Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Mengenang Nurcholis Madjid Cendekiawan yang Selalu Dikenang Lawan dan Kawan

Saturday, October 29, 2011 | 12:39 WIB Last Updated 2011-10-29T05:43:02Z

“Kita lebih bersatu dari pada berketuhanan, dari pada bermusyawarah dan dari pada berkeadilan sosial. Agama memang suprarasional, tetapi tidak bertentangan dengan rasio. Hanya berada pada tingkat yang lebih tinggi. Agama yang tidak bisa bertahan hidup terhadap ilmu dan teknologi, bukan agama lagi“.

Kata-kata tersebut disampaikan Prof Dr Nurcholis Madjid, cendekiawan muslim terkemuka di negeri ini. Pria asli Jombang ini juga dikenal sebagai seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam di Indonesia, pasca KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan KH Hasyim Asyari yang membidani berdirinya jamiyah Nahdlatul Ulama (NU).

Bagi penerus gelombang modernisasi Islam, khususnya di Indonesia, tentu tidak bisa lepas dari pengaruh sosok Nurcholis Madjid. Beranjak dari keyakinan bahwa tidak ada yang sakral kecuali Allah, lahirlah motonya yang sangat terkenal “Islam Yes, Partai Islam No“.

Nurcholis Madjid lahir di Jombang, 17 Maret 1939. Cemerlang, itulah Nurcholis kecil. Pelajaran ilmu pengetahuan alam dan matematikayang menjadi mimpi buruk bagi sebagian besar anak sebayanya, dapat ia menangkan dengan nilai 9. Haji Abdul Madjid, pemilik yayasan sekaligus guru Madrasah Al Wathaniah, tempat Nurcholis belajar, menjadin serba salah karena harus menyerahkan hadiah juara berulang kali kepada anak yang sama, yakni Nurcholis Madjid yang tak lain anaknya sendiri.

Cita-citanya dulu adalah menjadi masinis kereta api. Tetapi tahun-tahun berikutnya, Cak Nur, demikian ia biasa disapa, semakin eksis sebagai pemegang kemudi pembaharuan Islam. Sewaktu belajar di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cak Nur pernah menjadi Ketua Umum HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) selama dua periode dari 1967-1971 Selama di HMI itu pula ia menyarankan pembaharuan pemikiran Islam yang mengundang polemic luas.

Ia berpendapat bahwa fikih, akidah, akhlak dan tasawuf yang ada sudah tidak memadai dan relevan lagi bagi umat Iskan du zaman modern ini. Pada 1984, Cak Nur berhasil memboyong gelar doctor filsafat Islam dari Universitas Chicago, dengan judul disertasi Ibn Taimiyah on Kalam and Falsafa.

Di pentas politik, meski Cak Nur tidak terjun langsung, tapi ia sering menggebrak melalui pemikiran-pemikirannya. Salah satu pemikiranya yang paling terkenal adalah tentang sekulerisasi –tidak mencoblos partai Islam bukan berarti Islam—atau tentang negara Islam, Pancasila sebagai idiologi yang terbuka, juga soal toleransi beragama. Boleh dibilang, Cak Nur adalah guru bangsa. Hampir semua pejabat atau tokoh masyarakat selalu bertanya kepada Cak Nur jika menghadapi persoalan pelik. Bahkan mantan Presiden Soeharto yang terkenal sebagai orang kuat selama tiga dasa warsa kekuasannya, pada akhirnya hanya bisa menurut ketika Cak Nur mengatakan, „Pak Harto, sampai sekarang rakyat itu tidak mengerti reformasi kecuali Anda turun“.

Gagasan Cak Nur tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Ia menganggap penting pluralisme, karena ia meyakini bahwa pluralisme adalah bagian dari ketentuan Tuhan yang tak terelakkan. Ia kemudian mengembangkan pemiliran pluralisme itu dalam bingkai civil society, demokrasi dan peradaban.

Menurutnya, jika bangsa Indonesia mau membangun peradaban, pluralisme adalah inti dari nilai peradaban itu sendiri. Termasuk di dalamnya penegakan hukum yang adil dan pelaksanaan hak azasi manusia. Pemikiran Cak Nur yang paling menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam adalah saat ia melontarkan “Islam Yes, partai Islam No”.

Nur Cholis ketika itu menganggap partai politik sudah menjadi ’Tuhan’ baru bagi orang-orang Islam. Partai atau organisasi Islam dianggap sakral dan orang Islam yang tak memilih partai Islam dalam pemilu dituding melakukan dosa besar. Bahkan bagi sebagian kalangan, mengharamkan memilih partai tertentu yang bukan Islam. Padahal, orang Islam menyebar dimana-mana. Sementara waktu itu, sedang tumbuh obsesi persatuan Islam.

Cak Nur melawannya dengan menawarkan pemikiran baru bahwa dalam semangat demokrasi, tidak harus bersatu dalam organisasi karena keyakinan. Tetapi bersatu dalam konteks yang lebih luas yaitu kebangsaan.Karena pemikirannya yang dianggap menentang arus, tuduhan negatif datang kepadanya, mulai dari pemikir aktivis gerakan Islam sampai peneliti asing.

Dan, ketokohan Cak Nur sebagai pemikir yang disegani kawan dan lawan ini terlihat ketika Cak Nur dipanggil Sang Khalik pada 29 Agustus 2005. Ratusan tokoh nasional, cendekiawan, politisi, budayawan, agamawan hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, termasuk Wapres Yusuf Kalla saat itu ikut melayat suami Omi Komariah dan bapak dari Nadia Madjid serta Ahmad Mikail. Bahkan kebesaran salah satu putra terbaik Jombang ini pun sampai sekarang tetap dikenang dan diabadikan mansyarkat Indonesia. Ia dikenal sebagai “Guru Bangsa, Pembaharu dan Pemikir Islam“.(oni)

No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update