Ilustrasi: Pixabay
JAKARTA (DutaJatim.com) - Membaca berita Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan kekesalannya setelah mendapat informasi 33 perusahaan angkat kaki dari China tapi tak satu pun pindah ke Indonesia, membuat saya semakin prihatin. Saya menjadi sangat bingung dengan eksistensi negara saya: Indonesia. Di mata global. Di percaturan internasional. Di bidang ekonomi. Politik. Seni budaya. Apa pun.
Saya mendapat kabar yang bertabrakan. Kata berita yang satu, Indonesia akan menjadi negara maju (ttps://money.kompas.com/read/2014/05/05/1347569/Masuk.10.Besar.Ekonomi.Dunia.RI.Sejajar.dengan.Negara.Maju). Bahkan sekarang diprediksi naik peringkat enam dari 10 besar negara maju (https://ekonomi.kompas.com/read/2019/02/20/104359126/10-negara-dengan-ekonomi-terbesar-pada-2023-indonesia-urutan-berapa?page=all). Tapi fakta ini menunjukkan lain.
"Catatan yang kemarin disampaikan Bank Dunia kepada kita, dua bulan yang lalu, ada 33 perusahaan di Tiongkok keluar (direlokasi ke negara lain)," kata Jokowi, Rabu (4/9/2019). "Dari 33 tadi, sekali lagi, 33 perusahaan di Tiongkok yang keluar, kita ulang, 23 ke Vietnam, 10 ke Kamboja, Thailand, dan Malaysia, tidak ada yang ke Indonesia," lanjut Jokowi.
Informasi yang diperoleh Jokowi itu berasal dari materi paparan World Bank atau Bank Dunia. Bank Dunia memaparkan potensi-potensi dan risiko perekonomian yang akan dihadapi Indonesia di depan pemerintah. Mulai dari perekonomian yang akan menurun akibat tak ada produkitvitas sampai tak ada potensi aliran modal asing yang masuk ke Indonesia.
Berikut paparan Bank Dunia soal 33 perusahaan cabut dari China tak lirik Indonesia:
Banyak perusahaan yang pergi dari China tapi mereka tak akan datang ke Indonesia karena negara tetangga jauh lebih 'welcome' untuk investor. Perusahaan yang pergi dari China itu menilai Indonesia negara yang berisiko, complicated dan membutuhkan proses yang panjang yakni bisa lebih dari setahun.
"Sedangkan proses yang lebih cepat bisa terjadi di Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan Taiwan," tulis paparan tersebut, dikutip detikcom, Sabtu (7/9/2019).
Bank Dunia juga mencontohkan pabrik mesin cuci asal Korea pindah dari China ke Vietnam dan Thailand hanya membutuhkan proses 6 hari setelah Amerika Serikat (AS) memberlakukan tarif impor pada 2016 dan menyebabkan biaya ekspor meningkat. Periode Juni dan Agustus 2019 ada 33 perusahaan yang berada di China mengumumkan rencana memindahkan atau memperluas produksi mereka ke luar negeri. 23 perusahaan akan ke Vietnam, dan 10 perusahaan sisanya akan Kamboja, India, Malaysia, Mexico, Serbia dan Thailand. Sementara pada 2017, 73 perusahaan Jepang pindah operasi dari Jepang, China dan Singapura ke Vietnam, 43 ke Thailand, 11 ke Filipina dan hanya 10 perusahaan yang ke Indonesia.
