Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Pagi Serahkan Diri, Malam Bos PTPN III Huni Bui

Wednesday, September 4, 2019 | 23:08 WIB Last Updated 2019-09-04T16:33:27Z
                           


JAKARTA(DutaJatim.com)-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali membidik pejabat badan usaha milik negara (BUMN). Kali ini KPK menetapkan Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III (Persero) Dolly Pulungan sebagai tersangka suap distribusi gula. Dolly tidak ditangkap melainkan menyerahkan diri pasca-KPK menetapkannya sebagai tersangka.

"DPU (Dolly Pulungan) Dirut PTPN III telah dibawa ke KPK dan sedang dalam proses pemeriksaan. Ia menyerahkan diri Rabu dini hari tadi,"  kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan di Jakarta, Rabu (4/9/2019).

Sebelumnya KPK meminta Dolly Pulungan menyerahkan diri setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap. "KPK mengimbau agar segera menyerahkan diri ke KPK," kata Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif dalam konferensi pers di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (3/9/2019).

Selain Dolly, Syarif meminta seorang tersangka lain juga segera menyerahkan diri yaitu Pieko Nyotosetiadi sebagai pemilik PT Fajar Mulia Transindo. Sedangkan seorang lagi yaitu I Kadek Kertha Laksana sebagai Direktur Pemasaran PTPN III sudah lebih dulu dijerat KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT).

Dolly diperiksa secara maraton sejak dini hari hingga Rabu malam dia langsung dibui. Usai menjalani pemeriksaan, dia langsung dikenakan rompi tahanan KPK dan tangan diborgol. Dolly pun dibui selama 20 hari ke depan untuk memudahkan proses penyidikan kasus distribusi gula ini.

Kasus ini berawal saat perusahaan milik Pieko yang bergerak di bidang distribusi gula, ditunjuk menjadi pihak swasta dalam kontrak dengan PTPN III. Dalam kontrak ini, pihak swasta mendapat kuota mengimpor gula secara rutin setiap bulan selama kontrak.

Dalam prosesnya Dolly dan Kadek Kertha berkongkalikong lantaran membutuhkan uang. Hingga akhirnya Pieko memberikan uang suap kepada keduanya.

"Uang SGD 345 ribu diduga merupakan fee terkait distribusi gula yang termasuk ruang lingkup pekerjaan PTPN III di mana DPU (Dolly Pulungan) merupakan direktur utama di BUMN tersebut," kata  Syarif.

Direktur Pemasaran PTPN III (Persero) I Kadek Kertha Laksana juga langsung ditetapkan sebagai tersangka usai terkena OTT.  KPK telah menahan Kadek di rutan KPK cabang Pomdam Jaya Guntur. Penahanan dilakukan selama 20 hari ke depan. "Tersangka IKL (I Kadek Kertha Laksana) ditahan 20 hari pertama di Rutan Cab KPK di Pomdam Jaya Guntur," kata Febri Diansyah.

Dalam kasus ini, KPK menetapkan tiga tersangka, yaitu pemilik PT Fakar Mulia Transindo Pieko Nyotosetiadi sebagai pemberi. Sedangkan sebagai penerima adalah Dirut PTPN III (Persero) Dolly Pulungan dan Direktur Pemasaran PTPN III (Persero) I Kadek Kertha Laksana.


Dirut Petrokimia Gresik

Pada saat bersamaan, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, juga kembali mengggelar sidang lanjutan terkait perkara dugaan suap dan gratifikasi yang menyeret anggota DPR Fraksi Golkar, Bowo Sidik Pangarso. Agenda persidangan kali ini masih pemeriksaan sejumlah saksi.

Salah satu saksi yang dihadirkan oleh tim Jaksa pada persidangan kali ini yaitu Direktur Utama (Dirut) Petrokimia Gresik, Rahmad Pribadi. Dalam kesaksiannya dia membantah keterlibatannya dalam kasus dugaan suap anggota Komisi VI DPR RI Bowo Sidik Pangarso.

