Oleh
Imam Shamsi Ali*
JAKARTA (DutaJatim.com) - Dalam beberapa hari terakhir ini kasus Papua, atau tepatnya kekisruhan bahkan kekerasan yang terjadi karena isu Papua, menjadi isu yang hangat di tanah air. Konon kabarnya kekerasan-kekerasan yang terjadi, khususnya di tanah Papua, telah menelan korban bahkan dari kalangan TNI dan Polri sendiri.
Dikabarkan bahwa pemicu awal dari kekisruhan dan kekerasan itu adalah insiden yang diyakini sebagai perlakukan rasisme beberapa warga atau pejabat daerah di Surabaya. Tuduhan tindakan rasisme itu pun merambat ke beberapa daerah, dan puncaknya ke tanah Papua sendiri.
Isu Papua sesungguhnya bukan isu baru. Bahkan sejujurnya adalah sebuah isu tersensitif bangsa, sekaligus ancaman terbesar dalam konteks NKRI dan disintegrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sensitifitas isu Papua karena Papua memang punya latar belakang sejarah tersendiri dalam tatanan sejarah perjalanan negeri. Selain itu karena Papua memiliki inklinasi mentalitas yang mungkin saja berbeda dari daerah-daerah lain di negeri ini.
Ancaman terbesar disintegrasi karena Papua memang sejarahnya diincar oleh beberapa bangsa besar lain yang punya kepentingan. Selain karena kekayaan alamnya, juga Papua bisa menjadi sebuah lokasi strategis bagi mereka yang berada dalam lingkaran pertarungan global.
Semua itu seharusnya menjadikan bangsa ini, terlebih lagi mereka yang memiliki otoritas pemerintahan, untuk meresponnya secara sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Tentu dengan memperhatikan segala aspek yang terkait sehingga respon tidak seharusnya melahirkan permasalahan-permasalahan baru.
Selama ini kita kenal bahwa adanya ancaman disintegrasi disebabkan oleh ketidakadilan pembangunan. Contoh yang paling konkret misalnya adalah kasus Aceh ketika itu. Solusinya adalah ada permasalahan pembagian hasil daerah yang selama ini cenderung dimanipulasi oleh pusat.
Tapi Papua tampaknya lain. Kita memang mengenal bahwa kekayaan Papua selama ini banyak diperkosa oleh perusahaan asing. Salah satunya adalah perusahaan Freeport yang seolah mendirikan kota sendiri di negara Indonesia.
Tapi apakah karena itu warga Papua cenderung untuk memperjuangkan kemerdekaan daerahnya? Rasanya tidak juga. Karena klaim yang kita dengarkan selama ini pembangunan daerah Papua begitu besar dalam lima tahun pemerintahan Jokowi.
Saya melihat ada dua faktor yang menjadikan isu Papua semakin sensitif. Faktor pertama adalah faktor internal. Yaitu adanya asumsi yang dikembangkan bahwa Indonesia semakin terancam oleh bangkitnya kekuatan siapa yang disebut oleh dunia Barat sebagai kaum Islamis.
Papua dengan sendirinya yang juga dipersepsikan sebagai daerah yang secara otonomi memiliki hak klaim sebagai “daerah Kristen” semakin merasa terancam pula. Maka tidak heran jika ada negara-negara yang memilki perasaan yang sama atau terancam kaum Islamis membangun solidaritas dengan Papua. Salah satunya yang kita lihat selama ini adalah Israel, yang merasa terancam oleh umat Islam, benderanya tidak malu-malu ditampilkan di bumi Indonesia itu yang anti penjajahan.
Faktor internal ini justeru disebabkan oleh politisasi isu-isu Islam, termasuk isu berdirinya khilafah yang berlebihan. Sehingga tidak mengejutkan respon yang diberikan kepada “so called” ancaman khilafah jauh lebih serius ketimbang ancaman lepasnya Papua yang tidak lagi malu-malu mendengunkan “Papua Merdeka”.
Faktor kedua adalah faktor eksternal. Yaitu adanya kekuatan-kekuatan luar yang punya kepentingan. Tidak saja kepentingan ekonomi dengan kekayaan daerah Papua. Tapi juga Papua bisa menjadi lokasi yang strategis baik secara politik global, bahkan militer dunia.
Semua ini sekali lagi seharusnya disikapi sacara serius oleh pemerintah. Jangan sampai dipandang enteng sehingga isunya tidak lagi bisa terkontrol. Indonesia perlu tegas ketika sudah menyangkut Kesatuan Negara RI. Bukankah selama ini istilah NKRI adalah memang harga mati?
Terlebih lagi bahwa dalam konteks hubungan Internasional, saat ini Indonesia memilki posisi yang cukup strategis. Indonesia merupakan anggota Dewan Keamanan tidak tetap PBB. Artinya ada peluang untuk menyuarakan itu secara lebih lantang lagi di arena Internasional.
Akhirnya ke dalam negeri jangan sampai juga tumbuh kesalahpahaman mengenai respon pemerintah kepada apa yang disebut ancaman disintegrasi itu. Persepsi yang dikembangkan jika “radikalisme” kelompok Islam membahayakan NKRI direspon begitu serius dan sungguh-sungguh. Tidak tanggung-tanggung dengan tangan besi sekalipun.
Tapi ketika kelompok separatis di Papua menyuarakan Papua Merdeka secara terbuka dan tanpa malu, disikapi dengan saling memaafkan dan cinta. Bahkan saya dengar bendera Papua Merdeka sempat ditampilkan (dikibarkan?) di depan istana negara?
Apakah itu strategi baru untuk menyelesaikan isu-isu separatisme dalam negeri? Atau apakah itu merupakan demonstrasi “penganak tirian” sebagian warga dan “penganak emasan” sebagian yang lain?
Rakyatlah yang akan menilai. Harapan kita semoga Allah menjaga bangsa dan negara ini dari ancaman disintegrasi. Amin! (*)
Udara Makassar-Jakarta, 31 Agustus 2019
* Diaspora Indonesia di kota New York.
No comments:
Post a Comment