Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Pengantin Pesanan China Banyak ABG, Ini Pelajaran dari Kisah Pilu Monika

Saturday, October 12, 2019 | 00:22 WIB Last Updated 2019-10-11T17:22:54Z

Monika korban perkawinan pesanan dari China.


JAKARTA (DutaJatim.com) - Kemiskinan membuat banyak warga negara Indonesia merantau ke negara lain. Menjadi TKI-TKW. Bahkan banyak di antara mereka jadi korban perdagangan orang atau human trafficking. Mereka ada yang dijualbelikan dan bahkan dijerumuskab ke prostitusi di negara tujuan tersebut.

Modus yang saat ini ramai dibicarakan adalah human trafficking dengan dalih perkawinan pengantin pesanan. Bahkan jumlah perempuan warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban pengantin pesanan itu ternyata cukup banyak. 

Lebih dari itu di antara mereka ada yang anak di bawah umur alias ABG. Anak baru gede. Hal ini menjadikan kasus itu merupakan sebuah tindak kejahatan serius. Sebab korban pengantin pesanan China banyak ABG.

Wakil Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Rakyat China (RRC) Listyowati Kamis (10/10/2019 mengatakan sedikitnya ada tiga perempuan di bawah umur, masing-masing berusia 14,15, dan 16 tahun yang berhasil diselamatkan dari kasus pengantin pesanan di China.

Pejabat Protokol dan Konsuler KBRI Beijing, Ichsan Firdaus, menambahkan bahwa Provinsi Henan dan Hebei menjadi dua wilayah di mana kasus pengantin pesanan banyak terjadi, terutama karena kedua wilayah itu memiliki populasi yang cukup besar.

"Di China itu ada dua (wilayah) yang kita catat, Provinsi Henan dan Hebei, karena memang jumlah populasinya banyak. Jadi mereka mencari pengantin untuk menikah," kata Ichsan menjawab pertanyaan wartawan usai kegiatan diskusi penanggulangan kasus pengantin pesananan di Menteng, Jakarta Pusat.

Lebih lanjut, Ichsan mengatakan bahwa pengantin pesananan dianggap sebagai bisnis yang menggiurkan bagi para pelakunya. Para pemesan di China dilaporkan membayar hingga Rp300-Rp400 juta untuk seorang pengantin dari Indonesia.

"Bisa dibayangkan bahwa mereka berusaha merekrut sebanyak mungkin (pengantin) tanpa memedulikan (pernikahan) akan berhasil atau tidak.Jika berhasil, ya syukur, tetapi jika tidak, kita yang kesulitan, karena mereka (para pelaku) kan lepas tangan," katanya.

Kasus perkawinan pesanan ini sudah sering terjadi. Modusnya ada orang bertugas mencari calon pengantin perempuan di Indonesia dengan janji akan dinikahi orang kaya di China. Padahal mempelai prianya buruh tani atau pekerja kasar yang tinggal di desa. Kesimpulannya perempuan muda itu ditipu. Bahkan mereka menderita. Seperti dialami Monika.


Kisah Pilu Monika

Monika (24) yang menjadi korban pengantin pesanan tinggal di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Kisah Monika bermula dari iming-iming makcomblang atau perantara pencari jodoh. Ia mengungkapkan, ditawari menikah dengan pria asal Tiongkok melalui kedua temannya yang baru dikenal.

Makcomblang tersebut ada tiga. Masing-masing berasal dari Jakarta, Singkawang dan Pontianak. Mereka semua perempuan. Menawarkan pernikahan kepada Monika kepada pria Tiongkok yang bekerja sebagai tukang bangunan dengan gaji besar.

Monika pun dipertemukan dengan calon suami bersama makcomblang. Namun, Monika sempat curiga lantaran foto terkait pernikahannya nanti tak boleh diumbar ke media sosial oleh makcomblang.

"Mereka bilang pas foto itu kamu jangan ke media foto, kita nanti ketahuan polisi bahaya," kata Monika saat mengadu di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, beberapa waktu lalu. Para makcomblang itu tetap meyakinkan Monica bahwa dirinya aman lantaran pernikahan resmi pada umumnya. Ia bisa mengabarkan para makcomblang bila terjadi apa-apa. "Kalau kamu enggak betah bisa telepon, saya pulangkan kamu. Dia bilang gitu," ungkapnya.

Monika terbuai, menerima pria yang ditawarkan dan berangkat ke Tiongkok sejak September 2018 lalu dengan harapan hidup kurang mampu bersama keluarga bisa teratasi. Kemiskinan membuatnya memilih jalan tertipu.

