SURABAYA (DutaJatim.com) - Polemik soal heboh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menagih janji Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait gelontoran dana Rp1,5 triliun kredit murah terus berlanjut. Ada yang pro, ada pula yang kontra.
Yang pro menilai Pemerintah seharusnya memang memberikan bantuan--berupa kredit murah atau bantuan lain--kepada warga Nahdliyin yang jumlahnya sangat besar di tanah air. Apalagi mereka selama ini tidak banyak merasakan kue pembangunan.
Karena itu Pemerintah jangan hanya mengumbar janji semata untuk meredam atau mencari dukungan dari ormas Islam terbesar itu, misalnya, dengan tujuan agar tidak kritis terhadap kebijakan Pemerintahan Jokowi. Sedang yang kontra, merasa prihatin sebab NU sudah terseret pada kepentingan pragmatis dan menggantungkan diri pada bantuan Pemerintah. Padahal, NU sebagai ormas Islam terbesar bisa mandiri dan bisa pula istiqomah mengontrol dengan kritis kebijakan Pemerintah secara umum.
Dalam video yang beredar di masyarakat, Kang Said--panggilan ketum PBNU-- mengatakan sampai saat ini pihaknya belum menerima sepeser pun dari nilai yang dijanjikan Pemerintah tersebut. Dia menyinggung jurang antara si miskin dan si kaya. Kata dia, kekayaan alam yang dimiliki Indonesia hanya dinikmati oleh segelintir kelompok saja.
Kang Said pun mengultimatum agar Sri Mulyani bersungguh-sungguh terhadap ucapannya dulu. Upaya itu dilakukan, kata dia, juga sebagai bentuk memperjuangkan masyarakat kecil.
"Sementara sekelompok kecil menikmati kekayaan yang sangat luar biasa. Freeport, uranium, nikel, apalagi batu bara sudah dihabisin oleh segelintir orang saja. Bahkan rakyat miskin berada di mana? Kalau di tempat enggak apa-apa, tapi di tepi kekayaan; tepi tambang, pinggir laut, tepi hutan," katanya.
Marsudi Syuhud, Ketua PBNU, menjelaskan, janji Rp1,5 triliun merupakan inisiasi langsung Sri Mulyani untuk membangkitkan ekonomi kecil. Dia mengatakan, pada periode pertama pemerintahan Joko Widodo, Sri Mulyani bertandang ke kantor PBNU untuk membicarakan memorandum of understanding (MoU) itu.
"MoU katanya untuk membangkitkan ekonomi kecil, micro finance. Jadi, itu bukan sumbangan untuk menyalurkan kredit terhadap mikro ekonomi kecil karena kekayaan enggak merata, katanya mau begitu. Tapi, enggak jadi juga," ujar Marsudi seperti dikutip dari CNNIndonesia.com.
Marsudi menyatakan tanpa adanya bantuan tersebut kini pihaknya tak bisa memenuhi program muktamar NU bidang ekonomi yang pada intinya membantu masyarakat di luar NU.
"Program muktamar NU kan banyak, intinya bidang ekonomi bagaimana masyarakat itu ekonominya tumbuh, gitu lah membantu pemerintah. Membantu masyarakat, membantu bangsa itu bagaimana menggerakkannya. Sekarang akhirnya tetap jalan. Tapi, ya, dari NU untuk NU," terangnya.
Marsudi melanjutkan pihaknya beberapa kali sempat menagih realisasi kredit tersebut di periode pertama Sri Mulyani kala menjabat sebagai Menteri Keuangan. Namun sampai saat ini, tak ada hasil yang didapat.
"Bagian koperasi-koperasi waktu itu tetap ke sana tapi enggak ada. Ya sudah. Ke sana waktu-waktu periode kepemimpinan pertama, bukan periode sekarang," katanya.
"Ya, biar sungguh-sungguh, kan jangan sampai cuma jadi ngomong-omong, enggak ada nyatanya. Kan intinya kita membela masyarakat kecil," katanya.
