JAKARTA (DutaJatim.com) - Bulan Desember merupakan Bulan Gus Dur. Umat Kristiani, misalnya, selain merayakan Natal dan Tahun Baru juga ada yang mengenang almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Beliau bukan hanya tokoh Islam yang sangat berpengaruh tapi juga sangat dihormati umat agama lain. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga di dunia.
Karena itu bangsa Indonesia pun selalu mengenang Gus Dur. Salah satunya mereka menghadiri acara Haul ke-10 Gus Dur yang digelar di Masjid Jami Al-Munawarah, di Jalan A Munawarah II, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Sabtu (28/12/2019). Salah satu acara dalam haul tersebut adalah Rembug Budaya yang antara lain dihadiri Kapolda Metro Jaya Irjen Gatot Eddy, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, dan dosen UI Sasras Dewi Dharmantra.Gus Dur itu dikenal sebagai tokoh yang sangat suka dengan perbedaan. Karenanya beliau bisa menerima dan menghargai manusia.— Jaringan GUSDURian (@GUSDURians) December 28, 2019
Perbedaan yang bisa dilihat adl disaat beliau menjabat sebagai RI-1.
Mengapa Gus Dur bisa beda? karena #GusDurRumahUntukSemua
Share yuk tuips videonya.. pic.twitter.com/B7IWs2nj14
Dalam kesempatan itu Ibu Sinta Nuriyah Wahid, mengatakan, Gus Dur yang merupakan Presiden ke-4 RI itu merupakan sosok yang peduli terhadap kebudayaan. Ibu Sinta yakin pemikiran-pemikiran Gus Dur soal kebudayaan masih diingat hingga sekarang.Bulan Gus Dur.— Tasawuf Garis Lucu ☆ (@TasawufGL) December 26, 2019
Bersama Gus Mus. pic.twitter.com/VBZq0pjuP3
"Sekalipun sudah 10 tahun, saya yakin ide dan pemikirannya (Gus Dur) masih ada bersama kita semua. Kemudian apa hubungannya dengan rembuk budaya pagi ini? Memperingati haulnya Gus Dur tapi diadakan rembuk budaya. Apa hubungannya? Karena ada satu hal yang perlu kita catat dari waktu hidup Gus Dur, yaitu kepedulian terhadap kebudayaan," kata Sinta dalam sambutannya dalam Rembug Budaya bertajuk 'Kebudayaan untuk Melestarikan kemanusiaan' itu.
Sinta mengatakan, menurut Gus Dur, kebudayaan bukan hanya karya cipta manusia. Kebudayaan merupakan aspek penting dalam nilai kemanusiaan.
"Bahwa kebudayaan adalah aspek penting kemanusiaan. Karena kebudayaan pembeda antara manusia. Ini artinya manusia akan tetap menjadi manusia kalau dia berbudaya. Sebaliknya, tidak lagi menjadi manusia kalau tidak berbudaya. Untuk itu, Gus Dur selalu menyerukan pentingnya kebudayaan dalam kehidupan," katanya.
Sinta pun menyampaikan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Menurutnya, undang-undang ini merupakan semangat dalam memajukan kebudayaan bangsa.
"Lebih dari itu, undang-undang ini memiliki spirit untuk memajukan kebudayaan. Ini arti kebudayaan bukan suatu yang statis, tetapi sesuatu yang dinamis dan progresif sesuai dengan taraf dan situasi sosial masyarakat," katanya.
Namun Sinta menekankan undang-undang ini harus diimbangi dengan komitmen dari masyarakat. "Satu hal yang perlu dipahami adalah undang-undang hanyalah suatu teks yang tidak memiliki fungsi apa pun jika manusianya sebagai sumber dan objek dari undang-undang tersebut tidak memiliki komitmen dan kedisiplinan tinggi untuk melaksanakannya," katanya.
Sinta mengatakan undang-undang itu merupakan bagian dari fokus gagasan Gus Dur. Menurutnya, dengan melaksanakan isi undang-undang tentang pemajuan kebudayaan, secara tidak langsung juga telah melaksanakan apa yang telah diperjuang oleh Gus Dur.
"Undang-undang tersebut merupakan bagian dari concern dan gagasan Gus Dur. Dengan demikian, jika kita bisa merumuskan langkah-langkah strategis dan komplet pelaksanaan undang-undang tersebut, sesungguhnya kita telah melaksanakan dan melanjutkan apa yang dipikirkan dan diperjuangkan oleh Gus Dur," ujarnya.
Baca Juga: - Mengenang Kemanusiaan Gus Dur yang Melampaui Kita
- Gus Dur: Presiden yang Bersiasat dengan Kelakar
- Belajar Menertawakan Diri Sendiri dari Gus Dur
Sementara Kapolda Metro Jaya Komjen Gatot Eddy Pramono saat berbicara di Haul Ke-10 Gus Dur menjelaskan mengenai tiga tantangan kebudayaan yaitu politik identitas, radikalisme, dan media sosial. "Mungkin bapak ibu ingat. Akhir-akhir ini, ya 2016 ke atas, politik identitas juga menguat. Kenapa ini bisa terjadi, nanti saya akan mengaitkan bagaimana permasalahan-permasalahan ini dengan budaya-budaya yang kita miliki," kata Gatot.
