JAKARTA (DutaJatim.com) - Aksi demonstrasi warga Papua meluas di sejumlah daerah. Selain di wilayah Papua sendiri, aksi unjuk rasa buntut dari penangkapan mahasiswa Papua di Jawa Timur beberapa waktu lalu, juga terjadi di Jakarta. Aksi di Ibukota RI ini menjadi perhatian publik sebab massa membawa bendera bintang kejora tapi tidak ada tindakan dari aparat keamanan. Sebaliknya aparat TNI-Polri bentrok dengan massa pengunjuk rasa di Kabupaten Deiyai, Rabu (28/8/2019).
Dalam aksi tersebut satu orang anggota TNI AD dikabarkan meninggal dunia dan lima orang polisi menjadi korban akibat serangan anak panah. Pada saat bersamaan muncul isu sejumlah warga Papua tertembak aparat kepolisian yang mengamankan aksi demonstrasi tersebut.
"Satu anggota TNI AD gugur, dan 5 anggota polisi terluka akibat anak panah," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo, di Hotel Mercure, Jakarta Utara, Rabu (28/8/2019).
Dedi mengatakan, penyerangan terhadap anggota TNI-Polri tersebut diduga berasal dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua yang masuk dalam barisan aksi demonstrasi. Aparat Polri dan TNI kemudian melakukan evakuasi terhadap korban dan terus melakukan pengamanan di lokasi unjuk rasa. "Aparat TNI-Polri berupaya semaksimal mungkin mengendalikan situasi kamtibmas di Deiyai," paparnya.
Dedi menjelaskan, aksi sendiri awalnya hanya dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang berjumlah 150 orang. Mereka menuntut agar bupati menandatangani persetujuan referendum. "Namun, dari 150 orang itu berhasil dinegosiasi oleh aparat kepolisian," paparnya.
Saat negosiasi sedang berlangsung, lanjut Dedi, muncul ribuan masyarakat dari berbagai tempat dengan membawa senjata tajam seperti panah. Mereka melakukan penyerangan terhadap aparat. "Sehingga jatuh korban dari aparat TNI kemudian dari aparat kepolisian," tambahnya.
Tak lama kemudian muncul kabar enam warga juga tertembak peluru aparat keamanan dalam unjuk rasa diwarnai kericuhan di Kantor Bupati Deiyai, Papua, Rabu (28/8/2019). Namun, Polri menyebutkan informasi tersebut belum terkonfirmasi keakuratannya. "Info tersebut belum dapat diklarifikasi dan konfirmasi keakuratannya," kata Brigjen Dedi Prasetyo.
Menurutnya polisi masih mendalami keakuratan informasi tersebut. "Informasi yang berhasil kita himpun dari Polda Papua saat ini korban justru dari aparat keamanan. Dari TNI satu gugur, dari Polri lima terkena anak panah," ujar Dedi.
Aparat TNI-Polri dan tokoh masyarakat, kata Dedi, masih berupaya keras meredam aksi massa. Ia mengimbau masyarakat tidak terprovokasi sehingga bertindak anarkis.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko juga meluruskan berita dari kantor berita asing tersebut. "Ini saya cek tadi ke lapangan, 'Benar nggak, Pangdam, ada yang tertembak 6 orang?' Justru yang meninggal dari TNI satu orang. Luka dari kepolisian dua orang. Tapi beritanya sudah sampai Reuters, enam masyarakat sipil diberondong oleh aparat keamanan," ujar Moeldoko di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (28/8/2019).
Moeldoko menyayangkan adanya upaya pembentukan opini di luar negeri terhadap Indonesia. Sebab, informasi tewasnya 6 warga belum jelas. "Ini memang ada upaya masif membentuk opini di luar yang dilakukan dan konfirmasi kebenarannya masih belum jelas," katanya.
Terkait kerusuhan yang terjadi di Papua, Moeldoko menduga ada pihak yang menggerakkannya. Kelompok tersebut disebut khawatir akan pembangunan yang dilakukan pemerintah di Papua.
