Oleh Imam Shamsi Ali*
NEW YORK (DutaJatim.com) - Beberapa waktu lalu saya pernah menulis sebuah artikel dengan judul "Imagining Indonesia". Hal demikian saya tuliskan karena sebagai anak bangsa yang sudah sangat lama tinggal di luar negeri saya sekali-sekali meneropong Indonesia dari luar dengan mata lugu (an innocent eye). Mencoba melihat secara jujur kelebihan-kelebihan negeri dan juga kekurangan-kekurangannya.
Tulisan itu tentu ada yang setuju dan mengapresiasi. Tapi ada pula yang tidak setuju bahkan menganggapnya pandangan yang tidak aktual dan menyinggung pihak-pihak yang maunya tersanjung. Ada pula yang marah dan merasa jika tulisan itu adalah kritikan yang ditujukan secara khusus pada dirinya. Dan karenanya merasa terancam dengannya.
Kali ini saya mencoba membahas bagaimana sebuah bangsa dengan segala dayanya (with all its power) seharusnya membangun penghormatan kepada bangsanya sendiri. Sebuah bangsa yang yang hebat akan membangun sebuah kesadaran bahwa bangsanya adalah bangsa besar dan hebat. Kesadaran seperti ini lazimnya dikenal dengan nasionalisme.
Penghormatan kepada bangsa tentunya bukan saja kepada institusi kenegaraannya. Tapi lebih dari itu adalah penghormatan, atau mungkin lebih pas memakai kata penghargaan kepada anggota bangsa itu. Artinya menghormati bangsa dan negeri tidak lepas dari menghormati dan menghargai warga dari putra-putri bangsa itu.
Sekadar contoh, bagaimana bangsa Amerika menghargai sesamanya. Seorang pejabat kedutaan atau diplomat US di Jakarta tidak akan tenang jika seorang warganya di sebuah kampung terpencil di Flores, misalnya, mengalami masalah. Mereka akan mencari tahu dan melakukan pendampingan hingga masalahnya selesai.
Saya sekali lagi ingin menegaskan bahwa putra putri bangsa atau anak-anak negeri di sini bukan sekadar warga negara. Apalagi dengan ukuran sebuah paspor semata.
Seorang anak bangsa yang mungkin saja telah lama hidup di luar negeri, boleh jadi karena tuntutan keadaan tertentu telah mengganti paspor. Namun satu hal yang perlu diketahui tidak jarang di antara mereka itu justru memiliki rasa nasionalisme yang tinggi.
Di kota New York ada sekelompok orang-orang yang berusia lansia. Mereka juga menamai diri kelompok lansia. Mereka pada galibnya adalah pendatang sejak tahun 60-an atau 70-an. Dan rata-rata telah mengganti paspor ke paspor warna hitam (Amerika).
Tapi ketika berkumpul mereka umumnya mendiskusikan masalah-masalah “motherland” (pulau ibu) mereka (Indonesia). Menandakan bahwa putra-putri bangsa tidak selalu diukur dengan sebuah buku paspor. Tapi di atas ikatan batin atau emosi dengan negeri tercinta.
Mereka ini juga tidak jarang berada di barisan depan ketika diadakan upacara tujuh belas agustusan atau peringatan hari kemerdekaan RI. Dan masih memimpikan untuk kembali dan menghabiskan masa tua di negeri asal. Walaupun kenyataannya rumah abadi (kuburan) mereka ada di kota ini.
Satu hal yang mengecewakan saya (dan saya yakin banyak warga di luar negeri) adalah sikap dan perilaku sebagian Perwakilan Pemerintah yang terkadang tidak punya perhatian dengan warganya. Tanggung jawab untuk melindungi, mengayomi dan memproteksi warganya seringkali terabaikan atas nama kepentingan bangsa dan negara.
