SURABAYA (DutaJatim.com) - Sejumlah kalangan membaca situasi di Tanah Air dengan mengaitkan pada situasi politik kawasan Asia. Khususnya gelombang aksi demonstrasi mahasiswa, pelajar, dan masyarakat sipil yang terjadi di Jakarta dan sejumlah daerah lain akhir-akhir ini.
Seperti Arab Spring, semula aksi protes terhadap kondisi negara yang terpuruk terjadi di Tunisia. Bahkan awalnya hanya karena Mohamed Bouazizi. Pemuda Tunisia berusia 26 tahun, berdagang buah untuk menyambung hidupnya.
Penghasilan bulananya tidak lebih dari 150 dolar per bulan atau sekitar Rp 1,3 juta untuk mengidupi delapan orang anggota keluarga. Dia frustasi. Lalu membakar dirinya. Meninggal dunia. Tragis!
Rakyat pun terbakar emosinya melihat protes Bouazizi yang sungguh mengenaskan itu. Bukan hanya Tunisia. Sejumlah negara Arab lain ikut terbakar. Mesir, Libya, Yaman, bahkan Arab Saudi, mengalami musim semi kebangkitan. Rakyat menggugat. Menuntut reformasi.
Jenazah pemuda Bouazizi memang sudah terbaring di perut bumi namun kemudian dalam 12 bulan selanjutnya empat pemimpin yang sudah berkuasa puluhan tahun di Tunisia, Mesir, Libya dan Yaman tumbang. Jatuh. Lengser keprabon.
Itu pelajaran dari Arab Spring.
Lalu di Asia. Rakyat Hongkong bergolak. Bahkan hingga hari ini. Aksi demonstrasi terus berlanjut. Demonstran anti-pemerintah China melemparkan batu, menghancurkan jendela dan memblokir jalan utama dekat markas besar Tentara Pembebasan China atau China's People's Liberation Army (PLA) pada Sabtu (28/9/2019) kemarin.
Polisi Hongkong melepaskan gas air mata dan menyemburkan water cannon untuk membubarkan massa.
Para pengunjuk rasa yang berpakaian serba hitam dan mengenakan topeng berlarian menghindar. Mereka sembunyi di bawah payung yang mereka bawa. Aksi demo Hongkong khas dengan payungnya inim Sebagian lainnya melarikan diri menghindari bentrokan dengan polisi.
Sebagian besar pengunjuk rasa juga sempat menduduki Jalan Harcourt. Mereka juga melemparkan batu bata ke arah polisi. Pemandangan ini persis di Jakarta, Kendari, Makassar, dan juga Papua selama beberapa hari terakhir.
Hongkong dihukum pasar. Indonesia juga pasti akan terdampak secara ekonomi dan politik.
"Tindakan mereka (massa di Hongkong) menimbulkan ancaman serius bagi keselamatan semua orang di sekitar lokasi," kata Polisi setempat dikutip dari Reuters, Sabtu (28/9/2019).
Aksi demonstrasi di Hongkong semakin marak dilancarkan jelang perayaan 70 tahun berdirinya Republik Rakyat China (RRC) pada 1 Oktober besok. Dalam beberapa bulan terakhir, para pengunjuk rasa juga menghancurkan simbol-simbol otoritas negara China, termasuk bendera.
Kemunculan unjuk rasa di Hongkong dipicu akibat RUU Ekstradisi. Undang-undang ini berisi aturan yang memungkinkan para kriminal Hongkong dibawa ke China untuk dieksekusi berdasarkan hukum China.
Ini Pelajaran dari Hongkong: Sama-sama karena UU
Lalu apakah angin dari Hongkong berhembus ke selatan hingga memicu badai demonstrasi besar-besaran di Indonesia? Belum ada analisis mendalam soal ini.
Namun menarik dicermati soal pemicu demonstrasi di Hongkong dan Indonesia ternyata sama. Massa menolak RUU. Massa di Hongkong menggugat RUU Ekstradisi, sementara di Indonesia massa menuntut UU KPK dicabut dan RUU KUHP serta dua RUU lain agar tidak disahkan dalam periode DPR sekarang.
Aksi kedua massa juga anarkis. Aparat keamanan pun sama-sama represif terhadap massa demonstran. Entah kebetulan atau pengaruh politik kawasan tadi, Pemerintah China sudah mencabut RUU ekstradisi, sementara di Indonesia Presiden Jokowi juga berencana menerbitkan perppu untuk mencabut UU KPK. Namun demonstrasi tetap berlanjut.
Sama dengan di Hongkong, Indonesia harus juga terancam kena dampak secara ekonomi. Indonesia pasti juga akan seperti Hongkong yang sekarang berupaya meyakinkan investor bahwa kota tersebut baik-baik saja, meski demonstrasi terus terjadi hingga saat ini.
Pemerintah Hongkong bahkan sudah mengeluarkan dana hingga HK$ 7,4 juta atau setara Rp 13 miliar untuk kampanye periklanan global untuk membendung persepsi negatif pasar terutama internasional.
Gelombang "tsunami" aksi demonstrasi yang terus terjadi juga membuat Hongkong terancam kehilangan statusnya sebagai pusat keuangan global.
Aksi unjuk rasa yang semakin anarkis membuat situasi kota di bawah administrasi khusus China itu tidak kondusif untuk iklim investasi. Hal serupa sangat mungkin terjadi pada Indonesia yang saat ini belum dilirik investor asing--- setidaknya bisa dilihat dari kecemasan Presiden Jokowi saat investor hengkang dari China tidak satu pun yang merelokasikan industrinya ke Indonesia tapi lebih banyak ke Vietnam dan negara tetangga lain.
"Saya pikir jika Hongkong tidak membaik, Anda (Hong Kong) seharusnya tidak memiliki hak untuk menjadi pusat keuangan," kata CEO Citic Capital Zhang Yichen, sebagaimana dilansir di CNBC International, Senin (23/9/2019).
Nah, momen Hongkong mestinya jadi peluang bagi Indonesia bila negara ini diurus dengan baik. Peluang untuk jadi pusat keuangan di kawasan Asia. Tapi apa mungkin?
Investor dinilai akan dengan mudah memindahkan uang ke kota lain yang lebih aman, yang memang selama ini menjadi pesaing Hongkong. Misalnya ke Shanghai, Tokyo dan Singapura.
Dan bukan Indonesia. Bukan Jakarta yang masih rawan aksi kekerasan sosial dan politik bahkan berbau SARA. Semoga negeriku bisa segera pulih dari amarah agar tidak bertambah parah. Amiin. (gas)
No comments:
Post a Comment