Oleh Imam Shamsi Ali*
BIASANYA saya membagi kategori sunnah baik secara fungsional maupun secara substantif dalam kehidupan manusia kepada empat bagian.
Sunnah dalam urusan teologi (akidah keimanan). Sunnah dalam urusan ubudiyah (ritual). Sunnah dalam urusan pribadi atau perilaku pribadi yang lebih populer dengan istilah akhlak, termasuk di dalamnya urusan kekeluargaan. Dan Sunnah dalam urusan publik dan hubungan internasional.
Bersunnah dalam urusan keimanan
Yang saya maksudkan dengan Sunnah dalam urusan keimanan adalah menjadikan Rasulullah SAW sebagai tauladan dalam mewujudkan keimanannya dalam kehidupan nyata. Bahwa keimanan Rasulullah bukan keimanan biasa yang umumnya merupakan pengakuan. Tapi dalam defenisi Beliau SAW sendiri: “tertanam kokoh dalam hati dan dibuktikan oleh amal”.
Keimanan seperti ini akan tampak ketika sedang teruji oleh keadaan. Ketika umat terbelakang, bodoh, gampang gontok-gontokan, minder dan mau dihinakan, maupun keadaan menyedihkan lainnya, berarti ada ketidaksesuaian dengan cara Rasulullah mengimani kebenaran ini.
Rasulullah SAW dalam mengimani kebenaran ini diimani sebagai api perubahan. Dengan Islam ini Rasulullah bertekad melakukan perubahan mendasar dalam kehidupan.
Dengan Islam kesemrawutan hidup menjadi terinstitusional secara rapi. Kemiskinan kepada kemakmuran, kebodohan kepada intelektualitas, permusuhan dan peperangan kepada ukhuwah dan kedamaian.
Keimanan sejati kepada kebenaran Islam juga akan teruji pada situasi yang kurang menguntungkan. Di saat tantangan dan kesulitan menghadang dalam Perjalanan kepada Ilahi. Di saat itulah iman akan menampakkan diri, benar (Shadiq) atau justeru kepura-puraan (hypocrisy).
Kita diingatkan bagaimana keimanan Rasulullah terbukti kokoh, bagaikan batu karam di tengah samudera luas. Tidak goyah, tidak minder. Tapi justeru tegar menghadapi terpaan ombak itu.
Allah pun menegaskan itu: “apakah manusia dibiarkan mengaku beriman tanpa diuji? Sungguh Kami telah menguji mereka yang sebelum untuk Allah ketahui (buktikan) mana yang jujur (dalam keimanan) dan mana yang berdusta (tentang iman)”.
Satu contoh populer ketegaran yang sering kita baca atau dengarkan dari para penceramah adalah kisah Rasul dalam sebuah peperangan. Di saat ada kesempatan untuk rehat dari kepenatan perang yang dahsyat, Beliau tiba-tiba tertidur sendirian di bawah sebuah pohon. Jauh dari perhatian sahabat-sahabat Beliau.
Di saat-saat seperti itu ternyata Beliau sedang diintai oleh seorang musuh. Musuh itu tiba-tiba mendatangi Beliau yang sedang tidur dan meletakkan pedangnya di dada Beliau. Beliau pun terbangun dan terjadilah percakapan itu.
Kafir: Hai Muhammad, siapa yang akan menolongmu Sekarang?
Muhammad SAW: ALLAH! Dengan tatapan mata penuh percaya diri dalam tawakkal, kepada si kafir itu.
Jawaban Beliau yang penuh kharisma dan kepercayaan penuh itu menjadikan tangan sang kafir itu gemetar dan pedang yang dipegang di atas dada Rasulullah SAW tiba-tiba terjatuh.
Rasulullah SAW dengan sigap mengambil pedang itu, diarahkan ke lehernya lalu bertanya: “Sekarang siapa yang akan menolongmu?”
Sang kafir yang sudah ketakutan itu menjawab: “siapa lagi kalau bukan engkau wahai Muhammad”.
Sang Rasul yang diutus sebagai “rahmah” bagi seluruh manusia itu menjawab: “baik. Pulanglah ke tempatmu”.
Saya tidak melanjutkan apa yang terjadi kemudian dengan cerita tentang ketegaran iman Muhammad SAW. Yang ingin saya ingatkan dengan kisah ini justeru betapa iman Beliau tak guncang oleh situasi apa pun.
