Lora Fadil dan tiga istrinya.
SURABAYA (DutaJatim.com) - Poligami masih menjadi isu menarik di masyarakat. Pasalnya, banyak pria ingin poligami. Bukan hanya pria mapan secara ekonomi, bahkan pria miskin pun ingin poligami.
Kasus-kasus istri mencari nafkah untuk keluarganya semisal jadi pekerja migran di luar negeri alias TKW tapi suami di rumah karena lama ditinggal akhirnya menikah lagi secara diam-diam. Ini masih banyak dijumpai di masyarakat.
Ulah suami semacam ini pada akhirnya membuat istri jadi korban hingga memicu stres pada mereka. Padahal sang istri yang sudah memiliki penghasilan sendiri bisa menentukan hidupnya, apakah mau dipoligami atau tidak. Bila menolak, tentu harus siap risiko jadi janda. Siap untuk bercerai.
Poligami tidak dilarang agama, tapi harus dilakukan dengan cara baik dan tidak menyakiti istri. Bukan hanya soal ekonomi, tapi khususnya secara psikologis.
Tapi sekarang ada gejala baru. Fenomena Perempuan Mandiri: Mereka Menolak Dipoligami.
Fenomena perceraian di Blitar yang makin tinggi menarik dicermati. Ternyata pemicu perceraian itu faktor poligami. Perempuan yang mandiri secara ekonomi memilih bercerai daripada dimadu oleh sang suami. Mereka menolak dipoligami.
Hal ini beda dengan tahun-tahun sebelumnya, Pengadilan Agama (PA) Kelas 1A Blitar tidak menemukan faktor pemicu poligami. Yang ada hanya masalah umum seperti terbelit masalah ekonomi, perselingkuhan, dan hubungan jarak jauh yang menjadi penyebab pasangan memutuskan mengurus perceraian. Kasus yang terakhir ini biasanya dialami TKI atau TKW.
Namun memasuki tahun 2020 ini, faktor poligami menduduki peringkat kelima selain masalah ekonomi, selingkuh, pasutri tinggal di tempat beda yang jauh.
Fenomena Perempuan Mandiri: Mereka Menolak Dipoligami
Humas PA Kelas 1A Blitar, Mohammad Fadli mengatakan jumlahnya memang masih sedikit. Namun ini menjadi fenomena baru pemicu timbulnya perceraian di Blitar. Dan sepertinya fenomena ini tak hanya terjadi di Blitar tapi juga di tempat lain.
Dari sebanyak 4.365 permohonan perceraian yang masuk selama tahun 2019 di Blitar, ada 10 permohonan cerai karena poligami. Itupun yang menggugat adalah pihak istri.
Menurut Fadli, istri yang menolak dipoligami karena merasa mandiri secara ekonomi. Mereka rela melepaskan ikatan perkawinan dan mempersilakan suami menikah lagi dengan perempuan lain.
"Si istri tidak rela kalau diduakan. Karena mereka tidak tergantung secara ekonomi pada suaminya. Mereka bekerja sendiri dan punya penghasilan sendiri. Jadi istilahnya, lebih tatag, lebih berani memutuskan bercerai daripada dipoligami," katanya seperti dikutip dari detik.com Minggu 5 Januari 2020.
Fenomena itu bisa semakin besar. Hal ini karena akses wanita untuk mencari nafkah atau uang sangat terbuka. Perempuan bisa bekerja sambilan di rumah. Bahkan hasilnya banyak.
Misalnya memanfaatkan gadget. Menjadi reseller, dropship, atau berjualan online. Mereka bisa juga bekerja konvensional seperti membuka warung nasi atau kuliner lain dan menjual barang lain. Penghasilan mereka lumayan. Bahkan bila ditekuni bisa lebih besar dari suaminya.
Namun demikian istri tidak boleh berlagak sombong di hadapan suami bila memiliki penghasilan besar. Lebih dari itu tidak boleh misalnya berselingkuh atau meminta cerai karena sang suami yang "miskin".
Inilah pentingnya ikatan cinta dalam perkawinan. Cinta yang dilandasi juga cinta kepada Tuhan. Kepada Allah SWT. Keluarga yang dihiasi cinta inilah yang disebut sakinah mawadah wa rahmah.
Dampak Poligami
Suami istri semacam ini akan sangat sulit bila ingin poligami. Mengapa? Karena suami tidak mau istrinya disakiti. Diduakan dan sejenisnya.
Psikolog Tika Bisono pernah mengatakan ada beberapa dampak yang bisa dirasakan para istri akibat dipoligami oleh sang suami. Menurut Tika, paling tidak ada 4 penyakit psikis yang akan dirasakan para wanita bila tidak kuat dipoligami.
Mereka bisa menjadi antisosial, paranoid, bipolar, dan tidak percaya diri.
Menurut Tika, para wanita yang suaminya menikah lagi, banyak yang sebenarnya merasa dipaksa menerima poligami. Wanita itu, lanjutnya, seakan dihajar dan dipaksa untuk menerima poligami itu. "Entitas wanita itu seharusnya mandiri dan merdeka," katanya.
Paksaan itu akhirnya bisa membuat banyak wanita yang tertekan dan depresi. Tika mengatakan hal itu banyak dialami kliennya. Para wanita berkonsultasi bahwa ia merasa terpaksa menerima poligami yang dilakukan suaminya. "Mereka tidak mau cerai karena mempertimbangkan ekososbud," kata Tika.
Ekososbud artinya ekonomi, sosial dan budaya. Secara ekonomi, para wanita ini khawatir cerai berdampak pada sisi keuangannya. Secara sosial, wanita pun takut dibicarakan rekan-rekannya sehingga takut malu. Beberapa pun masih menganggap, cerai itu tidak sesuai dengan budaya yang ada.
Klien-klien Tika, mengatakan suami mereka tidak lagi bersikap adil saat sudah memiliki madu. Hal itu tidak sesuai janji sang suami saat meminta izin istri pertamanya untuk menikah lagi. Tika tidak heran sang suami akan berkurang berbuat adil. "Sikap adil itu harus dilatih. Susah berjanji adil, kalau sebelumnya tidak pernah merasakan harus berbagi," kata Tika.
Tika mengatakan biasanya wanita yang mengalami poligami emosinya tidak stabil. Mereka lebih banyak pasrah atas kondisi yang mereka alami. "Mereka tidak punya jati diri dan sistem egonya itu rusak," kata Tika.
Menurut Tika, seorang manusia seharusnya memiliki keseimbangan ego. Untuk memperbaiki kondisi para wanita yang dipoligami, Tika menyarankan untuk melacak pangkal masalahnya. Jangan sampai sang istri hanya bisa menyalahkan dirinya. "Selain itu, penting juga untuk melakukan hipnoterapi," katanya. Salah satu cara hipnoterapi adalah mampu berdiskusi tentang diri sendiri demi mengembalikan egonya yang sempat hilang. (det/tmp)
No comments:
Post a Comment