Jawaban Sri Mulyani
Lalu apa kata Sri Mulyani? Sri Mulyani menjelaskan bahwa pihaknya telah menyalurkan anggaran untuk pembiayaan Ultra Mikro (UMi), namun memang tidak secara individual melainkan melalui lembaga penyalur.
Ini penjelasan lengkap Sri Mulyani menjawab tudingan Kang Said Aqil:
Tahun 2017 waktu itu di dalam APBN dialokasikan Rp 1,5 triliun untuk mendukung perkuatan pengusaha-pengusaha di level ultra mikro. Yaitu yang di bawah KUR yang tidak memiliki akses kepada pembiayaan.
Oleh DPR disetujui Rp 1,5 triliun, termasuk pada level grass root, yang ada di dalam afiliasi dengan organisasi kemasyarakatan. NU sebagai salah satu ormas yang besar, memang memiliki banyak unit usaha yang kebutuhan kreditnya antara 5-10 juta pengusaha.
Di dalam desainnya, kami membuat MoU dengan NU dan ormas lainnya di dalam APBN 2017. Operasionalisasi dari anggaran Rp 1,5 triliun itu adalah dengan menyalurkan kredit ultra mikro melalui beberapa lembaga.
Karena tidak mungkin Kementerian Keuangan dengan dana yang dikelola pusat instansi pemerintah langsung memberikan kepada masyarakat individual. Makanya dilakukan melalui beberapa channeling agency, yaitu seperti PT BAV Bahana Arta Ventura, PMN (Permodalan Madani Nasional) yang termasuk di dalamnya program Mekaar dan juga PT Pegadaian.
Kami juga bekerja sama dengan institusi yang memang membimbing dan memberikan dukungan kepada masyarakat yang merupakan peminjam ultra mikro. Seperti di PBNU itu Koperasi Sidogiri, ada lima koperasi yang sudah menerima Rp 211 miliar. Jadi memang perkembangannya kami terus memantau, ada perubahan dari sisi beberapa cara.
Waktu itu PBNU minta supaya tidak hanya Sidogiri yang sudah well establish, karena Sidogiri ini termasuk yang sudah maju, unit usahanya bagus, masyarakat NU yang masuk dalam koperasi ini juga telah memiliki sistem pembukuan ekonomi yang sangat baik. Namun tidak semua koperasi yang kualitasnya sebagus itu. Sehingga waktu itu juga diminta kepada kami untuk memberikan langsung kepada masyarakat melalui pondok pesantren.
Karena pondok pesantren bukan unit ekonomi, waktu itu kita menyalurkan kepada beberapa langsung individual, tapi karena level ultra mikro maka pendampingan itu penting sekali.
Saya juga dengar PBNU minta diubah, kita akan coba akomodir, tapi tetap pada rambu-rambu tata kelola, karena kalau anggaran di dalam APBN itu namanya investasi, harus rollover, bukan hibah, kalau hibah itu kan diberikan seperti PKH yang kita berikan ke keluarga yang tidak mampu.
Di sisi lain saya juga mengerti, mungkin dari kapasitas grass root itu memang membutuhkan banyak sekali dukungan dan pendampingan. Kita terus menyelaraskan yang sudah bergerak di akar rumput agar dapat dukungan pemerintah yang disebut asistensi melalui akses permodalan.
Kalau bapak Presiden sudah mengharapkan KUR bisa ditingkatkan, yang sekarang dinaikkan jadi Rp 190 triliun bahkan sampai Rp 300 triliun, maka level ultra mikro nanti juga diperlukan untuk mendapatkan intervensi. Namun tantangan paling berat adalah jumlahnya banyak sekali tapi volumenya kecil, ini kenapa kita membutuhkan banyak sekali intermediary yang baik.
Kita akan tetap terus mendukung untuk peningkatan ekonomi rakyat kita, intervensinya tentu dari berbagai hal, termasuk kredit, infrastruktur, dana desa, grand atau sumbangan yang lain yang diberikan kepada masyarakat di kelas akar rumput terutama yang tidak mampu. (hud/cnni/cnbc)
No comments:
Post a Comment