JAKARTA (DutaJatim.com) - Musisi Ahmad Dhani yang baru bebas dari penjara akhirnya kembali ke rumahnya di kawasan Pondok Indah, Jakarta, Senin (30/12/2019). Namun sempat terjadi kericuhan saat acara penyambutan di rumah Dhani tersebut.
Awalnya acara berlangsung lancar. Disertai lantunan salawat. Namun kemudian prosesi penyambutan Ahmad Dhani yang datang dikawal rombongan massa dalam jumlah besar menimbulkan kericuhan. Hal itu karena tempat yang tidak bisa menampung massa yang hadir.
Aksi saling dorong antara awak media dengan massa pendukung Ahmad Dhani pun tidak terhindarkan. Suasana bahkan sempat memanas ketika awak media dengan massa pendukung Ahmad Dhani terlibat adu mulut lantaran tidak mendapat kesempatan mengabadikan gambar Dhani yang sampai di rumahnya.
Tapi ketegangan mereda setelah salah satu panitia penyambutan kepulangan Ahmad Dhani berusaha menjadi penengah. Selanjutnya dilakukan konferensi pers soal bebasnya Ahmad Dhani. Saat membuka konferensi pers, Hendarsam Marantoko selaku kuasa hukum memastikan masa hukuman Dhani sudah berakhir. “Mas Dhani bisa fokus berkumpul bersama keluarga,” tuturnya.
Sementara Ahmad Dhani sendiri tidak banyak memberikan pernyataan. Pentolan grup musik Dewa 19 itu hanya mengucapkan terima kasih kepada orang yang sudah memenjarakan dirinya. Mengapa?
Baca Juga: Ini Rahasia Mulan Jameela Sukses ke Senayan
“Hari ini saya tidak banyak statement. Saya cuma mengucapkan dua kalimat saja. Pertama, bahwa selain keluarga saya, penjara adalah anugerah terbaik dari Allah. Jadi saya mengucapkan terima kasih kepada pelapor, kepada polisi, jaksa, dan hakim yang sudah membuat saya terpenjara,” kata Ahmad Dhani.
Setelah itu, Ahmad Dhani juga memastikan dirinya tetap akan melanjutkan karier di politik sekalipun sudah merasakan dinginnya penjara.
Berkarya di Penjara
Penjara memang membuat manusia sengsara tapi kadang juga membuat manusia pintar tercerahkan sehingga semakin berkarya. Misalnya ulama Buya Hamka. Mohamad Rivaldi Abdul menulis, sejak tahun 1964-1966, selama dua tahun empat bulan Beliau dipenjara karena dituduh melanggar Undang-undang Anti Subversif Pempres No. 11 yaitu merencanakan pembunuhan Presiden Sukarno. (Irfan, Ayah : Kisah Buya Hamka, : 255)
Namun itu hanya tuduhan yang tidak ada buktinya. Sebab Buya Hamka tidak pernah merencanakan pembunuhan Presiden Sukarno. Namun Buya Hamka, tidak mendendam kepada Bung Karno. Bahkan ketika Bung Karno meninggal dunia justru Buya Hamka-lah yang bertugas menjadi imam dalam menshalati jenazah Bung Karno.
Baca Juga: Mereka Tetap Berkarya dalam Penjara
Buya Hamka justru bersyukur. Sebab ketika di penjara Beliau dapat merampungkan karyanya yang luar biasa. Yaitu Tafsir Al-Azhar. Kata Buya Hamka, "Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa semua itu merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al Quran 30 juz. Bila bukan dalam tahanan tidak mungkin ada waktu saya untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan itu." (Irfan, Ayah: Kisah Buya Hamka, : 257).
Lalu ada juga Pramoedya Ananta Toer. Catatan tirto.id, Pram mendekam selama 10 tahun di Buru, pulau seluas 847.320 hektare yang dijadikan kamp konsentrasi tahanan politik (tapol) oleh Orde Baru. Selama di Buru, Pramoedya, begitu pula ribuan tahanan lainnya, bekerja tanpa dibayar mulai dari memotong kayu, membuat sawah berikut irigasinya, hingga mengerjakan lahan milik pejabat kamp tahanan.
Makanan yang mereka santap juga seadanya. Bahkan, dari hari ke hari, kualitas dan kuantitas makanan yang diterima semakin buruk. "Aku mulai makan tikus yang terlalu banyak terdapat di sini, kecil-kecil, hidup di bawah alang-alang, juga telur kadal untuk tidak punah karena turunnya gizi, kualitas, dan kuantitas makanan," ujar Pramoedya lewat kumpulan surat pribadinya selama di Buru, 'Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Jilid I & II".
Buru bukan penjara pertama bagi Pram. Pada 1947, Pram ditangkap aparat marinir Belanda karena ikut sebagai tentara Republik Indonesia. Pram dijebloskan ke penjara
Bukitduri. Lokasi penjara itu di tepi kali Ciliwung, dekat Jatinegara, Jakarta. Pram dibebaskan pada 1949, tak lama setelah Konferensi Meja Bundar.
Jauh setelah pemenjaraan di Bukitduri, Pram meluncurkan buku Hoakiao di Indonesia pada 1960. Melalui buku tersebut, Pram melawan sentimen anti-Tionghoa yang tengah meningkat sembari mengutuk sentimen itu. Akibatnya, dia ditahan 2 bulan di Rumah Tahanan Militer sebelum dipindahkan ke penjara Cipinang pada Februari 1961.
"(Saya di penjara pada 1960-an) di bawah pemerintahan Sukarno, tetapi yang melakukan penahanan, penculikan (adalah) Angkatan Darat," ujar Pram kepada Goodman.
Pram tetap menulis secara sembunyi-sembunyi selama di penjara. Di Bukitduri, Pram menyelesaikan naskah Perburuan yang kemudian dia selundupkan kepada G.J Resink, ahli hukum internasional penulis Indonesia’s History Between the Myths (1968). Resink menyerahkan naskah tersebut kepada redaktur Balai Pustaka H.B Jassin tanpa diketahui Pram untuk diikutkan sayembara. Perburuan pun menang. (tid)
No comments:
Post a Comment