JOMBANG (dutajatim.com) - Ulama bersama pondok pesantrennya harus mandiri. Begitu pula dengan santri. Harus mandiri. Independen. Sebisa mungkin tidak tergantung kepada siapa pun. Khususnya kepada pemerintah. Yang boleh hanya satu: Hanya bergantung kepada Allah SWT. Tuhan yang maha kuasa. Yang maha besar. Allahu akbar. Yang lain di dunia ini kecil.
Namun sulit menemukan ulama dan pesantren atau santri yang mandiri. Sebagian besar sudah terkooptasi oleh kekuasaan. Sudah dibanjiri bantuan oleh Pemerintah. Akibatnya ulama dan pesantren menjadi sangat tergantung kepada pemerintah.
Namun, tentu, tidak semua pesantren bisa dikooptasi oleh pemerintah dengan bantuan atau dana hibah. Salah satu dari yang sangat amat sedikit itu adalah Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Pesantren Sidogiri termasuk yang menolak segala bentuk dana (bantuan pemerintah) karena sumbernya tidak jelas alias syubhat. Pesantren Sidogiri sekarang bahkan sudah mengelola dana miliran rupiah yang diihtiarkan untuk kemaslahatan umat. Sukses Pesantren Sidogiri membangun basis ekonomi umat ini sudah banyak dipaparkan dalam berbagai forum seminar. Paling mutakhir dalam Seminar Nasional menyambut ‘"20 Tahun Pesantren Tebuireng" yang berlangsung selama tiga hari sampai Minggu (25/8/2019) besok.
Bantuan dana syubhat itu membuat santri sebagai peserta didik di pesantren tidak bisa menyerap ilmu dari para ulama secara maksimal. “Sangat penting, karena menyangkut pendidikan akhlaq santri, terkait kebersihan hati dalam proses pembentukan akhlaqul karimah. Maka, segala sesuatunya harus halal,” kata M. Luthfillah Habibi, Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Ikatan Alumni Santri Sidogiri (PP IASS) di depan ratusan peserta Seminar Nasional bertajuk ‘Peran Pesantren dalam Mencerdaskan Bangsa’ di Gedung KH Yusuf Hasyim, Tebuireng, Jombang, Jumat (23/8/2019).
Untuk itu, Luthfillah berharap, agar dzurriyah pesantren terus menjaga tanggungjawabnya. Maksudnya, Beliau-beliau harus menjadikan pesantren sebagai salah satu pilar dari syiar Islam di dalam institusi tafaqquh fiddin.
Dia juga melakukan otokritik terhadap dunia pesantren. Dalam kritikan internalnya itu dia melihat semakin langka kiai pesantren yang bisa membaca kitab. Akibatnya pengajian yang dilakukan juga semakin berkurang. Ini juga menjadi ancaman serius kelanjutan dunia pesantren.
“Di samping itu, pola pengajarannya sudah banyak yang beralih. Dari mengaji berubah menjadi sekolah. Dari tarbiyah bathin ke tarbiyah dhohir. Fenomena ini mulai kita jumpai. Sehingga menurunkan ikatan bathin santri dengan kiai. Jika dibiarkan, jangan heran, kalau kita jumpai pesantren kehilangan prinsip, akhirnya pesantren mirip dengan kos-kosan,” tegasnya.
Kepada pemerintah, M Luthfillah Habibi merekomendasi agar peduli terhadap sumber pendapatan. Jangan dicampur aduk seperti saat ini, sehingga mana halal, mana haram, mana syubhat, tidak jelas. Ini penting karena tazkiyatunnafs (kebeningan hati red.) itu sangat terkait dengan kehalalan.
“Harus jelas. Penerimaan negara yang benar-benar halal, baru bisa dipakai sebagai bentuk kepedulian pemerintah ke lembaga-lembaga pendidikan, termasuk pondok pesantren. Ini penting karena terkait dengan pengembangan pendidikan karakter anak bangsa, apalagi dana itu terkait gaji, bersifat konsumtif,” jelasnya.
Dengan begitu, lanjutnya, apa yang ada di pondok pesantren terjamin kehalalannya. “Sementara yang haram (dari lokalisasi, pabrik bir misalnya) bisa disalurkan sebagai pengembangan berbagai macam proyek infrastruktur,” tegasnya disambut tepuk tangan ratusan peserta seminar. (Baca: Dipotong 30%, Akhirnya Tolak Bantuan Pemerintah)
Hadir dalam seminar ini KH Halim Mahfudz, MA (Ketua Panitia Harlah ‘120 Tahun Pesantren Tebuireng’), KH Abdul Hakim Mahfudz (Wakil Pengasuh Pesantren Tebuireng), KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) Pengasuh Pesantren Tebuireng, Prof Dr KH Nasihin Hasan, KH Suyuthi Thoha, Dr Mif Rohim dan ratusan perwakilan dari berbagai pondok pesantren di Pulau Jawa. (duta)
No comments:
Post a Comment