"Jadi yang sering saya katakan itu memang poros gerakan politiknya sedang masif. Karena yang kemarin saya juga katakan bahwa ada ruang gerak yang sangat ditakutkan oleh kelompok bersenjata maupun poros politik dengan pembangunan yang masif di Papua itu, maka kecemasan yang dihadapi mereka. Dia tidak bisa lagi membohongi rakyat, tidak bisa lagi membohongi dunia luar," ujar Moeldoko.
Di tempat terpisah, aktivis Pusat Studi Masyarakat Adat (Pusaka), Benard Agapa, mengaku sudah mendapatkan informasi bahwa ada enam warga tertembak dalam unjuk rasa di Deiyai. "Pas saat tiba di Kantor (Bupati Deiyai), ada yang ditembak," kata Benard di Kantor Kontras, Jalan Kramat Raya II, Senen, Jakarta Pusat.
Namun, dia belum mengetahui kondisi warga tersebut. "Saya belum dapat kronologis secara utuh karena akses internet di sana mati," ujarnya.
Aksi demo di Kantor Bupati Deiyai ini merupakan lanjutan dari unjuk rasa sebelumnya di berbagai titik di Papua dan Papua Barat, yakni menuntut penindakan terhadap pelaku rasisme dan penghinaan terhadap ras Papua oleh segelintir oknum di Jawa Timur. Dalam aksinya, massa menuntut digelar referendum jika pemerintah tak mampu lagi memberikan keadilan terhadap Papua.
Mak Susi Tersangka
Namun, terkait dengan tuntutan itu, Polisi sudah menetapkan satu tersangka kasus dugaan rasisme di Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya. Tersangka tersebut adalah Tri Susanti. "Telah ditetapkan 1 tersangka dengan inisial TS (Tri Susanti)," kata Brigjen Dedi Prasetyo.
Tri Susanti alias Mak Susi
Tri Susanti dijerat dengan Pasal 45A ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 UU 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau Pasal 4 UU 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Rasis dan Etnis dan/atau Pasal 160 KUHP dan/atau Pasal 14 ayat 1 dan/atau ayat 2 dan/atau Pasal 15 KUHP.
Penetapan tersangka terhadap Tri Susanti dilakukan setelah polisi memeriksa 16 saksi dan 7 ahli. Polisi, kata Dedi, juga telah mengajukan permohonan pencegahan Tri Susanti untuk bepergian ke luar negeri. "Permohonan pencekalan telah diajukan. Surat panggilan telah disampaikan," ujarnya.
Ada sejumlah bukti yang dijadikan dasar polisi menetapkan tersangka. Antara lain rekam jejak digital berupa konten video hingga berbagai narasi yang tersebar di media sosial.
Tri Susanti merupakan korlap aksi yang mendatangi asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya. Dia juga pernah diperiksa di Polda Jatim sebagai saksi sebelumnya. Tri Susanti atau akrab dipanggil Mak Susi mengaku tidak melakukan sesuatu dengan menyebar ujaran kebencian.
"Tidak ada (menyebar ujaran kebencian)," kata Mak Susi di Mapolda Jatim Jalan Ahmad Yani Surabaya, Senin (26/8/2019).
Kuasa Hukum Susi, Sahid, mengatakan dari surat yang diterimanya, Susi diperiksa menjadi saksi terkait kasus dugaan ujaran kebencian. "Posisi kita dimintai keterangan sesuai pasal 28 ayat 2 dalam kasus ujaran kebencian. Tapi kami belum tahu (kasus yang mana)," papar Sahid.
"Kalau pasal 28 ayat 2 UU ITE terkait ujaran kebencian dan penyebaran berita bohong. Kalau sesuai surat panggilan pasal 28 ayat 22 UU ITE. Kalau isi dari itu menyebar ujaran kebencian, berita bohong yang menimbulkan kegaduhan kepada kelompok atau jaringan," pungkas Sahid.
Kibarkan Bintang Kejora
Masyarakat meminta Polisi bersikap adil terhadap kasus Papua. Sebab, apa yang dilakukan para mahasiswa dan demonstran Papua dinilai mengganggu kedaulatan RI. Termasuk pengibaran bendera bintang kejora di depan Istana Negara.
Namun Polisi masih melakukan upaya persuasif terkait pengibaran bendera bintang kejora dalam aksi unjuk rasa yang dilakukan sejumlah elemen mahasiswa Papua di Istana Negara pada Rabu, 28 Agustus 2019.
