Oleh Imam Shamsi Ali*
SAYA menuliskan artikel ini di udara dalam perjalanan dari Doha menuju New York. Saya biasa menyebutnya kampung New York. Di kota inilah saya dan keluarga bermukim sejak tahun 1996 lalu. Kini sudah lebih 23 tahun saya tinggal di kota dunia ini. Wajar jika terasa kampung sendiri.
Dua tahun terakhir ini saya seringkali pulang ke tanah air tercinta Indonesia. Salah satu tujuan terpenting dari kepulangan itu adalah untuk mensosialisasikan pendirian Pondok Pesantren pertama di bumi Amerika.
Di awal tahun 2020 ini juga saya berkesempatan kembali ke tanah air. Bahkan sesungguhnya saya sudah mendarat di Nusantara sejak akhir 2019 lalu. Kepulangan kali ini barangkali termasuk yang paling lama. Hampir sebulan lamanya. Dari 30 Desember 2019 hingga 26 Januari 2020.
Kepulangan kami di tanah air disebut oleh teman-teman dengan “Safari Dakwah”. Walaupun saya merasa jika perjalanan atau safari ini lebih pas disebut silaturrahim. Saya merasa dakwah itu terlalu besar, dan hanya pantas dilakukan oleh para ulama dengan kredibilitas yang tinggi.
Dalam kunjungan saya kali ini ada beberapa daerah yang saya kunjungi antara lain, Sul-Sel, Jakarta, Jambi, Papua, Kepulauan Riau, dan Jogjakarta. Di Sul-Sel sendiri saya sempat safari ke delapan Kabupaten.
Bagi saya sendiri setiap kali kembali ke tanah air, hal yang paling menarik untuk di-share dengan Saudara-Saudara seiman adalah mengenai Islam dan Dakwah di Amerika, peluang dan tantangannya.
Namun silaturrahim kali juga sekaligus dimaksudkan untuk mensosialisasikan proyek pembangunan pondok pesantren Amerika di kota Moodus CT. Sebuah mimpi besar yang juga diniatkan untuk menggandeng nama besar Indonesia dalam pengembangan dakwah di bumi Amerika dan dunia global.
Selain itu kali ini juga saya pergunakan untuk melihat secara dekat realita Umat Islam Indonesia di berbagai belahan negeri. Maklum selama ini sering kali didengarkan suara-suara pesimis itu.
Di satu sisi sering kita dengarkan jika Umat Islam Indonesia berada dalam situasi yang kurang menguntungkan. Pada tataran ini ada semacam persepsi yang terbangun seolah masa depan Islam di Indonesia suram.
Di sisi lain ada juga persepsi yang terbangun, khususnya di dunia Barat, jika Umat Islam Indonesia sedang mengalami radikalisasi yang berbahaya. Bahkan digambarkan seolah Indonesia berada pada ambang Suriah dan Irak. Artinya, radikalisme Indonesia mengancam terjadinya disintegrasi dan kehancuran negeri.
Pada tataran ini ada persepsi yang terbangun atau dibentuk dengan sengaja jika Islam di Indonesia saat ini seram.
Bangkitnya Semangat Beragama
Setelah beberapa kali saya ke Indonesia dalam dua tahun terakhir ini, satu hal yang pasti saya rasakan adalah adanya kebangkitan (nahdhoh) semangat keislaman di negeri tercinta. Hal itu ditandai oleh berbagai syiar-syiar agama yang tumbuh di mana-mana.
Kajian-Kajian Islam menjadi rutinitas umum di perkantoran-perkantoran dan perusahaan-perusahaan. Tidak saja di kantor-kantor atau perusahaan-perusahaan milik orang Islam. Tapi juga di perusahaan-perusahaan milik non Muslim.
Masjid-masjid juga semakin semarak dan ramai. Di mana-mana saja setiap kali hadir di masjid-masjid, baik untuk sekedar sholat maupun untuk Kajian, masjid-masjid selalu ramai bahkan penuh.
Wanita-wanita Muslimah juga semakin sadar hijab. Di mana-mana kita menyaksikan wanita-wanita Muslimah dengan jilbab rapi. Fenomena ini bahkan begitu nampak di kalangan artis, aktifis dan politisi Muslimah.
Mungkin yang paling menarik adalah bahwa akhir-akhir ini ada semangat kebangkitan bisnis dan keuangan Syariah di Indonesia. Bahkan konon kabarnya ada badan khusus keuangan Syariah yang disebut KNKS (Komite Nasional Keuangan Syariah) yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden RI.
Bahkan beberapa bulan terakhir bisnis Syariah berkembang pesat. Di mana-mana banyak usaha yang dilabeli Syariah. Dari bisnis properti Syariah ke tempat-tempat rekreasi Syariah.
Artinya tidak seperti masa-masa lalu lagi, di mana kata Syariah menjadi sebuah kata yang “menakutkan” banyak orang. Sebaliknya saat ini kata Syariah digandrungi banyak pihak. Tidak saja di kalangan Umat Islam. Tapi juga di kalangan teman-teman non Muslim.
Tidak mengherankan jika saat ini banyak non Muslim yang tertarik ikut terjun dalam bisnis Syariah. Padahal kalau saja mereka tahu arti Syariah maka mereka akan sadar bahwa itu adalah hukum agama (religious law).
Artinya melakukan sesuatu yang berdasar syariah itu artinya melakukan agama atau mengikuti agama itu. Akankah kira-kira mereka lakukan sesuatu yang mereka tidak yakini? Apa kata yang tepat bagi orang ketika melakukan sesuatu tapi “mengingkarinya”?
Poin yang saya ingin sampaikan adalah bahwa ada harapan dan optimisme besar masa depan Islam di negeri ini. Dan terlalu banyak alasan yang dapat saya kemukakan untuk mendukung pandangan saya ini.
Dengan kata lain masa depan Islam di Indonesia tidaklah “suram” dan tidak pula “seram” seperti yang sering kita dengarkan di mana-mana.
Sebaliknya saya melihat ada harapan besar dan optimisme yang tinggi dengan masa depan Umat di negeri ini. Mungkin seperti yang biasa diekspresikan di dunia Barat “at the end of the tunnel there is a shining light”.
Bahwa di ujung terowongan itu, yang boleh jadi panjang dan gelap, ada cahaya yang terang benderang. Bahwa di tengah kesulitan dan berbagai tantangan yang ada, masa depan Umat ini penuh dengan harapan dan optimisme.
Atau seperti judul tulisan ini “di balik awan tebal itu ada matahari”.
Saya biasanya bahasakan harapan dan optimisme ini dengan ekspresi seperti berikut:
“Jangan ragù, jangan bimbang dan khawatir. Sesungguhnya kemenangan itu selalu dan pasti berpihak kepada kebenaran. Karenanya berpegang teguhlah kepada kebenaran. Niscaya kemenangan akan berpihak padamu”.
Tapi apakah jalan menuju kepada kemenangan itu mudah? (Bersambung).
Udara Doha-NYC, 27 Januari 2020
* Imam Shamsi Ali adalah Presiden Nusantara Foundation/pendiri Pesantren Nur Inka Nusantara Madani USA.
No comments:
Post a Comment