Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Hapus Visa Progresif, Saudi Ternyata Naikkan Biaya Visa Umrah

Thursday, September 12, 2019 | 00:39 WIB Last Updated 2019-09-11T17:39:54Z

JEDDAH (DutaJatim.com) –  Arab Saudi menuai banyak kritik karena menghapus visa progresif bagi jamaah haji dan umrah tapi menaikkan biaya pengurusan visa umum. Bahkan, Arab Saudi dinilai dholim sebab menambah beban biaya mengurus visa umrah bagi warga tidak mampu yang berusaha keras mengumpulkan uang untuk bisa menunaikan ibadah umrah ke tanah suci. Sementara orang kaya yang bisa umrah berkali-kali diperlakukan sama.
   
Saat dikonfirmasi, Konjen RI di Jeddah, Mohamad Hery Saripudin, membenarkan bahwa Pemerintah Arab Saudi telah mencabut aturan visa progresif untuk umrah. Visa progresif ini berlaku bagi mereka yang sudah umrah dan berniat melakukan umrah lagi.

"Kami sudah terima konfirmasi bahwa ada dekrit raja yang membatalkan visa progresif. Jadi biayanya flat. Yang dua ribu dihilangkan (2000 riyal)," kata Hery Sarifuddin usai menghadiri Malam Anugerah Haji 2019 di Kantor Urusan Haji di Jeddah, seperti dikutip dari kemenag.go.id. Rabu 11 September 2019. 

Menurutnya, perubahan kebijakan ini menjadi bagian dari upaya Pemerintah Saudi mewujudkan visi 2030. Salah satunya target jamaah umrah mencapai 30 juta orang. Kalau tahun lalu sekitar 8 juta jamaah, tahun depan ditargetkan mencapai 10 juta orang. "Pemerintah Saudi ingin mendiversifikasi ekonominya dari berbagai economic resources,  termasuk umrah," katanya. 

Staf Teknis Haji Kantor Urusan Haji (KUH) KJRI Jeddah, Endang Djumali, menambahkan, pengumuman pencabutan visa progresif secara resmi disampaikan oleh Wakil Menteri Haji dan Umrah Saudi Sulaiman Al-Massaath, pada Selasa 10 September 2019 sore, dalam kesempatan jumpa pers yang disiarkan oleh Saudi Press Agency. 

Arab Saudi memberlakukan visa progresif bagi jamaah umrah sejak 2016. Jamaah yang akan berumrah untuk kedua kalinya atau lebih di tahun yang sama dikenakan biaya tambahan untuk visa sebesar SAR2000 atau setara Rp7,6juta. Aturan tersebut kini telah dicabut. 

Yang jadi masalah, bersamaan dengan pencabutan visa progresif,  Pemerintah Saudi mengumumkan aturan baru tentang pemberlakuan biaya pengajuan visa umrah dalam bentuk Government Fee sebesar SAR300 atau sekitar Rp1,1 juta.

Biaya ini berlaku untuk setiap pengajuan visa umrah, baik yang pertama maupun kali kedua dan seterusnya. "Jadi, kebijakannya bukan mengurangi visa progresif dari SAR2000 menjadi SAR300, tapi mencabut aturan visa progresif dan menerbitkan ketentuan baru biaya pengajuan visa umrah dengan Government Fee sebesar SAR300," jelasnya.  "Ketentuan ini hanya berlaku untuk visa umrah," tandasnya. 

Sebelumnya sempat terjadi simpang siur soal kebijakan pencabutan visa progresif dan kenaikan biaya visa tersebut. Direktur Pengelolaan Dana Haji dan Sistem Pengelolaan Haji Terpadu Kementerian Agama Maman Saefulloh saat dihubungi  Selasa (10/9/2019) pagi menyebut penurunan biaya visa progresif bagi jamaah yang akan kembali beribadah umrah dan haji. Artinya, kebijakan ini tidak berlaku bagi yang baru berhaji atau umrah.

Jamaah yang akan berumrah kedua kalinya atau lebih di tahun yang sama dikenai biaya visa progresif sebesar 300 riyal atau sekitar Rp 1,1 juta.  Sementara, visa progresif untuk jamaah yang pernah berhaji dan ingin menunaikannya kembali, dikenai besaran yang sama, yaitu 300 riyal.