Gatot menjelaskan bangsa Indonesia memiliki keberagaman etnis, agama, adat, serta budaya. Menurutnya, apabila perbedaan tersebut disalurkan dalam bentuk ujaran kebencian di sosial media akan menimbulkan konflik dalam bangsa Indonesia.
"Nah saya selalu menyampaikan ketika kita mengangkat perbedaan, kemudian perbedaan-perbedaan itu diungkapkan dalam bentuk ujaran-ujaran kebencian melalui media media sosial. Ini dapat menimbulkan konflik horizontal mungkin kecil tapi lama kelamaan dia akan membesar dan bisa menimbulkan disintegrasi bangsa. Nah ini tantangan kita ke depan," katanya.
Desember Bulan Gus Dur
KH Abdurrahman Wahid, almaghfurlah, setiap bulan Desember selalu diperingati haulnya. Terkait hal itu, KH Husein Muhammad, sahabat Gus Dur, menulis tentang Desember Bulan Gus Dur sebagai berikut:
Desember adalah bulan Gus Dur. Di Turki bulan Maulana Rumi. Tahun lalu aku sudah menulis. antara lain ini :
Gus Dur, adalah nama yang menyimpan kekayaan pengetahuan humaniora dan spiritual yang seakan tak pernah habis dikaji. Meski telah pulang, ia masih terus disebut dan kata-katanya terus dikutip dan diurai oleh banyak orang.
"Ini menarik sekali. Apakah rahasianya," tanya seorang teman.
Aku tak bisa menjawab. Tetapi aku ingat Gus Dur acap menyenandungkan kata-kata Ibn Athaillah al-Sakandari (w. 1309 M), sufi maestro dari Iskandaria, Mesir. Ia menuliskannya dalam bukunya yang sangat terkenal "Al-Hikam":
إِدْفِنْ وُجُودَكَ فِى اَرْضِ الْخُمُولِ فَمَا نَبَتَ مِمَّا لَمْ يدْفَنْ لَا يَتِمُّ نِتَاجُهُ
Tanamlah eksistensimu
pada tanah yang tak dikenal
Sebab sesuatu yang tumbuh
dari biji yang tak ditanam
tak berbuah matang
Dr. Zaki Mubarak (w. 1952), sarjana Tasawuf, terkemuka dari Mesir memberikan komentar atasnya:
“Syair Idfin itu amat memukau. Ia begitu indah. Aku tak pernah menemukan kata-kata yang seperti itu di tempat lain. Di dalamnya tersimpan gejolak spiritualisme yang amat kuat. Sang penulis, agaknya, menemukan maknanya ketika ia melakukan permenungan dalam sunyi, bening dan dalam situasi ekstasi, lalu merasuki jiwanya, maka ia menjadi kata-kata indah nan abadi, sepanjang zaman”.(Baca : Zaki Mubarak, Al-Tashawwuf al-Islamy, Dar al-Jil, Beirut, Lebanon, hlm. 109).
"Apakah maknanya", tanyanya lagi.
Aku mengira-ngira saja. Puisi tersebut bicara soal perlunya menjauhkan hasrat dan ambisi akan popularitas, kemasyhuran diri dan politik pencitraan. Arti puisi itu kira-kira begini : “Simpanlah hasratmu akan popularitas diri, karena hasrat yang demikian tak akan membuat dirimu tumbuh dan berkembang sempurna”.
Hasrat akan kemasyhuran akan menyibukkan diri pada urusan-urusan yang tak berguna dan mengabaikan kerja-kerja yang bermanfaat bagi manusia. Cinta pada kemasyhuran mendorong orang untuk mengurusi dirinya sendiri dan tak peduli pada orang lain.
Itulah Gus Dur yang hari-harinya bekerja untuk manusia, hanya karena Allah.
Aku ingin menuliskannya lagi di sini, kata-kata sang Darwish pengembara, Syamsi Tabrizi, dalam 40 Kaedah Cinta:
ينبع معظم مشاكل العالم من أخطاء لغوية ومن سوء فهم بسيط. لا تأخذ الكلمات بمعناها الظاهري مطلقًا. وعندما تلج دائرة الحب، تكون اللغة التي نعرفها قد عفى عليها الزمن، فالشيء الذي لا يمكن التعبير عنه بكلمات، لا يمكن إدراكه إلا بالصمت.
"Kebanyakan problem di dunia ini berasal dari kesalahan (memahami) bahasa dan kesalahpahaman yang sederhana. Jangan sekali-kali mengambil makna literal dari suatu kalimat. Ketika kau mulai menginjak domain cinta, bahasa yang kita pahami menjadi usang. Hal-hal yang tak dapat diungkap melalui kata-kata hanya dapat dipahami melalui keheningan". (det/ngb)
No comments:
Post a Comment