Forum olahraga seperti ini memang seharusnya bebas dari rokok.
JAKARTA (DutaJatim.com) - Prokontra mewarnai konflik Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan PB Djarum. Pangkal musababnya audisi pencarian bibit atlet bulutangkis. Yang memang terasa ironis memakai brand kuat produk rokok. Yang dicap tidak sehat itu. Padahal untuk ajang yang mengunggulkan tubuh sehat. Bahkan kuat. Sehat saja tidak cukup untuk jadi atlet bulutangkis.
Untuk sementara PB Djarum mengalah. Emoh disebut ngambek. Lha memang ajang ini sudah sangat lama, kok baru disentil sekarang? KPAI lemot! Tapi tidak masalah lemot asal generasi bangsa ini selamat. Hidup sehat. Tanpa rokok. Itu bagi yang tidak setuju dengan rokok. Dan rokok bisa sangat ideologis lo, bukan hanya soal kesehatan.
Teman saya seorang aktivitis Muhammadiyah langsung acungkan jempol pada KPAI. Rokok haram, katanya. Saya tersenyum saja. Teman saya satunya lagi, nahdliyyin tulen alias warga Nahdlatul Ulama (NU) tertawa ngakak. "Bapak saya umur satus tahon, selama hidupnya merokok hehehe." Dia masih tertawa. Mengenang bapaknya yang sudah tiada. Bukan direnggut rokok, tapi karena memang dipanggil Tuhan Yang Maha Memanggil.
Bagi yang perokok, memang fine-fine saja merokok. Mungkin termasuk bagi atlet. Tapi saya sendiri menyarankan sebaiknya jangan merokok. Saya perokok tapi ingin berhenti merokok. Hanya saja sangat sulit berhenti untuk tidak was-wus-was-us yang sebenarnya tidak ada manfaatnya itu. ups, tunggu dulu, ada manfaatnya, sejenak usir stres hehehe!
Tapi rokok sebetulnya bukan satu-satunya akar konflik KPAI vs PB Djarum. Mungkin ada masalah lain? Yang lebih pragmatis. Mungkin persaingan? Saya sendiri bukan pemerhati olahraga. Namun yang jelas kegiatan olahraga juga menerima sponsor dari produk lain yang dicap tidak sehat. Misalnya junk food dan minuman beralkohol.
Jika rokok jadi polemik, bagaimana dengan junk food dan minuman beralkohol? Sedikit berbeda dengan rokok, hingga kini belum ada regulasi yang mengatur junk food dan minuman beralkohol. Khususnya bagi sponsorship kegiatan olahraga.
"Yang sudah jelas adalah susu formula, produk itu jelas tidak boleh menjadi sponsor acara kesehatan yang melibatkan ibu hamil. Selain itu, belum ada regulasi yang tegas mengatur," kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Perlindungan Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono, Selasa (10/9/2019), dikutip dari detikhealth.
Menurut Anung, tak ada regulasi seharusnya tidak jadi masalah. Karena secara norma, penyelenggara acara bisa dengan bijak memilih pihak yang pantas menjadi sponsor. Apalagi jika acara yang hendak dilaksanakan bertema kesehatan. Artinya, produk yang justru berisiko bagi kesehatan bisa ditolak menjadi sponsor. Contohnya junk food, minuman beralkohol, serta produk lain yang beredar di masyarakat.
Nah, kalau masalahnya aturan hukum, yang jadi polemik mestinya bukan kesehatan sebab itu sudah dibahas di pasal-pasal produk hukukmnya. Bila aturan hukumnya tegas, yang memang kita harus mengakui KPAI dan keputusan PB Djarum yang pamit untuk tidak menggelar acara tersebut. Mengapa? Ya, karena tidak sesuai aturan hukum bila tidak mau disebut melanggar hukum.
Seperti dikatakan Komisioner KPAI Sitti Hikmawatty, dua alasan yang menjadi dasar KPAI mengkritik audisi atlet muda bulu tangkis itu. Pertama, unsur eksploitasi secara ekonomi yang terjadi terhadap anak-anak yang menjadi pesertanya. KPAI menghendaki tubuh dari anak-anak tidak dijadikan sebagai sarana promosi gratis bagi produk yang menguntungkan suatu entitas usaha.
Hal ini sesuai dengan aturan yang tercantum dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Sitti menekankan, anak-anak harus dipastikan terbebas dari eksploitasi ekonomi dan mendapatkan perlindungan dari hal-hal tersebut. Ini versi KPAI lo ya! Masalahnya memang, apakah benar anak-anak itu dieksploitasi? Sebab selintas anak-anak senang. Dan bahkan banyak yang mendaftar acara itu? Hanya saja yang perlu diperhatikan, kadang terjadi eksploitasi tidak terasa hehehe. Dieksploitasi tapi malah senang. Ya, seperti para perokok itu. Ini perlu kajian mendalam...
Kedua, adanya unsur denormalisasi produk rokok yang ditemukan KPAI dalam program beasiswa tersebut. Di mana anak dikenalkan bahwa rokok merupakan produk normal dengan menjadikan mereka ‘sahabat yang tidak berbahaya’. Hal ini memungkinkan anak bercengkerama dengan riang gembira dengan zat yang semestinya mereka jauhi. Nah!
Begitulah, bangsa ini centang perenang oleh ambigunya sendiri. Sikap paradoksalnya sendiri. Mau ke Barat dia malah berjalan ke timur. Mau menghentikan rokok agar anak-anaknya sehat tapi kantongnya tebal berisi duit dari cukai rokok. Lalu disiasati agar tidak terlalu berdosa kepada anak. Caranya pun lucu: bungkus rokok diberi gambar horor. Karena lucu, anak-anak pun hanya tertawa melihat bungkus rokok itu. Tapi dia terus saja was-us-was-wus. Anak-anak itu tidak sedang merokok.
Tapi dirokok. Dipaksa rokok-an...! Anak-anak selalu jadi korban awalan "di" yang memberi jalan eksploitasi. Mereka tidak memakai "me" yang memberi jalannya sendiri untuk melakukan sesuatu sesuai kodratnya.
Ya, mari menertawai diri kita sendiri sambil merokok!
Dan silakan berkomentar di bawah sini sambil rokok-an. (Gatot Susanto)
No comments:
Post a Comment