Fakta itu bisa dibaca pada dua hal. Pertama, Bank Dunia menyentil Indonesia karena sistem di dalam negeri masih rapuh. Debirokratisasi sudah sangat lama didengungkan tapi mental birokrasi masih mengakar dalam jantung pada birokrat. Pungutan baik resmi apalagi yang liar masih sangat banyak. Meja dipasang di mana-mana untuk mencari duit pungli. Investor pun jengah. Kapok. Emoh memasukkan modal ke Indonesia yang masih saja jadi sarang tukang korupsi. badai OTT KPK yang bertubi-tubi bukan tidak dilihat oleh investor. Mereka tahu la wong dibeber di depan mata, setiap hari, berita korupsi dan OTT yang bertubi-tubi jadi bacaan masyarakat di media massa. Semua itu pasti jadi perhatian investor. Bahkan bisa jadi mereka sudah tahu lebih dulu ketimbbang KPK siapa saja pejabat yang layak di-OTT. Mengapa? Sebab, sangat mungkin mereka para korban pungli, KKN, dan sejenisnya.
Kedua, kegagalan bangsa ini membangun reputasinya di mata internasonal. Bila pemimpin dipersyaratkan memiliki integritas yang tinggi itu memang wajib. Pemimpin yang tegas, kuat, cerdas, berakhlak mulia, dan sejenisnyalah, disegani oleh pemimpin dunia. Mengapa ini wajib? Ya, agar negara dan bangsa ini juga memiliki integritas tinggi. Kebanggaan yang tinggi kepada bangsa ini. Bangsa yang diperhitungkan. Bukan bangsa pengekor.
Soal kebanggaan ini saya pernah pergi ke Tiongkok menggunakan maskapai Cathay Pacific yang memiliki rute Australia-Surabaya-Hongkong--lalu naik Cathay Dragon yang menjadi anak perusahaan dari maskapai berslogan “Life Well Traveled” itu ke Beijing.
Saat di pesawat saya banyak bertemu para TKI/TKW asal Indonesia yang mungkin sering bolak-balik Hongkong-Indonesia, tapi dalam pesawat ini tidak ada petunjuk yang memakai bahasa Indonesia. Yang ada bahasa Inggris dan Mandarin. Padahal penumpangnya banyak orang Indonesia. Apa saya saja yang tidak tahu? Wallahu a'lam.
Mohon maaf bila saya tidak tahu, tapi sedih rasanya bila perusahaan yang mengambil keuntungan dari penumpang orang Indonesia tapi tidak care dengan bahasanya orang Indonesia. Tapi mungkin saja orang Indonesia, ya para TKI/TKW itu, juga sudah tidak mau lagi berbahasa Indonesia dan lebih suka berbahasa Inggris cas cis cus atau ngomong Mandarin? Ya, ini juga perlu riset, meski selintas memang bahasa mereka campur baur jowo-indonesia-inggris-mandarin. Ini mungkin juga bukan hanya para TKI, sejumlah pengusaha bisa jadi berlaku hal yang sama.
Kedua, omongan si Shamsubahrin, bos taksi asal Malaysia itu. Dia diduga menghina Gojek dan Indonesia sebab menyebut negeri ini miskin. Padahal negara ini kan tadi diberitakan masuk 10 besar negara maju di dunia, bro! Lalu kita marah kepada si Shamsubahrin ini. Ada demo meminta agar si Shamsu meminta maaf secara terbuka atas pernyataanya. Bahkan demonstran menggalang dana agar bisa digunakan Shamsubahrin datang ke Jakarta untuk melihat Indonesia, apa negeri kaya apa memang negara miskin? Apa jawaban si Shamsu?
Membaca The Star, Jumat (5/9/2019), Shamsu mengucapkan terima kasih kepada para pengendara Gojek karena telah berusaha mengumpulkan uang, namun ia menegaskan bahwa uang tersebut lebih baik diberikan kepada yang lebih membutuhkan. Siapa yang lebih membutuhkan itu? Apa warga miskin? Apa itu orang Indonesia?
"Saya tidak butuh uang untuk ke sana (Jakarta). Jakarta bukan hal baru bagi saya, karena saya selalu pergi ke sana. Saya juga bisa pergi sendiri. Karena mereka telah mengumpulkan uang dari masyarakat, saya ingin menyarankan mereka menyumbangkan uang itu ke masjid, surau atau orang-orang yang membutuhkan."