Di sini kita lihat perbedaan pejabat Perwakilan di masa lalu dan sekarang. Di masa lalu pejabat perwakilan pemerintah di luar negeri masih memberikan perhatian besar kepada masyarakat. Itulah yang misalnya melahirkan sebuah masjid di kota New York, yang dikenal belakangan dengan nama Masjid Al-Hikmah.
Di masa lalu bahkan sebagian staf perwakilan itu masih berkenan ikut menjadi pengurus masjid di kota New York misalnya. Tentu ini karena merasa masjid dan komunitas itu adalah bagian dan kebanggaan negeri yang diwakilinya.
Tapi akhir-akhir ini jangankan terlibat menjadi pengurus, menghadiri rumah-rumah ibadah itu saja sangat jarang. Alasannya karena kegiatan itu bukan tugas perwakilan. Itu hanya kegiatan dan urusan masyarakat sendiri.
Bahkan disayangkan, sebuah Perwakilan RI tidak lagi mengadakan acara “Open House” yang menjadi tradisi tahunan perwakilan RI di mana saja. Kecuali tahun lalu karena untuk sebuah urusan pemilihan (election) ke sebuah badan internasional.
Artinya halal bihalal itu diadakan bukan untuk membangun “sense of service” dan relasi yang baik dengan masyarakat. Tampaknya masyarakat bukan lagi pertimbangan penting dalam hal ini. Tapi untuk tujuan pemilihan tadi.
Terlalu banyak contoh yang bisa dituliskan bagaimana perwakilan pemerintah kerap tidak menganggap masyarakat di lingkungan penempatan mereka. Sejujurnya hal itu karena umumnya masyarakat dianggap rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa.
Yang lebih runyam dan menyedihkan lagi adalah ketika justru ada di antara wakil-wakil pemerintah itu yang memusuhi anak negeri karena kekritisannya. Apalagi warga selama ini memang diharuskan menunduk-nunduk, menghormati mereka yang merasa punya jabatan (kuasa). Sisa-sisa mentalitas pejabat Orde Baru.
Warga yang demikian akan diupayakan untuk dieliminir dengan cara halus atau kasar. Sebuah perwakilan misalnya mencoba menghalangi anak negeri untuk mengembangkan dan menyumbangkan potensinya untuk mengangkat nama negerinya.
Kita ambil sebuah contoh bagaimana sebuah pimpinan sebuah perwakilan di sebuah kota berusaha menekan pengurus Jumatan di sebuah institusi besar agar seorang “anak negeri” yang menjadi salah satu khatib di Jumatan di tempat itu dihapus.
Hal itu terungkap pada saat seorang sang khatib itu akan menjadi khatib Jumat pada tanggal 27 September lalu. Sebuah tugas yang telah dilakukannya lebih 20 tahun, sejak tahun 2018 lalu. Dan itu pun karena usulan pimpinan Perwakilan yang sama ketika itu.
Aneh bin ajaib. Pimpinan Perwakilan Pemerintah itu kini justru berusaha membloknya hanya karena sang khatib itu bukan tipe manusia yang “menunduk-nunduk” kepada pejabat. Dia adalah seseorang yang punya “izzah” (harga diri dan kehormatan).
Itulah yang disayangkan. Perwakilan Pemerintah seharusnya mendorong dan mendukung anak negeri untuk membangun potensi dan semangat kompetisi di luar negeri. Selayaknya membuka pintu bagi putra-putri bangsa untuk maju dan mengharumkan nama bangsa di luar negeri.
Justru pimpinan perwakilan RI ini malah berusaha menutupi dan menghalanginya. Bahkan secara terbuka berusaha mengeliminir suatu “potensi kecil” seorang anak bangsa. Potensi yang justru dihargai dan diapresiasi bangsa lain dalam banyak kesempatan.
Entah kapan bangsa ini bisa belajar untuk saling menghargai di antara sesama anak bangsa! (*)
Manhattan, 10 Oktober 2019
* Diaspora Indonesia di kota New York.
No comments:
Post a Comment