Meski dicecar Jaksa KPK, Rahmad tetap enggan mengakui bila dirinya pernah memperkenalkan PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) kepada Bowo Sidik guna memuluskan bisnis HTK dengan PT PILOG, sebagaimana pengakuan Bowo Sidik dan GM Komersil PT HTK Asty Winasti pada sidang sebelumnya. PT PILOG  merupakan anak perusahaan BUMN PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC).

"Saya harap bapak menjawab dengan jujur ya, karena bapak sudah disumpah di sini. Saksi dalam persidangan sebelumnya telah mengatakan bahwa bertemu dengan Anda dan Pak Bowo di Penang Bistro," tegas Jaksa KPK Ferdian Adi Nugroho dalam sidang terdakwa Bowo Sidik di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta, Rabu (4/9/2019).

Menanggapi pertanyaan Jaksa KPK tersebut, Rahmad pun mengungkapkan bahwa semenjak beredar informasi di media yang mengkaitkan namanya dalam sebuah pertemuan di Penang Bistro tanggal 31 Oktober 2017, dirinya mengaingat-ingat kembali perihal tersebut. Rahmad mengaku sempat menanyakan kepada kesekretariatan PT Semen Baturaja, lantaran pada saat itu Rahmad masih menjabat Dirut Semen Baturaja.

"Disampaikan bahwa ada beberapa agenda internal rapat direksi di antaranya ada juga makan siang di resto Penang Bistro, dan kolega yang tercatat adalah PT Danareksa Sekuritas. Kemudian saya telepon teman yang waktu bertemu yaitu direktur Danareksa Sekuritas Saidu Solihin," ujar Rahmad.

Dalam kesempatan itu, Rahmad membantah segala tudingan yang menyerang dirinya. Rahmad merasa Bowo Sidik Pangarso telah mencatut namanya dalam kasus ini.

"Semua sudah saya sampaikan di muka persidangan. Intinya, nama saya dicatut oleh terdakwa tanpa bukti-bukti yang jelas," kata Rahmad. Rahmad kemudian menceritakan awal mula dirinya mengenal Bowo yakni saat dirinya menjabat sebagai Direktur SDM Petrokimia Gresik. Saat itu, Bowo sebagai anggota DPR melakukan kunjungan kerja ke Petrokimia Gresik

Rahmad mengakui adanya pertemuan dengan Bowo Pangarso. Namun, dia mengklaim pertemuan tersebut hanya sekadar makan siang. "Ada juga agenda makan siang dan kolega yang tercatat PT. Danaresksa Sekuritas, kemudian saya telepon Direktur Danareksa Sekuritas Saidu Solihin, apa benar kita makan siang? betul. Siapa yang mengundang, ada staf Danareksa Sekuritas, kami dan terdakwa," terang Rahmad.

Dalam kasus ini, KPK mulai menguak sumber-sumber gratifikasi yang diterima anggota Komisi VI Fraksi Golkar Bowo Sidik Pangarso. Salah satunya dari petinggi BUMN terkait pengisian posisi jabatan seseorang di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Diketahui salah satu mitra kerja Komisi VI DPR adalah perusahaan-perusahaan BUMN.

Lima Pejabat BUMN

Penahanan Dolly Cs menambah panjang daftar pejabat BUMN yang menjadi pasien KPK. Sepanjang 2019 ini, ada beberapa nama pejabat BUMN kena OTT KPK. Mereka adalah, pertama, mantan Direktur Teknologi dan Produksi PT Krakatau Steel (Persero) Wisnu Kuncoro. Dia terjaring operasi OTT KPK pada 23 Maret 2019 lalu. Wisnu 'nyangkut' di KPK terkait dugaan pengadaan barang dan jasa. KPK menduga Kuncoro menggunakan perantara bernama Alexander Muskitta untuk menerima suap.

Selain Wisnu, KPK menangkap enam orang lainnya. Transaksi terlarang ini diduga terkait suap pengadaan barang dan peralatan di PT Krakatau Steel di tahun 2019 yang masing-masing bernilai Rp 24 miliar dan Rp 2,4 miliar. Pemberian uang itu dengan maksud agar Wisnu memberikan persetujuan pengadaan 2 unit boiler kapasitas 35 ton.