Belum Berperan
Nah, sebaiknya jangan salah paham dulu. Kita introspeksi saja, sebab jangan-jangan kita memang masih belum layak disebut sebagai negara maju. Umumnya disebut negara berkembang. Namun sebutan itu sudah sangat lama lo ya!? Artinya kita tidak maju-maju, melainkan berkembang terus. Posisi ini rentan jatuh menjadi negara miskin bila tata kelola kita terhadap negara ini juga masih berkembang. Bukan maju.
Imam Shamsi Ali, seorang ustad dan imam pendiri pesantren pertama di Amerika Serikat juga sempat galau soal reputasi Indonesia di mata dunia ini. Dalam tulisannya di hajimakbul.com Imam Shamsi Ali melihat reputasi Indonesia belum banyak diperhitungkan, khususnya di Amerika Serikat (baca juga: https://www.hajimakbul.com/2019/08/refleksi-hut-ke-74-ri-pesantren-nur.html).
Kembali ke masalah kekesalan Jokowi soal 33 investor yang tidak melirik Indonesia tadi, kata para pengusaha juga sama dengan kegalauan saya tadi. Seperti saya baca di detik.com, Wakil Ketua Kadin bidang Hubungan Internasional, Shinta Kamdani, tampak memahami betapa sulitnya Indonesia menarik investasi luar negeri tersebut. Menurut dia, jika dilihat dari rantai pasok ekonomi dunia, Indonesia belum memegang peranan penting sehingga sulit menarik investasi masuk ke dalam negeri.
"Memang kalau kita lihat, seberapa banyak kita jadi bagian dari supply chain, unfortunately not. Kita bukan bagian dari supply chain. Itu yang harus dibenahi dulu. Tapi nggak boleh nunggu," katanya dalam konferensi pers di Menara Kadin, Jakarta, Rabu (4/9/2019).
Hal inilah yang mendorong Kadin sebagai perwakilan pengusaha ikut proaktif menjaring investasi langsung secara business to business. Dengan kondisi ekonomi dunia yang sedang 'sakit', para pengusaha mencari peluang lain dengan negara-negara alternatif yang biasa menjadi target pasar dunia.
"Kita coba lebih targetted. Mungkin modelnya yang niche (target khusus). Bagaimana kita bisa ambil yang lebih cepat dan niche. Untuk lakukan itu, pelaku usaha harus bergerak," katanya.
Hal senada diucapkan oleh Ketua Komite Bilateral Bulgaria, Albania dan Georgia Kadin, Alex Datuk Yahya. Alex bilang langkah terbaik yang bisa dilakukan pengusaha saat ini adalah meningkatkan ekspor.
Ekspor yang ditingkatkan juga tak melulu dari negara tradisional yang menjadi mitra dagang. Untuk itu, dalam rangka misi bisnis ke sejumlah negara Eropa bulan ini, pihaknya akan mencari celah tersebut.
"Boosting ekspor. Kita harus tingkatkan pasar alternatif. Menambah kapasitas ekspor yang eksisting mungkin sulit. Khususnya kita boost di Eropa timur, kita juga harus penetrasi market itu," katanya.
Nah, untuk mengangkat pamor Indonesia di mata dunia, mungkin tidak hanya mengandalkan pemerintah, khususnya Presiden Jokowi, kita saja yang harus melakukan sendiri, dalam skala kecil, semampu kita. Para diaspora di Amerika misalnya, memperkenalkan model pertanian Indonesia, seperti dilakukan Pak Syarif Syaifullah di Philadelphia. Terlepas dari polemiknya, sutradara Livi Zheng asal blitar juga mengangkat citra Indonesia melalui filmnya, dan yang lain-lain.
Lalu bagaimana dengan saya sendiri? Saya akan jadi investor saja. Saya akan melahirkan banyak investor, sehingga pada suatu saat kelak Indonesia tidak perlu lagi ngemis ke investor asing itu hehehe...? (*)
No comments:
Post a Comment