Wana Wisata Rawa Bayu sempat dikaitkan dengan kisah horor KKN di Desa Penari yang viral di media sosial.Padahal, di desa ini belum pernah ada KKN. Berikut pengalaman Budi Harminto yang pernah tilik desa di Banyuwangi mengunjungi desa yang syahdu itu.
BANYUWANGI (DutaJatim.com) - Suasana hening menyergap saat memasuki areal Wana Wisata Rawa Bayu. Areal telaga berdiameter sekitar 50 meter itu terkungkung hutan lebat. Daun aneka pepohonan memayunginya.
Akibatnya, matahari pun susah payah meneroboskan sinarnya hingga siang hari seperti candikala (matahati tenggelam). Desiran angin membawa gemericik air dari celah-celah dinding kaki Gunung Raung terasa dingin menusuk tulang. Beberapa patung kala berwajah menyeramkan seolah menyeruak di balik pohon kecil. Tak ada suara, apalagi teriakan, dan beberapa pengunjung pun berbicara setengah berbisik.
Ya, Rawa Bayu di Desa Bayu, Kec. Songgon, Kab. Banyuwangi, memang sangat hening dan singup (terkesan angker khas desa). Telaga itu menyimpan sejarah Blambangan yang penuh linangan air mata dan tetesan darah. Di salah satu sudut di pinggir telaga itu terdapat petilasan Raja Blambangan Tawang Alun ketika bersemedi merenungi kematian dua adiknya, yang berperang melawan dirinya.
Di Desa Bayu terjadi perang puputan atau perang habis-habisan rakyat Blambangan melawan penjajah VOC Belanda, 18 Desember 1771. Puputan itu diakui Belanda sebagai peperangan paling brutal dan kejam, serta menghabiskan biaya senilai 8 ton emas. Kini setiap 18 Desember diperingati sebagai hari jadi Kota Banyuwangi. Inilah kisah heroik Rakyat Blambangan, jauh sebelum kisah 10 Nopember di Surabaya, yang menjadikan momen Hari Pahlawan itu.
Wisata Religi
Keheningan Rawa Bayu sangat terasa. Awalnya diyakini sebuah rawa, namun seiring perjalanan waktu berubah telaga. Demikian juga suasananya. Keheningan Rawa Bayu sangat terasa pada hari-hari biasa. Namun berubah meriah pada hari libur atau Minggu. Telaga alam itu menjadi tujuan wisata keluarga bagi masyarakat di wilayah Songgon, Rogojampi, Sempu, dan sekitarnya.
Selain itu juga dikunjungi orang dari beberapa daerah di Banyuwangi lainnya, seperti Tegaldlimo, Bangorejo, Purwoharo, Pesanggaran, Muncar, dan sebagainya. Serta beberapa daerah di luar Banyuwangi, seperti Jember, Lumajang, bahkan dari Bali. Mereka datang untuk mengambil air suci, kebanyakan umat Hindu.
"Menurut kepercayaan mereka, biasanya mereka lebih dulu mendapatkan wisik (suara gaib, red.) yang memerintahkan agar mengambil air dari sumber air di sini (sumber Rowo Bayu, red.) ,”ujar Handoyo, penjaga petilasan Prabu Tawang Alun.
Keheningan Rawa Bayu membuat para pengunjung juga ada bersemedi di petilasan Prabu Tawang Alun, Raja Blambangan. Di antara mereka ada yang mengaku keturunan atau kerabat Prabu Tawang Alun. Sebab setelah kerajaan Blambangan hancur, banyak kerabat atau pasukannya yang tercerai berai.
“Ada yang lari ke Bali, tapi ada juga yang bersembunyi di hutan-hutan di daerah Banyuwangi, terbukti masih banyaknya orang yang masih menganut agama Hindu di Banyuwangi,”ujarnya.
Di telaga Rowo Bayu terdapat tiga sumber air, yaitu Sendang Keputren, Wigonggo, dan Sendang Kamulyan. Sebelum mengalir ke telaga atau rowo, sumber air itu ditampung di sebuah kolam kecil atau sendang. Selain ketiga sumber air tersebut, air Rawa Bayu juga berasal dari lapisan batu-batu yang berada di sekitarnya.
Menurut Handoyo, dulu pada hari libur atau Idul Fitri kerap sekali digelar berbagai pertunjukan. Namun sekarang ini sudah jarang sekali, karena banyak kejadian aneh pada saat acara atau usai acara digelar. Misalnya, ada orang kesurupan dan impian yang aneh yang melarang daerah tersebut untuk hura-hura atau mengumbar hawa nafsu.
"Sekarang ini kebanyakan orang yang berkunjung untuk mengambil air dan semedi. Biasanya mereka datang saat bulan purnama dan tilem (tidak ada bulan),”ujarnya.
Wisata Pendidikan
Di sisi lain, Rawa Bayu tidak sekedar tempat wisata dan semedi. Ya, bisa menjadi media pembelajaran yang dapat mendukung mata pelajaan sejarah karena jelas merupakan bukti sejarah. Juga dapat mendukung mata pelajaran biologi karena dapat digunakan sebagai media keanekaragaman hayati, ekosistem rawa,, ekosistem hutan dan sebagainya. Juga dapat mendukung mata pelajaran geografi misalnya menentukan kedalaman rawa.
Jika tertarik ke Rowo Bayu dapat ditempuh dengan kendaraan umum atau pribadi. Dari jalan raya Jember-Banyuwangi, Anda berhenti di kota Rogojampi. Setelah itu terus ke arah barat sekitar 7 Km ke Kota Songgon, kemudian ke barat lagi 7 Km. Harus ekstra hati-hati sesampai di tetenger Puputan Bayu di Desa Bayu. Bukan karena wingit atau horor seperti dikisahkan dalam KKN di Desa Penari, tapi jalan desa biasanya sempit licin dan berlubang. Selamat berlibur. (*)
No comments:
Post a Comment