Suasana seminar membedah RUU Desa. |
DPR Janji Kawal RUU Desa
SURABAYA – Asosiasi Kepala Desa (AKD) Jatim menggelar seminar Membedah RUU Desa Pro-Rakyat di RM Pringgondani Jl. Juanda Sidoarjo Senin (30/1). Hadir sebagai pembicara Mantan Ketua Komisi II DPR RI, Dr H Chairuman Harahap SH dan Pembina AKD Jatim Dwi Putranto Sulaksono, Ketua AKD Jatim Drs Samari, dan sekitar 100 lebih kepala desa se-Jatim.
Dalam kesempatan itu Chairuman mengatakan, pihaknya belum bisa menentukan kapan RUU Desa ini disahkan. Sebab saat ini adalah masa demokrasi yang tak bisa diberikan waktu kapan RUU harus bisa diselesaikan. “Kami tak bisa memutuskan atau memberikan tenggat waktu atau dipatok kapan RUU ini bisa disahkan. RUU ini perlu dibahas dan dikaji secara mendalam. Perlu diskusi-diskusi yang dilihat dari berbagai sudut, " dalih politisi asal Partai Golkar yang sekarang menjabat Ketua Komisi VI DPR ini.
Lebih jauh Ketua Komisi VI DPR RI ini menjelaskan bahwa draf RUU Desa dibuat oleh pemerintah dan baru saja diserahkan kepada DPR RI pada 9 Januari lalu untuk segera dibahas dan disahkan menjadi UU. Hal itu tidak semuanya sesuai dengan keinginan AKD. Karena itu dalam pembahasan nanti tentunya Komisi II DPR yang diberi tugas membahas akan meminta masukan dari berbagai kalangan termasuk AKD Jatim yang sejak awal getol memperjuangkan dibentuknya UU Desa.
"Yang jelas, semua orang di negeri ini telah berkomitmen pembangunan bangsa itu harus dimulai dari desa sebagai ujung tombak. Kami juga berharap RUU ini segera terealisasi sebab manfaatnya sangat besar sekali terutama dalam mengatasi persoalan seperti kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan lain sebagainya yang akarnya ada di di desa," ungkap Chairuman Harahap.
Penasihat AKD Jatim, RH Dwi Putranto Sulaksono juga mengaku optimis jika pembahasan RUU Desa di DPR RI akan berjalan sesuai dengan proses demokrasi yang sehat dan berkualitas. Sedangkan pembahasan yang diprediksi akan terjadi tarik ulur itu menyangkut tentang kewenangan pemerintahan desa mengelola anggaran Rp 1 miliar per desa. "Masalahnya bukan pada berapa jumlah dana yang dikelola tetapi lebih pada bagaimana kesiapan pemerintah desa dalam mengelola anggaran. Sebab kalau dipaksakan tidak menutup kemungkinan justru akan menjadi bom waktu karena banyak terjadi penyimpangan. Sehingga harapan pemerintah desa menjadi ujung tombak pembangunan malah gagal total," jelasnya.
Menurutnya untuk bisa berjalan sesuai dengan harapan semua pihak, memerlukan proses yang cukup panjang. Namun yang lebih pokok sebenarnya adalah bagaimana mensinergikan mainset antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dengan pemerintahan desa. "Saya yakin jika semua menyadari hal itu, maka semua akan indah pada waktunya. Jadi posisi AKD yang terbaik saat ini adalah village in waiting," pungkas Dwi setengah berpuisi. ( ahr)
No comments:
Post a Comment