Oleh Imam Shamsi Ali*
NEW YORK (DutaJatim.com) - Dalam dunia ini selalu ada dua bentuk aturan. Ada aturan tertulis (written laws) dan ada juga aturan-aturan yang tidak tertulis (unwritten laws). Keduanya bisa menjadi rujukan penting dalam menyikapi hal-hal yang terjadi dalam hidup.
Aturan-aturan tertulis jelas implementasinya akan banyak ditentukan oleh pihak ketiga. Entah itu polisi, hakim atau jaksa, bahkan lurah atau kepala desa. Merekalah yang akan menentukan Apakah terjadi pelanggaran aturan/hukum atau tidak berdasarkan fakta-fakta atau bukti yang ada.
Aturan-aturan tertulis jauh lebih mudah dibuat. Karena sejatinya aturan-aturan tertulis itu adalah konsep-konsep yang terbuat dari idealisme manusia. Karena konsep maka seringkali konsep tetap dalam konsep. Terjadi kegagalan dalam implementasi.
Yang lebih buruk lagi sesungguhnya adalah bahwa aturan-aturan tertulis itu dengan mudah disiasati dengan seribu cara agar dikelabui. Bahkan tidak jarang oleh mereka yang membuat aturan itu sendiri.
Yang terjadi kemudian aturan-aturan itu menjadi mainan yang dipermainkan berdasarkan kepentingan mereka yang punya kepentingan. Aturan-aturan itu dari hari ke hari menjadi kehilangan “kharisma”. Manusia tidak lagi menghormatinya, bahkan dengan enteng melanggarnya tanpa beban lagi.
Berbeda dengan aturan-aturan yang tidak tertulis (unwritten laws). Bukan teori di atas buku. Bukan kumpulan idealisme belaka yang digoreskan di atas lembaran kertas-kertas yang (pura-pura) disucikan. Tapi aturan-aturan yang memang tergores dalam jiwa dan relung kalbu setiap manusia.
Oleh karena aturan-aturan itu memegang “bisikan hati nurani” manusia menjadikannya mencengkram dalam ingatan. Manusia tidak akan bisa berlari darinya walaupun penuh intrik dan kepura-puraan.
Ketika seseorang melanggarnya maka dia akan terhukum dengan sendirinya tanpa proses intervensi “law enforcement” (pihak pengamanan). Selama seseorang itu tidak melakukan reparasi (perbaikan) atau dalam bahasa agama taubat, selama itu pula dia berada dalam kurungan penjara diri sendiri.
Tindakan Represif di Negeri Tercinta
Salah satu bentuk hukum yang tidak tertulis adalah bahwa tindakan represif, bahkan atas nama aturan tertulis sekalipun, tidak pernah diterima oleh nurani yang sehat. Melakukan tindakan kekerasan, apalagi kepada rakyat sendiri, terlebih lagi kepada mahasiswa yang merupakan wajah masa depan bangsa, tidak bisa diterima.
Beberapa hari terakhir terjadi gelombang demonstrasi besar-besaran di tanah air, hampir di seluruh penjuru negeri. Dan yang paling membuka mata adalah bahwa demonstrasi massif itu diinisiasi, dikomandoi, dan dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa di seluruh negeri.
(Iklan Kuliner)
Mahasiswa-mahasiswi ini adalah tunas masa depan bangsa. Mereka sedang dalam proses mematangkan diri untuk masa depan yang lebih baik. Dan yang terpenting mereka adalah sosok putra-putri bangsa yang innocent (lugu). Tidak punya kepentingan kecuali untuk masa depan mereka dan negeri yang lebih baik.
Saya tidak terlalu peduli dengan aturan-aturan tertulis yang (mungkin) dipakai oleh kepolisian untuk melakukan tindakan represif itu. Tapi tindakan kekerasan, dengan beberapa kasus hingga merenggut nyawa rakyat, tidak dapat ditolerir.
Karenanya saya mengajak kepada petinggi negeri ini untuk kembali ke hati nurani. Tanyakan pada bisikan hati yang fitri, apakah tindakan itu secara manusiawi, secara rasa moralitas (moral sense) dapat diterima?
Cobalah sebelum tidur malam bayangkan wajah anak-anak harapan bangsa itu dikerasi, dilukai, atas nama pembenaran aturan. Aturan yang tidak mustahil ditafsirkan berdasarkan kepentingan sesaat.
Saya yakin seyakin-yakinnya jika nurani mereka yang di tangannya otoritas negara juga membisikkan bahwa tindakan itu salah. Tindakan itu “immoral dan inhumane” (tidak bermoral dan tidak manusiawi).
Dan Karenanya jika hati nurani tuan-tuan masih membisikkan itu, malulah. Tidak perlu malu pada rakyat karena mereka bisa dibohongi dan dimanipulasi. Tapi malulah pada diri sendiri. Dan kalau iman di hati masih ada, malulah pada Dia Yang Menyaksikan dari atas tanpa hijab.
Jika tidak, saya yakin bahwa memang sense of humanity dan sense of morality telah terhapus dari hidup tuan-tuan. Dan karenanya “in lam tastahyi fashna’ bimaa syi’ta” (jika tidak ada rasa malu lagi, lakukan saja apa yang tuan inginkan).
Jika tuan-tuan tidak malu, biarkanlah bangsa ini yang menanggung malu. Dunia kita tiada hijab lagi. Dan kebrutalan itu menjadi tontonan dunia yang memalukan! (*)
New York, 25 September 2019
* Imam Shamsi Ali adalah diaspora Indonesia di kota New York Amerika Serikat.
No comments:
Post a Comment