"Pendekatan yang dilakukan tetap persuasif dan komunikatif diutamakan," kata Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo Rabu, 28 Agustus 2019.
Dedi pun menuturkan pihaknya belum melakukan penindakan terhadap pengibar bendera tersebut. Menurutnya, polisi menjaga situasi berjalan kondusif dan tidak terpancing melakukan tindakan represif. "Yang penting situasi kondusif jangan terpancing dan terjebak permainan mereka," katanya.
Sebelumnya, mahasiswa Papua yang tergabung dalam 'Mahasiswa Anti Rasisme, Kapitalisme, Kolonialisme, dan Militerisme', mengibarkan bendera bintang kejora di seberang Istana Negara, Jakarta, Rabu, 28 Agustus 2019.
Pantauan di lokasi, setidaknya empat bendera yang identik dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) itu dikibarkan. Bendera paling besar ada di antara massa, sementara sisanya adalah bendera yang lebih kecil dengan bendera berukuran sedang dikibarkan di atas mobil orasi. Para mahasiswa, menyerukan pemberian hak penentuan sendiri untuk mengakhiri rasisme dan penjajahan di Papua.
"Coba lihat ini bendera bintang kejora. Papua merdeka itu harga mati. Apakah sepakat?" ujar orator dari atas mobil orasi, diikuti seruan 'sepakat' dari peserta aksi.
Sementara aksi berlangsung, puluhan personel Kepolisian terlihat berjaga di balik separator jalan. Mereka hanya memerhatikan dikibarkannya bendera, namun siaga mengantisipasi jika terjadi hal-hal yang tidak sesuai aturan.
Selain orasi, massa juga menari sambil menyanyikan lagu-lagu tradisional Papua. Mereka berlari-lari memutari area jalan masuk lapangan Monumen Nasional (Monas) yang menghadap Istana.
Pada 16.24 WIB, aksi masih berlangsung. Orator terus menyerukan massa menyampaikan tuntutan mereka, namun harus terus dilakukan dengan tertib. "Semua satu komando," ujar orator.
Sementara itu, ada pesan cinta untuk masyarakat Papua disampaikan pemuda Kota Pasuruan. Lewat lomba Peraturan Baris-berbaris (PBB) mereka mengekspresikannya menggunakan kostum adat Papua.
Ratusan regu berpartisipasi dalam lomba PBB kategori umum memperingati HUT ke-74 Kemerdekaan RI, Rabu (28/9/2019). Mereka berasal dari berbagai kelompok pemuda, organisasi kemasyarakatan, komunitas, hingga instansi.
Di tengah ratusan regu yang mengikuti lomba, satu regu menyita perhatian. Regu Jalan Jawa (JJ) Mania, yang memakai kostum pakaian adat Papua, menyedot perhatian warga yang melihat di pinggir jalan.
Regu dari Gang Pande, RT/RW 03 Jalan Jawa, Kota Pasuruan, yang terdiri atas belasan pemuda ini tampak total merias diri dengan atribut khas Papua. Atribut yang digunakan mulai mahkota di kepala, hiasan badan, bawahan rumbai, hingga ujung kaki.
Regu ini mendapat apresiasi lebih dibanding ratusan regu lain. Banyak warga yang mencegat mereka untuk berfoto bersama. Bahkan, saat mereka sampai di alun-alun, seorang polisi juga meminta foto bersama.
"Kami ingin menyampaikan pesan cinta dari pemuda Pasuruan untuk saudara-saudara di Papua. Kami ingin menunjukkan dan menyampaikan, jangan sampai ada lagi rasisme di tanah air kita, yang dapat memecah belah NKRI," kata ketua regu JJ Mania, Supriyadi (36).
Supriyadi mengatakan, demi menyuarakan persatuan, ia dan teman-temannya rela lembur membuat kostum baju adat Papua. Kostum tersebut dibuat dari bahan sederhana, berupa daun, tali rafia, dan cat. "Say no to racism. Kita semua bersaudara. NKRI harga mati," tandasnya. Lomba PBB ini start dan finis di GOR Untung Suropati. Warga antusias menyaksikan di sepanjang jalan yang dilalui peserta. (det/vvn/tmp)
No comments:
Post a Comment