Sunnah dalam iman seperti inilah yang umat perlukan. Iman yang tertransformasikan dalam bentuk karya-karya dan inovasi-inovasi untuk mengubah dunia ke arah yang lebih baik. Atau mungkin dalam istilah Al-Quran: “Minaz Zhulumaat ilan Nuur” (dari kegelapan ke alam yang terang).
Di tengah meningginya tantangan terhadap Islam dan umat saat ini, keimanan Rasul inilah yang diperlukan. Komunitas Muslim di mana-mana menghadapi tantangan yang luar biasa. Baik itu karena rancangan orang lain, atau juga karena disebabkan oleh ulah mereka sendiri.
Di saat-saat seperti itulah tidak jarang umat ini goyah dan kehilangan pegangan. Guncang dalam keimanannya. Menciut dalam “self confidence” (percaya diri).
Bahkan menjadi minder dan terjangkiti penyakit “inferiority complex” (merasa rendah dan tidak mampu).
Saya diingatkan sebuah pengalaman pribadi, dan ini satu dari beberapa pengalaman pribadi itu.
Suatu hari saya diundang oleh Drew University untuk sebuah acara. Sebelum memasuki Kampus universitas saya masuk ke sebuah Dunkin Donat untuk segelas kopi.
Saya memperhatikan anak muda yang melayani pelanggan (costumer) di kedai itu. Dia sangat kental berwajah Pakistan. Tapi nama di tanda pengenalnya (name tag) adalah “MO”. Tentu sebagai orang yang pernah tinggal di Pakistan tujuh tahun saya paham betul orang Pakistan.
Di sisi lain, saya ini sering tidak dikenal sebagai seorang Muslim di Amerika. Biasa. Bagian dari stigma seolah Muslim itu adalah Arab. Atau dengan pakaian ala Arab atau Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh).
Karenanya ketika saya memulai percakapan dengannya sang pemuda itu barangkali dia tidak tahu kalau saya Muslim. Mungkin di pikirannya saya ini seorang asal Meksiko. Lalu Percakapan pun terjadi:
Saya: my friend, where are you from (anda dari mana)?
Pemuda: From Pakistan.
Saya: i guess so (saya memang menyangka demikian)
Saya: what is your name? (Siapa Nama anda?)
Sang pemuda tidak menjawab. Tapi dia menunjukkan tanda nama (name tag) di dadanya.
Sambil tersenyum kepadanya, kali ini saya memanggil dia: my Brother.
Saya: My Brother, I lived in Pakistan and I’d never encountered any body has a Chinese name. How it is possible? (Saya pernah tinggal di Pakistan 7 tahun dan tidak pernah ketemu dengan seorang Pakistan yang bernama dengan nama China.
Kok bisa?
Pemuda itu tersipu malu dan berkata: actually my name is Mohammed.
Saya kemudian agak serius dan berkata: why do you change your name? (Kenapa ganti Nama?).
Sang pemuda itu menjawab: Brother, you know I am working in a public place. I am worried people will be scared to come if they know that I am a Muslim (saya kerja di tempat umum. Saya khawatir orang akan takut datang kalau tahu saya Muslim).
Saya dengan sedikit serius berkata kepadanya: Brother, that name is highly admired in Amerika. (Nama itu sangat dihargai di Amerika). Don’t you know Muhammad Ali? (Tidakkah anda tahu Muhammad Ali, sang petinju legendaris?).
Saya meninggalkan Dunkin Donat itu dengan sedikit gusar. Kenapa orang ini ketakutan sebelum ada yang menakutinya? Kenapa malu dan khawatir, atau kehilangan rasa mulia dengan sebuah nama termulia di dunia ini?
Saya kemudian terpikir. Ternyata imannya belum menauladani cara Rasulullah dalam beriman. Dia guncang. Dia takut sebelum ditakuti. Malu dengan sebuah kemuliaan.
Karenanya salah satu sunnah atau ketauladanan kepada Rasulullah SAW adalah dengan menauladani karakter keimanannya. Keimanan yang kokoh (unshakable) dalam menghadapi semua keadaan yang ada. (Bersambung)
Bandara Bogotà, 27 November 2019
* Imam Shamsi Ali adalah Presiden Nusantara Foundation/Pendiri Pondok Pesantren Nur Inka Nusantara Madani USA.
No comments:
Post a Comment