Dalam kasus ini, pihak swasta bernama Alexander Muskitta diduga menawarkan beberapa rekanan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut kepada Wisnu dan disetujui.  Alexander kemudian menunjuk PT Grand Kartech dan menyepakati commitment fee sebesar 10 persen dari nilai kontrak.

Dalam hal ini, Alexander bertindak mewakili Wisnu. Selanjutnya, Alexander meminta Rp 50 juta kepada Kenneth Sutardja dari PT GK dan Rp 100 juta kepada Kurniawan Eddy Tjokro.

Kedua, eks Dirut PLN Sofyan Basir. Pada April 2019 lalu, Sofyan Basir ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Terseretnya Sofyan menjadi salah satu berita besar tahun ini sebab saat itu dia adalah orang nomor satu di salah satu BUMN terbesar di Indonesia, PT PLN (Persero).

Sofyan terlibat dalam kasus dugaan suap berkaitan dengan proses kesepakatan proyek Independent Power Producer Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (IPP PLTU MT) Riau-1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) dan Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd dan China Huadian Engineering Company Limited (CHEC) Ltd.

Dalam kasus ini, KPK juga menjerat mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, mantan Sekjen Golkar Idrus Marham, dan Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited. KPK juga sudah menjerat pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal, Samin Tan.

Sofyan diduga bersama-sama membantu Eni dan kawan-kawan menerima hadiah atau janji dari Kotjo untuk kepentingan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1. Proyek tersebut rencananya dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa oleh Kotjo. Berdasarkan kesaksian mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih, Sofyan Basir mendapat jatah atau fee atas proyek tersebut.

Ketiga, KPK menangkap lima pejabat dan pegawai BUMN dalam operasi tangkap tangan di Jakarta Selatan, pada 31 Juli 2019. Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan, lima orang yang ditangkap berasal dari dua BUMN yakni PT Angkasa Pura II (PT AP II) dan PT Industri Telekomunikasi Indonesia (PT INTI).

Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II Andra Y. Agussalam termasuk salah satunya. Andra diduga menerima suap sebesar 96.700 dollar Singapura dari staf PT Industri Telekomunikasi Indonesia, Taswin Nur.  Uang itu diduga merupakan imbalan atas jasa Andra yang mengawal proyek baggage handling system di sejumlah bandara supaya dikerjakan oleh PT INTI. PT Angkasa Pura Propertindo (PT APP) awalnya ingin menggelar lelang proyek pengadaan BHS. Namun, Andra justru mengarahkan PT APP untuk melakukan penjajakan dan menunjuk langsung PT INTI.

Selain itu, Andra mengarahkan negosiasi antara PT APP dan PT INTI untuk meningkatkan uang muka dari 15 persen menjadi 20 persen. Uang muka itu ditingkatkan karena adanya kendala cashflow di PT INTI. Uang muka itu juga dibutuhkan untuk modal awal pengerjaan proyek oleh PT INTI.

Keempat, Direktur Utama Perum Jasa Tirta II (PJT II). Pada Desember 2018, KPK menetapkan Direktur Utama BUMN Perum Jasa Tirta II (PJT II) Djoko Saputro sebagai tersangka kasus korupsi.  Djoko disangka menyalahgunakan kewenangan sebagai direktur utama untuk mencari keuntungan dalam pengadaan jasa konsultansi di Perum Jasa Tirta II Tahun 2017.

Menurut juru bicara KPK Febri Diansyah, sejak awal menjabat, Djoko memerintahkan bawahannya melakukan relokasi anggaran.  Revisi anggaran dilakukan dengan mengalokasikan tambahan anggaran pada pekerjaan pengembangan sumber daya manusia dan strategi korporat yang pada awalnya senilai Rp 2,8 miliar menjadi Rp 9,55 miliar.  Perubahan tersebut diduga dilakukan tanpa adanya usulan baik dari unit Iain dan tidak sesuai aturan yang berlaku.

