Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Senyum Petani Jombang di Musim Panen

Thursday, March 29, 2012 | 02:30 WIB Last Updated 2012-03-28T19:30:46Z

Panen raya di Jombang

JOMBANG  - Musim panen kali ini membuat Purwanto (40) tersenyum lebar. Betapa tidak, hasil panen sawah miliknya melimpah. Padahal, ia sempat ragu, karena lahan tak begitu luas itu pernah dijadikan tempat survey seismik. Yakni survey dengan cara peledakan untuk mencari kandungan minyak di perut bumi.

"Hasil panen kali ini lumayan bagus. Kalau dihitung, setiap hektarnya menghasilkan 7 ton. Padahal biasanya panenan hanya menghasilkan 6 hingga 6,5 ton padi. Artinya, pelaksanaan survey seismik beberapa waktu lalu tidak merusak kesuburan tanah," kata pria yang beralamat di Desa Pulo Lor Jombang Kota belum lama ini.

Dia menceritakan, lahan miliknya yang tidak begitu luas itu pernah dilintasi survey seismik serta pernah menjadi titik peledakan. Awalnya, Purwanto khawatir dampak peledakan itu akan mengurangi tingkat kesuburan tanah. Jika sudah begitu, maka akan berakibat pula pada hasil panen. Namun kekhawatiran itu ternyata tidak terbukti. "Sawah saya tetap subur, hasil panen juga melimpah. Terbukti hasil panen kali ini," katanya bangga sembari menunjuk lahan miliknya.

Hal serupa juga dialami M Naim, Kepala Desa Tampingmojo Kecamatan Tembelang. Panenan musim ini sawahnya menghasilkan padi sebesar 8 ton per hektar. Padahal, panen sebelumnya, lahan miliknya hanya mampu menghasilkan 7 ton padi saja. Bahkan, lima tahun sebelumnya, hasil panen dari lahan itu terus mengalami penurunan. Naim menyadarai, menurunnya hasil itu disebabkan oleh menurunnya tingkat kesuburan tanah.Maklum saja, selama mengerjakan lahan tersebut, pria berkulit hitam ini lebih banyak menaburkan pupuk kimia dari pada organik. Akibatnya, tanah semakin manja, hasil panen merosot sia-sia.

"Jadi yang mempengaruhi tingkat kesuburan tanah itu lebih disebabkan pupuk kimia tersebut," katanya menjelaskan.Karena hasil panen yang merosot, Naim bersama seluruh warga berubah pikiran. Mereka meninggalkan pupuk kimia, dan banting setir menggunakan pupuk organik dalam mengolah sawah. Naim kemudian membuat pupuk organik sederhana, yakni dari kotoran hewan, seperti sapi. Bukan hanya itu, jerami sisa panen yang biasanya dijual, kini ditata secara merata di seluruh areal persawahan.

Hasilnya sungguh menakjubkan. Area pertanian tersebut mampu menghasilkan panen sebesar 8 ton per hektar. "Selain menggunakan pupuk organik, sistem irigasi yang ada di desa juga cukup baik. Alhamdulillah, hasil panen meningkat tajam," ujarnya menuturkan.

Disinggung terkait pengaruh survey seismik terhadap tingkat kesuburan tanah, bapak dua anak ini menjelaskan, hal itu tidak ada hubungannya sama sekali. Pasalnya, peledakan tersebut menggunakan bahan peledak berkekuatan rendah. Ia kemudian mencontohkan lahan miliknya yang notabene pernah digunakan untuk survey tersebut.

Memang, awalnya baik Naim maupun petani sempat was-was dengan survey itu. Namun kegundahan itu langsung hilang ketika ia mendapatkan sosialisasi dari sejumlah petugas. Intinya, peledakan untuk mencari kandungan minyak itu tidak berdampak terhadap tingkat kesuburan tanah. "Yang bisa menurunkan kesuburan tanah itu bila kita menggunakan pupuk kimia secara berlebihan, bukan karena survey seismik," katanya sembari menggelengkan kepala.

Sebenarnya, dari awal Naim sudah yakin bahwa survey untuk mencari kandungan minyak itu tidak berbahaya bagi ekosistem. Pasalnya, tingkat ledakan itu relatif rendah. Sudah begitu, pemilik lahan juga mendapatkan ganti rugi atas tanaman yang rusak. Walhasil survey seismik di Tampingmojo berjalan lancar.

Pernyataan senada juga dilontarkan oleh Firda (34), petani asal Desa Banjaragung Kecamatan Bareng. Musim panen kali ini lahan miliknya, juga mengalami peningkatan hasil. Dia menyebut, setiap hektar sawah yang ia garap mampu menghasilkan hasil panen sebesar 8 hingga 9 ton. Hal itu dipicu oleh cuaca yang mulai bersahabat dengan petani.

Padahal sebelumnya, hasil panen yang mampu ia raup hanya berkisar antara 6 sampai 7 ton saja. Mengapa demikian? Menurut Firda hal itu tidak lepas dari serangan hama wereng yang menggila. "Alhamdulillah untuk panen kali ini hasilnya meningkat dibanding musim sebelumnya," ujar warga Desa Banjaragung ini.