"(Biaya visa progresif) tidak dikenakan kepada yang baru (pertama kali) berangkat haji atau umrah. Yang dikenakan yang sudah (pernah) berhaji dan umrah. Jadi perhitungannya haji dengan haji, umrah dengan umrah," kata Maman.

Sebelumnya Konsul Haji Kantor Urusan Haji (KUH) di Jeddah Endang Djumali juga sempat mengaku telah berkomunikasi dengan sejumlah pihak, seperti sekretaris pribadi Menteri Haji Arab Saudi Majid al Moumeni, penanggung jawab E-Hajj Mr. Farid Mandar, dan Humas Kementerian Haji dan Umrah Saudi. “Hasilnya, keputusan itu adalah pengurangan nominal visa progresif dari 2000 riyal menjadi 300 riyal bagi mereka yang mengulangi atau berulangkali umrah," kata Endang Djumali dikutip dari situs resmi Kemenag. "Begitu juga dengan visa haji, nominalnya menjadi 300 riyal," ujar dia.

Endang memaparkan, jamaah yang dikenakan visa progresif didasarkan pada data E-Hajj yang dikeluarkan Arab Saudi. Sebagai tambahan informasi, Arab Saudi memberlakukan visa progresif bagi jamaah haji sejak 2018. 

Dinilai Dholim

Namun kemudian dikonfirmasi bahwa visa progresif bagi jamaah haji dan umrah ternyata memang dihapus. Namun biaya pengurusan visa secara umum untuk umrah justru  naik. Karena itu, kebijakan Pemerintah Arab Saudi ini mendapat protes dari pelaku industri travel haji dan umrah sebab kebijakan tersebut dinilai memberatkan jamaah umrah dan haji terutama dari kalangan menengah ke bawah.

Protes itu disuarakan praktisi umrah dan penulis buku Umrah Backpacker, Tuffah Zubaidi. Bahkan dia menyatakan  kebijakan tersebut dholim. Sebab, terlalu banyak biaya yang dibebankan kepada jamaah umrah dari kalangan tidak mampu. " Ini sudah kategori dholim," kata Eva, kemarin.

Eva pun memprotes status Tanah Suci yang seolah hanya milik Arab Saudi. Dia menyebut Makkah dan Madinah merupakan milik umat Islam sedunia. Bukan hanya milik Arab Saudi.

" Haramain, dua Tanah Suci, Makkah dan Madinah, adalah milik umat Islam sedunia, bukan haknya Pemerintah Arab Saudi walaupun letaknya di Saudi," ujar Eva.
" Harga visanya sendiri antara US$150 sampai US$180 (setara Rp2,1 juta-Rp2,5 juta)," kata Eva.

Dia juga menjelaskan harga visa umrah dan haji memang naik turun. Namun demikian, nilai fluktuasinya tidak pernah melebihi angka US$100.

" Kemarin-kemarin itu harga visa antara US$35 sampai US$65 (setara Rp492 ribu-Rp913 ribu), itupun bisa dibilang permainan provider (penyedia layanan pengurusan) visa saja, bukan tekanan dari pemerintah," kata dia.

Eva juga menyoroti penurunan biaya dari 2.000 riyal ke 300 riyal. Meski turun, tarif tersebut tidak lagi berlaku progresif namun ke semua jamaah umrah maupun haji. Hal ini justru sangat memberatkan dan pukul rata, tidak lagi yang sudah pernah (umrah dan haji), tidak lagi yang berdiam di hotel bintang lima, pukul rata. 
"Siapapun mau datang, ada setoran ke pemerintah per kepala 300 riyal," ujarnya.

Eva menegaskan umrah dan haji tidak bisa disamakan dengan pelesiran ke luar negeri. Aktivitas ini murni karena panggilan iman. Beribadah kepada Allah SWT.

" Untuk yang pelesiran ke luar negeri atau jalan-jalan mungkin mereka ada kelebihan dana. Tapi untuk umrah dan haji itu lebih pada panggilan iman, bukan barometer kekayaan seseorang," kata dia.

Arab Saudi memang gencar mencari terobosan untuk menambah devisa. "Ini kalau kita tarik lagi konsepnya, ingin mendiversifkasi ekonominya bukan hanya dari minyak," tutur Mohamad Hery Saripudin.

Untuk itu, kini Arab Saudi giat mengejar pemasukan dari pajak, manufaktur dan jasa layanan (services). "Umrah itu dari services," ujar Hery.(hud/wis)

No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update