, tujuannya agar bisa mengajar seperti orang tuanya. Namun tahu kondisi orang tuanya saat itu tidak memungkinkan, sehingga ia harus berpikir dua kali.
Apalagi enam adiknya ketika itu juga masih butuh biaya. Sementara gaji orang tuanya yang menjadi guru, tidak mungkin membiayai kuliah. Karena itu, setamat SMA ia berkeingin langsung mencari kerja. Timur kemudian mencoba masuk AKBRI Kepolisian dan ternyata lulus dan diterima.
“Semoga Timur bisa mengemban amanah, bisa mengayomi seluruh masyarakat, menegakkan hukum di negeri ini dengan jujur dan adil. Semoga Alloh selalu membimbingnya,“ harap Siswoko, Kepala SDN Gempol Legundi, Slamet teman sekolah dan Suwarti, bibinya.(tni)
No comments:
Post a Comment