Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Lima Pemkab Terancam Likuidasi

Saturday, April 21, 2012 | 01:07 WIB Last Updated 2012-04-20T18:07:31Z

Gedung Pemkab Ponorogo

PEMPROV MINTA APBD SEGERA DIEVALUASI


MADIUN -  Lima kabupaten di wilayah eks Karesidenan Madiun terancam dilikuidasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) lantaran menganggarkan lebih dari 50 persen total APBD untuk membayar gaji pegawai. Lima kabupaten itu adalah Ngawi, Ponorogo, Magetan, Pacitan, dan Madiun.

Ngawi menempati posisi tertinggi dalam hal ini dibandingkan empat kabupaten lainnya. APBD di kabupaten ini tercatat Rp833 miliar dianggarkan untuk menggaji pegawai. Jumlah ini merupakan 73persen dari total APBD yang besarnya Rp1,12 triliun.
Posisi berikutnya ditempati Ponorogo, dengan 63 persen, dan Pacitan 62,75 persen. Magetan dan Kabupaten Madiun catatan yang sama, yakni sekitar 60 persen.

Pembengkakan anggaran di Pemkab Ngawi, Ponorogo, Pacitan, Magetan, dan Madiun ini lebih didominasi oleh jumlah pegawai yang dianggap tidak realistis dengan standarisasi topografi wilayah kabupaten seperti tercatat di Badan Kepegawaian Daerah (BKD) pemkab.

Ambil contoh, jumlah pegawai aktif di Ngawi saat ini tercatat 13. 841 orang. Untuk menggaji mereka, setiap bulan, Pemkab Ngawi harus mengeluarkan anggaran sekitar Rp60 miliar atau Rp720 miliar tiap tahun.

Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah, Pemprov Jawa Timur, Nurwiyatno, mengatakan, komposisi ideal belanja pegawai adalah di bawah 50 persen dari kekuatan APBD daerah. "Jika belanja pegawai 73 persen, sisanya untuk pembangunan hanya 27 persen atau sekitar Rp 278 milar, belum lagi dipotong untuk anggaran pendidikan yang harusnya 20 persen," terangnya.
Karena itu, agar terhindar dari likuidasi yang akan dilakukan Kemendagri, APBD 2012 harus segera dievaluasi. Pemprov Jawa Timur, k`ta Nurwiyatno, telah meminta Pemkab Ngawi untuk melakukan itu.

Kementerian Dalam Negeri menanggapi serius masalah tersebut. Sekretaris Jendral Otonomi Daerah, Ujang Sudirman, mengaku, pemerintah pusat masih terus mengevaluasi kinerja pemerintah daerah yang dinilai rendah dalam pengelolaan keuangan daerah.
Daerah-daerah tersebut, lanjut Ujang, bukan tidak mungkin dilikuidasi seperti yang saat ini diwacanakan. Namun ditegaskan bahwa hal itu takkan dilakukan dalam waktu dekat karena masih banyak yang dipertimbangkan.
“Melikuidasi sebuah daerah otonom itu bukan pesoalan sederhana.

Ada persoalan sosial, ekonomi, politik. Dan itu semua harus dikaji
mendalam. Oleh karena itu, ketika kita ada indikasi sebuah daerah
seperti yang Anda katakan tadi kita cari tahu, kita pelajari di mana
sebenarnya item- item atau substansi- substansi yang membuat daerah
seperti itu,” kata Ujang.

Seperti diketahui, tahun 2012 ini, ada 291 daerah yang memproyeksikan belanja pegawai lebih dari 50 persen dari APBD-nya. Jumlah ini meningkat sekitar 135 persen dibandingkan dengan tahun 2011 yang mencapai 124 daerah. Dari 291 daerah itu terdapat 11 kabupaten/kota yang memiliki belanja pegawai lebih dari 70 persen dan tertinggi 76,7 persen di Kota Langsa, Aceh.
Kepala Divisi Pengembangan Jaringan Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Hadi Prayitno, mengingatkan bahwa hal itu bisa membuat kondisi daerah semakin kritis. ”Perilaku boros pemerintah daerah (pemda) itu mengantarkan mereka ke jurang kebangkrutan,” ujarnya.

Pembengkakan belanja pegawai dalam APBD teradi lantaran pemerintah menetapkan kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS) secara berkala sejak tahun 2007 sampai 2011. Besaran kenaikan itu berkisar 5-15 persen serta ada gaji ke-13. Selain itu, ada pembiaran untuk rekrutmen PNS dengan tak mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah. Organisasi di kabupaten/kota juga terlalu besar sehingga menambah beban terhadap APBD.


”Jika pemda itu perusahaan, sudah bangkrut. Celakanya, walau APBD habis untuk PNS, tetapi masih ada PNS yang mengorupsi uang yang seharusnya dipakai untuk pelayanan publik,” ujar anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Ade Irawan.
Ade menambahkan, APBD habis untuk birokrasi karena ada masalah dalam mekanisme rekrutmen PNS di daerah. Rekrutmen PNS tidak didasarkan pada kebutuhan daerah, tetapi untuk menampung keluarga pejabat serta kerabat elite lokal dan partai politik. Birokrasi ditempati oleh mereka yang bisa membeli kursi. (dm/mar)

No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update