Anggota Komisi VI DPR RI Achmad Baidowi saat melihat hasil produksi garam di Pamekasan Kamis 9 Januari 2020.
PAMEKASAN (DutaJatim.com) - Nasib petani garam Madura perlu diperjuangkan agar bisa semakin sejahtera. Pasalnya, mereka harus menghadapi ironi dalam tata niaga garam. Saat produksi garam Madura meningkat justru harga anjlok. Ketika petani garam giat melakukan produksi, justru mereka harus berhadapan dengan garam impor. Sungguh ironis. Sebab, Indonesia negara maritim tapi masih suka impor garam.
Kondisi ini membuat anggota Komisi VI DPR RI Achmad Baidowi prihatin. Saat melakukan kunjungan ke Pamekasan dia melihat kenyataan sebanyak 301.696 ton garam rakyat hasil produksi garam 2019 di Pulau Madura, Jawa Timur, belum terserap oleh pasar. Hal ini akibat harga garam anjlok.
Data itu diambil Achmad Baidowi berdasarkan hasil kunjungan ke kantor pusat PT Garam di Kalianget, Sumenep dan gudang penyimpanan garam di Pamekasan Kamis 9 Januari 2020. "Sebanyak 301.696 ton garam rakyat itu tidak terserap," kata Baidowi saat ditemui di Pamekasan.
Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) asal daerah pemilihan (dapil) Madura ini membeberkan data temuan saat melakukan kunjungan ke dua kabupaten tersebut. Dia menyatakan bahwa produksi garam PT Garam tahun 2019 cukup melimpah. Mencapai 454.500 ton. Sedang kapasitas gudang penyimpanan hanya 445.650 ton.
Sementara penyerapan garam rakyat menggunakan skema PMN (penyertaan modal negara) hingga akhir 2019 mencapai 152.804 ton. Akibatnya garam tersebut harus disimpan di gudang olo (terbuka) yang hanya memiliki masa waktu satu tahun. Hal itu terjadi karena penjualan garam terkendala harga yang sangat murah. Saat ini harga garam hanya dalam kisaran Rp200 per kilogram atau Rp200 ribu per ton.
Dia mengatakan, anjloknya harga garam ini salah satunya akibat masih dibukanya kran impor yang bisa dilakukan oleh perusahaan manapun yang memenuhi persyaratan. "Akibatnya harga tak terkendali," kata Awiek-- sapaan akrab Achmad Baidowi.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan Pemberdayaan Nelayan Budidaya Ikan dan Petambak Garam, kata dia, memang masih membuka ruang kebebasan bagi siapa pun untuk melakukan impor garam. Oleh karenanya, perlu ada revisi untuk mengendalikan impor garam, agar berpihak pada kepentingan petani garam. Terutama, menurut dia, dengan memasukkan poin di Pasal 38 dengan menambahkan beberapa poin, yaitu:
1. Perlu ditambahkan tentang harga garam standar nasional sebagai bahan kebutuhan pokok.
2. Mereka yang berhak mengimpor adalah BUMN. "Tujuannya agar dapat mengendalikan jumlah stok impor tidak disalahgunakan dan agar menjadi buffer stok garam industri nasional," katanya.
3. BUMN yang dimaksud sebagaimana pada ayat (2) undang-undang itu, berfungsi sebagai buffer stok dan buffer harga untuk menjamin stabilisasi stok garam dan harga garam nasional.
4. BUMN yang dimaksud pada ayat 2 ketentuan itu hendaknya direkomendasikan oleh Menteri Perdagangan sebagaimana memenuhi persyaratan.
"Sebab, jika tidak ada pengendalian atau pembatasanimpor garam, maka harga garam masih akan terus anjlok," kata mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Yogyakarta ini.
Sementara kadar NaCL garam produksi dalam negeri menurut dia, sebenarnya cukup tinggi. "Tinggal dilakukan peningkatan kualitas melalui pemanfaatan teknologi saja," katanya. (mas)
Foto: Antara
No comments:
Post a Comment