"Karena iming iming uang. Nanti di sana dibeliin emas nanti kirim orangtua pasti ada gitu kamu berkecukupan," kata Monika meniru ucapan makcomblang.

Singkat cerita, sekitar 10 bulan tinggal di Tiongkok, Monika mulai merasa tak betah tinggal bersama suami dan keluarganya. Perilaku kekerasan dan pelecehan seksual mulai dialaminya.

Monika bercerita, pernah diajak berhubungan intim bersama suami. Namun, ajakan itu enggan ia penuhi lantaran sedang sakit dan menstruasi. Suaminya tak percaya. Hingga mertua Monika sempat meminta ia telanjang dan minta membuktikan bahwa sedang datang bulan.

Kemudian, Monika mengaku pernah mengalami kekerasan. Punggungnya pernah dipukul oleh sang suami. Dia mengungkapkan, ada juga temannya yang menjadi pengantin pesanan mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

"Teman-teman saya ada tiga orang. Satu orang dipukul," katanya.

Atas kejadian tersebut, Monika mulai sadar. Ia segera menelepon para makcomblang untuk menceritakan pengalamannya dan meminta pulang ke Indonesia. Tetapi, mereka hilang tanpa kabar.

"Makcomblangnya enggak ada semua, enggak ada kabar, enggak aktif semua nomornya. Kamu nanti mau pulang bisa telepon ini saja nanti, nyatanya enggak ada bohong semua," tuturnya.

Akhirnya, Monika berencana untuk kabur dari rumah suaminya yang tinggal di kawasan pegunungan tersebut. Diam-diam, ia kabur keluar rumah dengan menyetop bus menuju terminal Wuji. Kemudian, transit menggunakan taksi menuju kantor polisi di Hebei.

Setibanya di kantor polisi, Monika diinterogasi terkait keberadaannya di Tiongkok. 

Dia pun meminta polisi menghubungi KBRI Indonesia supaya bisa dipulangkan. Namun, ia tak bisa pulang lantaran paspor miliknya masih ditangan suami.

Polisi kemudian meminta paspor miliknya kepada keluarga. Selama menunggu datangnya paspor, Monika malah dipenjara selama tiga hari tanpa mendapat makanan selama paspor itu ada di tangannya. Setelah dihubungi dan dipaksa pihak kepolisian, keluarga suaminya memberikan paspor tersebut. Hari ketiga di penjara, kakak suaminya memberikan paspor tersebut kepada Monika. 

Iparnya tersebut menjemputnya dari kantor polisi dan diajak ke sebuah apartemen di kota Wuhan. Namun, Monika malah ditahan di apartemen dan diminta mengembalikan uang sebesar Rp 100 juta  oleh kakak iparnya sebagai ganti rugi.

Monika kembali berniat melarikan diri dari apartemen tersebut. Beruntung, ia bisa bertemu dan berkenalan dengan sejumlah mahasiswa asal Indonesia yang membantunya kabur untuk pulang ke tanah air tanpa sepengetahuan iparnya. Monika diminta menuju kampus untuk melarikan diri.

"Saya melakukan komunikasi (sama mahasiswa Indonesia) hari apa mau kabur. Kalau mau kabur langsung di depan kampus aja gitu (kata mahasiswa). Jadi saya beranikan diri buat kabur dari apartemen itu dari lantai 31 kan saya beranikan diri untuk turun saya setop taksi," ungkapnya.

Monika menyimpan kontak mahasiswa yang membantunya itu dan memberikan kontak itu kepada sopir taksi. Tujuannya agar mahasiswa tersebut bisa memberikan arahan kepada sang sopir.

Kaburnya Monika berjalan mulus. Setibanya di kampus, dia dijemput oleh para mahasiswa tersebut dan diajak ke sebuah hotel. Di situ ada mahasiswa lain yang siap membantunya mengurus tiket dan mengantar ke bandara untuk kembali ke Indonesia. 

Akhirnya, Monika tiba di tanah air pada Sabtu, 22 Juni 2019 dengan selamat.

"Mereka antar ke bandara, terus mahasiswa itu yang urus tiket. Saya kan enggak ngerti di situ. Dia titipkan saya ke dua orang temannya lagi untuk bantu saya selama di pesawat, saya diiringi dua orang temannya tadi. sampai Indonesia itu saya sudah pisah sama temannya sampai saya di bandara," tutup Monika. (mdk/okz)

No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update