SAMARI |
Demo perangkat desa |
JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sudah merampungkan penyusunan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa. Ada enam hal krusial dalam RUU yang sudah disetujui oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu, termasuk soal alokasi anggaran sebesar 10 persen untuk desa. Namun anggaran ini tidak dari pusat melainkan diambil dari anggaran Pemkot/Pemkab.
"Tadi kita menguji draf yang sudah kita harmonisasi. Pak Presiden sudah setuju. Tadi Presiden bilang prinsip saya (presiden) setuju," ujar Mendagri Gamawan Fauzi usai rapat kabinet di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (6/12) kemarin.
Gamawan menegaskan, pasal-pasal krusial yang ada dalam draft RUU Desa semuanya sudah disepakati. Ada pun enam isu krusial dalam RUU Desa yakni tentang kedudukan desa, penataan desa, kewenangan desa, penyelenggara pemerintahan desa, keuangan desa, serta pembangunan desa, dan kawasan pedesaan.
Sekilas Gamawan menjelaskan kesepakatan yang diambil di antaranya menyangkut pengaturan dana desa. "Dana desa itu pasti ada," katanya.
Nantinya desa memiliki kewenangan penuh untuk mengatur dana tersebut. Hal itu menegaskan otonomi yang dimiliki Provinsi dan Kabupaten Kota. "Kalau dana itu ke kabupaten biar kabupaten yang atur besarnya dana alokasi untuk desa masing-masing," katanya. Untuk itu disepakati anggaran 10 persen untuk desa diambil dari anggaran daerah yang akan diatur oleh Pemkab. "Tentunya akan ada pengaturan dana desa dari sumber-sumber. Jadi tidak seperti itu, dipatok 10 atau 5 persen, tapi dana desa. Desa itu kan bagian dari kabupaten, jadi biar kabupaten yang mengaturnya," katanya.
Gamawan mengatakan, anggaran tidak diatur atau diberikan dari pusat karena hal itu akan melanggar ketentuan otonomi daerah. "Karena desa bagian dari kabupaten jadi biar itu diatur oleh kabupaten," katanya. Draf yang saat ini masih berada di tangan Mendagri, kata dia, dalam minggu ini akan dikirimkan ke Presiden bersama dengan pengantarnya. "Saya segera mengajukan ampres (amanat presiden), pengantar presiden mungkin dalam minggu ini. Mudah-mudahan cepat penandatanganannya (oleh presiden) dan bisa dikirim ke DPR," katanya.
Sebelumnya sejumlah perangkat desa dan Asosiasi Kepala Desa (AKD) Jatim mengultimatum pemerintah untuk segera menyerahkan naskah Rancangan Undang-Undang Desa ke DPR. Mereka melakukan aksi dan bertahan di Jakarta sampai pemerintah memenuhi janjinya yang selama ini terus diulur-ulur. Bahkan Rabu hari ini mereka akan menggelar aksi demo lagi di Jakarta.
Kepala Desa (kades) yang tergabung dalam Asosiasi Kepala Desa (AKD) Jawa Timur sebelumnya juga berkali-kali ngluruk Jakarta. Ketua AKD Jatim, Samari, mengatakan, para pengurus harian AKD Jatim sudah bertemu dengan sejumlah anggota Komisi II DPR. Ada enam tuntutan AKD Jatim kepada pemerintah pusat. Pertama, berkaitan dengan kedudukan kades yang tak jelas, yakni apakah politis atau birokratis.
“Bila politis, mengapa kades tak boleh jadi pengurus parpol. Tapi bila birokratis, mengapa pula kesejahteraan kades tidak setara dengan kaum birokrat lain. Ini yang harus jelas. Selama ini kades seolah hanya tukang stempel dan pengantar surat saja, dari pemerintah kabupaten ke kecamatan, misalnya soal surat nikah dan KTP. Padahal kades kan esensinya sama dengan presiden, bupati, atau gubernur,” katanya.
Kedua, mendesak agar ada anggaran desa 5-10 persen yang dialokasikan di APBN. Hal itu karena pembangunan seharusnya dilakukan berbasis pada desa sebab desa menjadi masalah utama bangsa. Mulai masalah kemiskinan, pengangguran, hingga terjadi urbanisasi, semuanya terjadi karena desa tidak menjadi fokus utama pembangunan. Selama ini pembangunan desa masih sebatas jargon dan kamuflase. “Desa hanya diiming-imingi saja, tidak pernah direalisasikan,” katanya.
Padahal bila desa makmur, masyarakatnya sejahtera, negara pasti berjaya. Bahkan bila perlu harus ada menteri urusan desa. Bukan menteri negara percepatan pembangunan daerah tertinggal yang sejatinya mengurusi desa-desa miskin.
“Sekarang banyak terjadi kemiskinan di desa, yang sebagian di antara warga miskin itu akhirnya terpaksa memasuki kota hingga menjadikan kota kumuh. Bila desa makmur tak akan ada urbanisasi. Karena itu harus ada dana untuk menggerakkan pembangunan desa,” katanya.
Dan bila permintaan AKD ini dikabulkan, kata dia, harus disertai regulasi baru yang mengaturnya. Hal itu agar tidak terjadi penyalahgunaan dalam penggunaaan dana desa tersebut. “Kami tak ingin ada kades atau yang lain melakukan penyimpangan sehingga berurusan dengan hukum,” katanya.
Ketiga, masa jabatan kades delapan tahun. Hal itu karena frekuensi pertemuan antara warga dengan pemimpinnya sangat intensif sehingga kades akan sangat dekat dengan warganya. Kades bila terpilih langsung membuat dan melaksanakan program bersama warganya. Berbeda dengan bupati, gubernur, apalagi presiden yang tidak bisa langsung atau sewaktu-waktu bertemu dengan warganya.
“Mereka akan menghadapi petugas pengamanan bila ingin bertemu bupati, gubernur, atau presiden. Warga yang ingin bertemu kades bisa sewaktu-waktu, jadi hubungannya lebih dekat,” katanya.
Keempat, soal kesejahteran kades dan perangkat desa. “Seharusnya mereka mendapat tunjangan minimal sesuai UMK masing-masing kabupaten. Ini amanat PP No. 72/2005, sehingga bila tidak dilaksanakan melanggar konstitusi,” katanya.
Kelima, tak ada larangan kades menjadi pengurus parpol. “Kades itu jabatan politis. Sama dengan bupati, gubernur, atau presiden. Bila bupati boleh jadi pengurus parpol, kades juga seharusnya juga boleh. Bila tidak boleh, apa alasannya? Apa ada ketakutan la wong kades tak punya anggaran,” katanya.
Keenam, meminta perangkat desa menjadi PNS. “Ini bukan kades tapi perangkat desa sebab kades jabatan politis. Enam tuntutan ini kami ajukan, kami siap berdiskusi soal enam tuntutan kami ini dengan pemerintah pusat. Dengan para anggota DPR,” katanya. (dm/wis)
No comments:
Post a Comment