Firda mengatakan, lahan miliknya juga pernah dijadikan survey seismik. Bahkan Kecamatan Bareng merupakan kawasan yang pertama kali disurvey. Memang, awalnya petani merasa ketakutan. Bahkan mereka melancarkan protes serta penolakan terhadap peledakan untuk mencari sumber minyak itu. Para petani baru bisa menerima ketika diadakan simulasi peledakan. Dalam simulasi tersebut diketahui bahwa peledakan tersebut cukup rendah dan tidak mengganggu ekosistem."Survey seismik tidak berdampak terhadap kesuburan tanah. Lahan milik saya masih mampu menghasilkan 8 sampi 9 ton per hektar. Padahal area tersebut juga pernah dijadikan survey seismik. Kalau musim sebelumnya ada penurunan hasil panen itu karena serangan hama, buka yang lain," katanya menegaskan.

Jika sejumlah petani diatas mengalami peningkatan hasil panen, hal itu berbanding terbalik dengan petani di Dusun Bekel dan Kepuhsari Desa Kepuhkajang Kecamatan Perak. Musim panen kali ini mereka harus gigit jari. Hal itu menyusul serangan hama sundep atau penggerek batang yang meludeskan 30 hektar sawah siap panen.

Sodikin (45), Ketua Kelompok Tani setempat mengatakan, lahan di dua dusun tersebut seluas 60 hektar. Namun semenjak satu bulan terakhir ini serangan hama sundep mulai datang. Dari 60 hektar tersebut, sebanyak 50 persen atau 30 hektar terserang. Padi yang mulai berbulir itu tiba-tiba batangnya berwarna cokelat kemudian mati. Bahkan bulir padi tersebut kosong tak berisi.Atas serangan tersebut, Sodikin dan petani lainnya melakukan upaya penyemprotan. Hanya saja, hal itu tidak membuahkan hasil. Hama penggerek batang semakin mengganas. Akhirnya, untuk menekan penyebaran hama tersebut petani mencabuti tanaman serta membakarnya. "Musim panen kali ini kami rugi besar. Karena hama sundep, setiap hektar hanya menghasilkan padi 3 ton. Padahal idealnya bisa tembus 7 ton," kata Sodikin ketika ditemui di lahan miliknya.

Hal yang sama juga dikatakan Mustofa (45), petani lainnya. Diamengatakan, lahan miliknya seluas 1,5 hektar terserang sundep sejak satu bulan terakhir ini. Dari lahan tersebut ia hanya mendapatkan padi 4 ton. Padahal jika panen normal dari 1,5 hektar tersebut mampu menghasilkan padi seberat 11 ton.Atas serangan itu, kerugian yang didera petani cukup besar, yakni mencapai puluhan juta setiap hektarnya. Mustofa kemudian merinci, dalam setiap hektar biaya produksi yang dibutuhkan sebesar Rp 7 juta. Nah, jika panen mampu menghasilkan 7 ton atau Rp 32 juta. Namun karena terserang hama, lahan satu hektar hanya menghasilkan 3 ton atau Rp 12 juta. "Artinya ada penyusutan 70 persen lebih," ujarnya.

Apakah itu disebabkan survey seismik? Baik Sodikin maupun Mustofa kompak menggelengkan kepala. Menurutnya, jebloknya hasil panen itu murni disebabkan oleh hama sundep. Sedangkan munculnya hama sundep disebabkan oleh anomali cuaca akhir-akhir ini. Perubahan cuaca tersebut menyebabkan kupu-kupu warna putih berukuran kecil muncul.

Menurut Mustofa, sayap hewan itu bila dibentangkan panjangnya lebih kurang 25-30 mm, panjang badannya kurang lebih 11-15 mm. Nah, telur hewan inilah yang menetaskan ulat dan masuk ke batang padi. Jika sudah demikian, maka batang padi akan mati. "Bukan karena survey seismik. Namun anjloknya hasil panen kali ini disebabkan oleh serangan hama sundep. Karena anomali cuaca yang tidak menentu akhir-akhir ini," ujar Mustofa yang diamini oleh Sodikin.

Kondisi itu dibenarkan oleh Kepala Bagian SDA (Sumber Daya Alam) Pemkab Jombang, Darmaji. Menurutnya, survey seismik tidak berdampak buruk terhadap ekosistem dan lingkungan. Alasannya, peledakan tersebut menggunakan bahan peledak low explosif berbahan nitrat yang aman bagi lingkungan.Peledakan yang dipakai untuk menimbulkan getaran itu, kata Darmaji, tidak sampai menciptakan lubang besar dalam tanah. Karena sifat bahan peledak itu hanya untuk menciptakan ledakan skala kecil, yakni guna menimbulkan getaran yang nantinya terekam oleh alat perekam yang disebut Geophone.

Bukan hanya itu, menurut Darmaji, seismik itu masih jauh dari tahapan pengeboran migas yang sesungguhnya, sehingga kekuatiran soal dampak seperti Lapindo belum bisa dikaitkan dengan adanya proses tersebut. "Yang terjadi seperti Lapindo, tidak sama seperti proses seismik, karena Lapindo itu terjadi pada tahap pengeboran migas yang sesungguhnya," ujar mantan Camat Gudo ini. (sumber: beritajatim.com)

No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update