Oleh Imam Shamsi Ali*
TANGGAL 20 Oktober ini berakhirlah sudah tugas Bapak Jusuf Kalla atau yang lebih dikenal dengan sebutan JK sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Sebuah posisi yang tidak saja dijabat dengan baik. Tapi sekaligus bersejarah. Karena baru kali ini dalam sejarah Indonesia ada seorang Putra bangsa yang menjabat Wakil Presiden dua kali di bawah dua Presiden yang berbeda.
Tentu tidak mudah menggambarkan sosok seorang JK dalam sebuah tulisan singkat. Beliau adalah sosok “multi talented”. Beliau adalah pebisnis yang sukses, politisi ulung, budayawan yang peduli, tapi juga pelaku sosial dan agamawan yang sepenuh hati.
Di Sulawesi Selatan dan daerah Indonesia bagian Timur secara Umum, bahkan jauh sebelum terjun ke dunia politik, Beliau sudah dikenal sebagai sosok saudagar dan pelaku sosial yang terkemuka. Sosok keluarga Kalla di Sulawesi Selatan sangat kental dalam kombinasi agama dan bisnisnya.
Di era reformasilah tampaknya Pak JK semakin mendapat kesempatan untuk membuka sayap, tidak saja dalam bisnis dan sosial keagamaan. Tapi sekaligus terjun secara langsung dalam politik praktis dalam skala yang lebih besar, skala perpolitikan nasional.
Kali ini saya akan mencoba fokus pada kerja nyata dan keberhasilan JK dalam menyelesaikan beberapa konflik nasional dan regional. Bahkan JK sesungguhnya telah menginisiasi upaya perdamaian global dengan berusaha mempertemukan faksi-faksi yang bertikai dan saling membantai di Afghanistan.
Di dalam negeri JK berhasil menyelesaikan beberapa konflik yang cukup parah dan mengancam keutuhan bangsa dan NKRI. Kita ingat bahwa pasca reformasi di tahun 1998, dan dengan terbukanya keran-keran kebebasan terjadi gesekan-gesekan sosial yang cukup parah dan mengkhawatirkan.
Di Maluku warga yang selama ini bertahun-tahun tidak pernah saling mengusik (mengganggu) tiba-tiba saling bermusuhan. Bahkan saling membunuh. Dan yang paling mudah dieksploitasi untuk menumbuhkan kebencian dan konflik ini adalah isu agama.
Konflik Maluku menjadi rawan karena di kedua belah pihak, baik Muslim dan Kristen, tiba-tiba muncul kelompok-kelompok pejuang untuk masing-masing membela kelompoknya. Untuk Islam kita kenal dengan nama Lasykar Jihad di bawah komando Ustadz Ja’far Umar Talib.
Konflik ini sempat menimbulkan banyak korban jiwa maupun materi di kedua belah pihak. Dan tentunya yang paling parah adalah runtuhnya nilai-nilai sosial yang sangat positif yang tumbuh kokoh selama ini. Yaitu saling percaya dan bersikap toleran antara satu dan lainnya.
Beliaulah yang turun tangan dan menanganinya hingga tuntas. Bahkan Beliau mampu membangunn kembali rasa “mutual trust” (saling percaya) di antara warga Maluku sehingga tenggang rasa itu kembali hadir di tengah masyarakat.
Hampir dalam waktu bersamaan tiba-tiba gesekan antar warga di Poso juga meledak. Konflik yang juga mengatas namakan agama itu juga menimbulkan banyak korban jiwa dan material. Juga terjadi krisis kepercayaan di antara sesama warga.
Krisis Poso ketika itu menjadi sangat kritis dan berbahaya karena dampaknya sempat melebar hingga ke daerah-daerah tetangga, khususnya Sul-Sel. Tiba-tiha saja ada pihak-pihak yang seolah menjadi perwakilan dari warga yang terlibat langsung konflik Poso ketika itu.
Tapi yang paling krusial ketika itu adalah adanya upaya pihak-pihak luar untuk terlibat dan memperparah konflik Poso itu. Kita kenal perang kepada Al-Qaidah di Afghanistan menjadikan pendukung-pendukungnya berusaha mencari “save heaven” (tempat aman) bagi mereka. Dan Poso yang sedang dilanda konflik itu menjadi salah satu kawasan yang baik bagi mereka untuk membangun basis baru.
