BUSAN (DutaJatim.com) - Satu lagi gelar kehormatan diterima oleh Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Kali ini Risma mendapat gelar doktor kehormatan di bidang arsitektur dari Tongmyong University, Busan, Korea Selatan, karena dinilai memiliki sikap profesional dan berdedikasi tinggi di bidang arsitektur.
Risma menerima gelar doktor keduanya itu di Tongmyong University, Busan, Senin (30/9/2019). Dengan mengenakan kebaya peach dipadu dengan rok batik hingga baju bertoga, Risma menerima gelar itu dalam acara yang berlangsung penuh khidmat. Saat memberikan sambutannya Risma mengatakan penyematan gelar ini merupakan suatu kehormatan baginya.
Selain itu Risma juga menceritakan soal kepemimpinannya selama dua periode di Kota Surabaya. Selama menjabat Walikota, dirinya berfokus pada penataan ruang publik. Misalnya saja pembangunan taman, hutan kota, lapangan olahraga, danau dan waduk hingga jalur hijau.
"Surabaya adalah kota terbesar kedua di Indonesia. Berfungsi sebagai pusat pengembangan di Indonesia timur. Memiliki total populasi 3,4 juta orang dengan luas total 334 Km persegi. Dalam perjalanan pengembangan kota kami, ruang publik telah menjadi salah satu prioritas kami," kata Risma.
Risma memaparkan salah satu ruang publik yang ditonjolkan Surabaya adalah taman. Hal itu lantaran taman merupakan arena rekreasi yang murah dalam menunjang interaksi antar-warga Surabaya. Risma menyebut, pembangunan taman kota memiliki banyak manfaat.
"Di antara ruang publik lain, taman umum harus memiliki interaksi yang besar dengan masyarakat, tetapi dalam kenyataannya, banyak yang tampaknya tidak dapat memenuhi tujuan ini. Oleh karena itu, di Surabaya, kami membangun peluang bagi orang untuk berinteraksi karena orang-orang adalah pusat dari perkembangan kami," katanya.
Berdasarkan data hingga tahun 2018, Risma mengatakan, Surabaya telah memiliki total 21,94 persen ruang terbuka hijau. Kuantitas ini pun terus meningkat dari tahun ke tahun.
Dalam disertasinya, Risma juga membahas penataan kota dengan hiasan taman umum dan taman di sepanjang tepi sungai. Diakui Risma, dalam melakukan manajemen perkotaan memang cukup kompleks karena melibatkan banyak sektor dan pemangku kepentingan.
"Karena itu, pemerintah perlu memediasi kesenjangan antara kebutuhan masyarakat dan pelestarian nilai sosial-budaya ruang publik," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Risma memaparkan pula keberhasilannyam membangun Surabaya menjadi lebih baik. Sejak awal, Risma mengaku ingin mengembangkan Surabaya tanpa menghilangkan nilai sejarahnya.
"Hasilnya, hari ini kita dapat menyaksikan penurunan signifikan area banjir dari 50% menjadi hanya kurang dari 2%, suhu lebih rendah hingga 2 derajat Celcius, penurunan tingkat penyakit, indeks kualitas udara yang lebih baik," katanya.
Bukan hanya itu, dalam sambutannya, Risma juga berterima kasih kepada seluruh masyarakat Surabaya. Berbagai penghargaan dan pencapaian keberhasilan membangun Surabaya, kata dia, juga merupakan kerja keras masyarakat.
"Semua penghargaan nasional dan internasional yang kami terima, yang mengakui Surabaya sebagai kota hijau yang berkelanjutan, jelas bukan pencapaian pemerintah saja. Namun, jelas merupakan pencapaian semua warga kota Surabaya," katanya.
Walikota Surabaya dua periode ini pernah mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari almamaternya, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya pada 2015. Saat itu, gelar Risma diberikan dari bidang Manajemen Pembangunan Kota di Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan.
Pengganti Risma
Dalam kunjungannya ke Busan kali ini, Risma juga menyempatkan diri menyambangi Busan Indonesia Center. Di sana, Risma bertemu mahasiswa dan warga Indonesia di Busan, sembari menggelar acara diskusi dan menceritakan keberhasilan Kota Surabaya.
Di sela acara diskusi, ada salah satu mahasiswa yang bertanya terkait pemimpin pengganti Risma nantinya. Pertanyaan ini terkait bagaimana Surabaya lima tahun ke depan usai ditinggal Risma.
Risma pun menjawab hal ini dengan santai. Dia mengaku tak keberatan dengan pertanyaan kritis mahasiswa tersebut. Risma menambahkan pemimpin setelahnya nanti harus orang yang mau mendengar rakyat. Karena, banyak permasalahan yang baru diketahui dari mendengarkan langsung suara rakyat.
"Pemimpin itu kan mendengar, enggak bisa kalau tidak seperti itu. Kita kan nggak tahu apa yang jadi masalah mereka. Aku dulu ndak membayangkan kalau banjir, dia sampai ngomong dia tidak bisa kaya karena banjir terus, makanya aku konsentrasi bagaimana menyelesaikan banjir," kata Risma di Busan Indonesia Center, Minggu (29/9/2019).
Tak hanya itu, Risma mengingatkan jika jabatan sebagai pimpinan harusnya tidak diminta atau direbut. Karena, jika seseorang meminta menjadi pemimpin dan merasa dirinya mampu, Tuhan akan memberikan cobaan yang lebih besar.
"Emang iya tidak boleh di agama, tidak boleh (diminta). Aku dulu pernah waktu ke Mesir, Bu ini ada bahwa pemimpin harus direbut. Tapi siapa yang bilang kayak gitu? Kalau kita merebut jadi maksudnya, dianu, kalau Tuhan ngasih, kamu mampu terus dicoba sama Tuhan gimana?," kata Risma.
"Kan (Kalau merebut) berarti merasa dirinya mampu. Kalau dicoba ya cobaannya medeni (menakutkan) naudzubilillah. Karena yang merasakan loh rakyatnya, kasihan itu, medeni tenan," katanya.
Namun, dalam menanggapi pertanyaan tersebut, Risma mengaku cukup santai. Dia telah memikirkan jawaban-jawaban terbaik bagi mahasiswa yang kritis tersebut.
"Semua wes tak pikir kok, semua sudah dipikir. Nggak mungkin aku gawe sesuatu tanpa pikiran, jadi makanya kalau ditanya pasti aku bisa jawab, semua wes tak pikir," katanya. (det/nas)
No comments:
Post a Comment