Setelah dilakukan revisi anggaran, Djoko kemudian memerintahkan pelaksana pengadaan kedua kegiatan tersebut dengan menunjuk Andririni sebagai pelaksana pada kedua kegiatan tersebut.  Andririni diduga menggunakan bendera perusahaan PT Bandung Management Economic Center dan PT 2001 Pangripta untuk melaksanakan proyek.  Diduga, nama-nama para ahli yang tercantum dalam kontrak hanya dipinjam dan dimasukkan ke dalam dokumen penawaran PT BMEC dan PT 2001 Pangripta. Hal itu hanya sebagai formalitas untuk memenuhi administrasi lelang.

Selain itu, pelaksanaan lelang diduga direkayasa dengan membuat penanggalan dokumen administrasi lelang secara tanggal mundur. KPK menduga telah terjadi kerugian negara sekitar Rp 3,6 miliar yang merupakan keuntungan yang diterima Andririni dari kedua pekerjaan tersebut.

Kelima, eks Direktur Utama Garuda Indonesia. Mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar dan Dirut PT Mugi Rekso Abadi (MRA) Soetikno Soedarjo ditetapkan sebagai tersangka sejak Januari 2017.

Namun, KPK baru melakukan penahanan kepada keduanya pada 7 Agustus 2019.  Penahanan dilakukan setelah keduanya ditetapkan kembali sebagai tersangka. Kali ini dalam kasus dugaan tindak pidana pencucian uang.

Dari pengembangan perkara, KPK juga menetapkan Direktur Teknik dan Pengelolaan Armada PT Garuda Indonesia Tbk tahun 2007-2012 Hadinoto Soedigno.

Ketiganya diduga terlibat kasus suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus SAS dan Rolls-Royce PLC pada PT Garuda Indonesia Tbk, semasa masih menjabat di maskapai BUMN itu. Dalam kasus ini, Emirsyah diduga menerima suap dari Soetikno terkait pengadaan pesawat Airbus SAS dan mesin pesawat Rolls-Royce untuk PT Garuda Indonesia.  Diduga, Soetikno berperan sebagai perantara pemberian suap. KPK menduga Soetikno memberikan uang kepada Emirsyah sebesar 1,2 juta euro dan 180.000 dollar AS atau setara Rp 20 miliar.

Emirsyah juga diduga menerima suap dalam bentuk barang senilai 2 juta dollar AS yang tersebar di Indonesia dan Singapura.  Terkait pengembangan kasus TPPU, Soetikno diduga memberi uang kepada Emirsyah sebesar Rp 5,79 miliar untuk pembayaran rumah di Pondok Indah.

Ada pula uang sebesar 680.000 dollar AS dan 1,02 juta euro yang dikirim ke rekening perusahaan milik ESA di Singapura, serta 1,2 juta dollar Singapura untuk pelunasan Apartemen milik Emirsyah di Singapura.  Sementara itu, untuk Hadinoto, Soetikno diduga memberi uang sejumlah 2,3 juta dollar AS dan 477.000 euro.

Basaria Pandjaitan mengaku miris melihat adanya praktik suap antar perusahaan BUMN.  Ia menyorot kasus dugaan suap terhadap Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II Andra Y Agussalam yang juga melibatkan PT Industri Telekomunikasi Indonesia.

Basaria mengatakan, praktik suap antara dua pihak yang berada di bawah naungan BUMN memprihatinkan dan sangat bertentangan dengan nilai etis dalam dunia bisnis.

"Perusahaan negara yang seharusnya bisa bekerja lebih efektif dan efisien untuk keuangan negara tetapi malah menjadi bancakan hingga ke anak usahanya," kata Basaria.

Basaria pun mengimbau kepada para pejabat negara, termasuk pejabat BUMN, untuk berani menolak tawaran suap.  Menurut Basaria, hal itu merupakan salah satu cara menekan praktik korupsi di lingkungan BUMN.

"Ini yang boleh kita utamakan, ada keberanian menolak apabila seseorang dipaksa untuk memberikan bantuan. Termasuk sekarang kita sudah selalu katakan kalau ada keraguan untuk bertemu langsung dengan KPK atau tim kita, bisa hubungi 198," kata Basaria. (det/wis)

No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update