Hadirnya kelompok luar atau minimal pengaruh luar di satu kelompok menjadikan kelompok lain juga mencari dukungan dari kekuatan luar (outsider power). Beberapa negara bermain dengan cantik, terkadang atas nama HAM misalnya. Tapi sesungguhnya mereka membangun basis kekuatan untuk membantu kelompok yang dianggap menjadi bagian dari mereka.
Di saat-saat seperti itulah JK hadir dan melakukan langkah-langkah perdamaian tanpa kekerasan. Sekali lagi strategi beliau yang berani, tegas tapi penuh dengan sikap bijak meluluhkan kedua pihak untuk menghentikan konflik dan kekerasan itu.
Tapi mungkin upaya perdamaian terbesar yang akan diingat oleh bangsa ini, bahkan dunia, adalah konflik atau tepatnya kekerasan-kekerasan yang telah lama terjadi di Aceh. Konflik dan kekerasan di bagian Indonesia yang dikenal sebagai Serambi Makkah ini begitu sadis dan telah memakan begitu banyak korban jiwa dan harta.
Jika di kedua tempat tadi, Maluku dan Poso, dipicu oleh isu agama maka konflik Aceh disebabkan oleh isu etnis dan ketidak adilan antara pusat dan daerah. Bagi banyak warga Aceh suku Jawa dianggap zholim dan penjajah. Kemarahan itu begitu dalam sehingga mereka ingin untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Gerakan separatis yang menamakan diri GAM atau Gerakan Aceh Merdeka pun muncul. Bahkan Gerakan ini sempat mendapat dukungan dari dan tempat di beberapa negara dunia yang punya kepentingan.
Sejarah kembali dibangun oleh Pak JK. Beliaulah sebagai Wapres bersama timnya berhasil meyakinkan kelompok separatis Aceh untuk kembali ke pangkuan tanah air dan hidup bersama membesarkan Aceh dan negeri.
Tentu saya tidak perlu membahas secara detail bagaimana proses-proses yang terjadi sehingga perdamaian dapat terwujud di tiga kawasan konflik di negeri ini. Dari Maluku ke Poso dan ke Aceh semua bisa damai karena usaha dari seorang Putra Bone, Jusuf Kalla.
Konon kabarnya Pak JK juga ikut andil dalam upaya mendamaikan pihak-pihak yang bertikai di Thailand Selatan. Demikian pula dengan upaya perdamaian antara pemerintah Philipina dan pejuang Bangsa Moro di Bagian Selatan negara itu.
Bahkan yang terakhir sekali adalah usaha JK untuk mendamaikan faksi-faksi yang bertikai dan saling membantai di Afghanistan. Untuk yang satu ini saya sempat juga diundang untuk hadir dalam sebuah pertemuan segitiga Ulama Indonesia, Pakistan dan Afghanistan di Istana Bogor beberapa waktu lalu.
Kini Pak JK sudah menyelesaikan pengabdiannya kepada bangsa dan negara sebagai Wakil Presiden. Maka alangkah sayangnya jika usaha dan keberhasilan beliau mendamaikan pihak-pihak yang konflik itu, mulai dari Maluku, Poso dan Aceh tidak diapresiasi secara baik.
Salah satu cara pemerintah dan bangsa Indonesia untuk mengapresiasi Bapak Jusuf Kalla adalah dengan mengusung beliau sebagai calon penerima Hadiah Nobel Perdamaian dunia.
Saya yakin Pak JK tidak memerlukan penghargaan itu. Beliau sudah lebih tinggi dari sekedar penghargaan seperti Hadiah Nobel. Apresiasi Tuhan dan masyarakat Indonesia untuk beliau jauh bermakna.
Tapi mungkin itulah salah satu cara negara untuk menyampaikan “Terima kasih” kepada salah seorang putra bangsa terbaiknya. Selain itu, dengan mengusung beliau sebagai calon penerima penghargaan bergengsi dunia itu, nama Indonesia akan semakin besar dan harum.
Tapi akankah ada kepedulian itu? Kita tunggu saja! (*)
Udara Dubai-Jakarta, 18 Oktober 2019
*Diaspora Indonesia di New York USA.
*Presiden Nusantara Foundation & Pendiri pesantren Nur Inka Nusantara Madani USA.
No comments:
Post a Comment