Tim seni DIY saat tampil
di Gyeongju World Culture Expo 2019.
Laporan: Ali Ikhsanul Qauli, Mahasiswa S2
Kumoh National Institute of Technology, Presiden Perpika 2019-2020.
SEOUL (DutaJatim.com) - Ada yang istimewa dalam gelar Gyeongju World Culture Expo 2019 di Kota
Gyeongju, Korea Selatan. Panggung
seni-budaya di ajang ini dimeriahkan penampilan delegasi kesenian dari Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY). Karena itu,
Gyeongju World Culture Expo 2019 yang digelar pada tanggal 13 Oktober
2019 itu pun bertambah semarak.
Bukan tanpa alasan DIY tampil di festival
budaya ini. Selain untuk mempromosikan seni klasik khas Yogyakarta, juga karena
dua kota itu, Yogyakarta dan Gyeongju, sama-sama terkenal sebagai pusat seni
budaya. Sama-sama daerah istimewa yang sangat bersejarah.
Yogyakarta merupakan daerah istimewa di
Indonesia dengan sistem monarki. Selain itu, dua candi terbesar di Indonesia,
Borobudur dan Prambanan, juga melekat dengan nama Yogyakarta. Kedua candi itu
diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Begitu pula Keraton Yogyakarta
memiliki kekhasan yang sama dengan jejak kota budaya di Korea Selatan.
Gyeongju sendiri merupakan ibukota
kerajaan Korea kuno, yakni Silla. Sebuah kerajaan yang menguasai sekitar dua
pertiga semenanjung Korea selama hampir 1.000 tahun lamanya. Maka, tidak heran
jika banyak situs sejarah dan kebudayaan Korea yang juga diakui UNESCO sebagai warisan
budaya dunia, ada di kota ini. Semisal Candi Bulguksa yang di dalamnya terdapat
Seokguram, patung Budha bertapa.
Pada kegiatan expo tersebut, delegasi
budaya DIY dipimpin oleh Yuliana Eni Lestari Rahayu sebagai Kepala Bidang
Pelestarian Pengembangan Adat Tradisi Lembaga Budaya dan Seni, Dinas Kebudayaan
DIY. Delegasi budaya DIY menampilkan dua pertunjukan khas Yogyakarta. Pertama
adalah Kawung. Seni ini pola geraknya mirip dengan Srimpi dan berpijak pada
tari klasik gaya Yogyakarta. “Gerakan ini menggambarkan satu tujuan yang
kita capai dari empat penjuru arah mata angin, yakni kembali kepada Tuhan,” terang Eni.
Kedua seni kontemporer yang berpijak pada
kesenian klasik Yogyakarta. Cerita ini, kata Eni, mengambil lakon Drupadi.
Drupadi digambarkan kalah main dadu yang kemudian disingkiran ke hutan untuk
kemudian bertapa. Drupadi bersumpah sembari mandi darah untuk membesarkan
anak-anaknya, Pendawa, dengan sekuat tenaga di hutan tersebut.
Pergelaran seni-budaya ini juga dihadiri
langsung keluarga Keraton Yogyakarta, yakni Gubernur DIY Sri Sultan
Hamengkubuwana X, Ratu Hemas, dan juga mantunya Notonegoro. Selain sebagai
apresiasi kepada delegasi budaya DIY, Gubernur DIY secara khusus juga melakukan
kerjasama dengan pihak pengelola Gyeongju World Culture Expo. Harapannya di
tahun yang akan datang delegasi dari Gyeongju bisa pula hadir mengikuti
festival-festival yang ada di Yogyakarta.
Peran Perpika
Dalam acara ini tidak kalah pentingnya
adalah peran Perpika (Persatuan Pelajar Indonesia di Korea). Para mahasiswa
Perpika aktif membantu mensukseskan partisipasi delegasi budaya DIY di Gyeongju
Expo tersebut. Karena itu Sri Sultan secara khusus mendoakan agar keluarga
besar Perpika terus sukses di Korea.
Selain itu, Eni juga mengucapkan
terimakasih banyak kepada keluarga besar Perpika karena telah membantu delegasi
dalam kegiatan teknis mengikuti expo di Gyeongju tersebut, terutama terkait
komunikasi dengan panitia acara yang semuanya menggunakan Bahasa Korea. “Seperti inilah Indonesia, di manapun kita tetap Indonesia, mari bersatu.
Terimakasih banyak kepada keluarga besar Perpika,” kata Eni. (*)
No comments:
Post a Comment