SURABAYA (DutaJatim.com) – Tim Penyidik dari Direktorat Cyber Crime Mabes Polri sudah memeriksa Ahmad Khozinudin (AK) tapi nyatanya tulisan tajam Nasjo, inisial Nasarudin Joha, masih berseliweran di medsos. Juga masih tajam dan kritis. Ahmad Khozinudin yang seorang lawyer sempat disebut sebagai sosok di balik Nasjo.
Jumat (17/1/2020) hari ini misalnya sejumlah grup medsos disasar tulisan Nasjo. Kali ini, judulnya ‘NGERI, NEGERI KESURUPAN KORUPSI’.
Sebuah tema lawas tapi tetap relevan sebab akhir-akhir ini korupsi semakin menjadi-jadi di Indonesia. Bahkan nilai kerugian negara sangat mencengangkan. Ada yang Rp 16 triliun.
Nasjo dalam tulisannya mengupas skandal dugaan korupsi paling anyar melibatkan elite lembaga negara dan parpol.
Misalnya Nasjo membahas dugaan korupsi Asabri, pengembangan kasus OTT Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang melibatkan juga politisi PDIP. Ada Harun Masiku yang kabur ke Singapura. Bekas Caleg PDIP ini sudah tersangka.
Keterlibatan Harun malah menyeret nama Hasto Kristiyanto yang tak lain Sekjen PDIP. Lalu apakah Hasto terlibat? Biar nanti KPK yang menjawabnya.
Selain itu Nasjo konsisten menyodok sistem demokrasi yang dinilai gagal membentuk pejabat yang bersih.
Menurut Narjo, negeri ini membutuhkan perombakan sistem yang bebas korupsi. Sistem yang mampu mencegah dan menindak secara tegas. Sistem yang mampu melawan dominasi kekuasaan. Apa itu? Islam. Karenanya, tulisan Nasjo ini ada yang menyebutnya bau khilafah.
Inilah yang diyakini bisa membentuk para pejabat takut dosa, sehingga ia tak lalaikan amanah. Jika demokrasi gagal mewujudkan, komunis juga sudah usang, bukankah hanya Islam satu-satunya tumpuan harapan?
“Bebas korupsi hanya sebuah ilusi bila masih terapkan demokrasi. Bebas korupsi bukan mimpi bila Islam sebagai solusi atasi polemik negeri,” tutupnya.
Nah, Ahmad Khozinudin (AK) yang ditangkap polisi sempat disebut sebagai Nasjo. AK juga mengakui dirinya ditangkap tapi membantah bahwa dia adalah Nasjo. Lalu apa mungkin polisi salah tangkap?
Berikut artikel lengkap Nasjo yang berjudul:
NGERI, NEGERI KESURUPAN KORUPSI
Oleh: Nasrudin Joha
Adalah hal yang mengejutkan publik di bawah pimpinan Firli Bahuri, KPK mulai aktif melakukan Operasi Tangkap Tangan. Bermula dari penangkapan Bupati Sidoarjo, Saiful Ilah hingga kasus suap yang menjerat Komisioner KPU, Wahyu Setiawan. Korupsi kerap merajai dan selalu mewarnai kepemimpinan setiap Presiden yang pernah berkuasa.
Seakan-akan korupsi sudah menjadi sarapan wajib dalam setiap berita. Tahun baru juga dibuka dengan dugaan korupsi PT Asabri. Lembaga plat merah pun tak luput dari gurita korupsi. Menjadi habit yang tak berkesudahan.
Sebelumnya, ada Pelindo II, Garuda, Bank Century, dan paling heboh Jiwasraya. Liga Korupsi Indonesia sepertinya masih akan berlangsung.
Korupsi memang tak mengenal korban. Pelakunya bisa siapa saja. Dimana ada mesin uang dan kekuasaan berputar, disitulah korupsi akan hinggap bak kumbang yang menghisap nektar.
Entah pejabat daerah, lembaga pemerintah atau bahkan sosok yang mengklaim dirinya bersih korupsi juga bisa menjadi korban tinta hitamnya.
Semprotan uang itu memang menggiurkan. Selama menguntungkan, negara rugi urusan belakangan. Itulah mengapa para koruptor itu tak kapok berulah. Menghisap kekayaan negara untuk mengenyangkan dirinya.
Sebabnya, sistem kapitalis demokrasi memang memberi angin segar bagi para maling. Biaya pemilu mahal harus balik modal menjadi pendorong kuat untuk melakukan praktik korupsi. Manipulasi proyek pun dilakukan sebagai jembatan melakukan korupsi. Sistem demokrasi tak mengenal halal haram. Suap menyuap itu biasa. Sebagai pelicin agar kepentingannya bebas hambatan. Dalam demokrasi, berpolitik tak pakai aba-aba halal atau haram. Asal menguntungkan, meski jalannya salah tak mengapa.
Hadirnya KPK semula untuk berantas rasuah. Saking rajinnya OTT, KPK diperlemah. Jika diteruskan, hal ini akan membahayakan para koruptor, calon, dan koleganya. Selama 18 tahun berdiri, KPK masih juga tak punya gigi. Kasus-kasus besar seperti Century dan BLBI menguap begitu saja. Entah kemana rimbanya.
Apalagi jika kita mengingat Jiwasraya, Asabri, dan Wahyu Setiawan, mungkin kita pesimis dibuatnya. Sebab, selain terhalang prosedur yang rumit dengan UU revisiannya, KPK hanya berani mengungkap kasus korupsi kelas teri. Tak berdaya menghadapi rantai oligarki yang berkuasa.
Selain itu, hukuman bagi koruptor juga tak memberi pelajaran berharga bagi pelakunya. Sanksinya tak sebanding dengan kerugian yang dialami negara akibat perbuatan mereka.
Bahkan mereka juga masih bisa mendapat remisi. Negeri ini terlalu ramah kepada tikus berdasi. Karena itulah mereka juga tak jera. Penyakit korupsi sudah terlalu kuat mengakar di lingkaran sistem yang diterapkan.
Jika pemerintah berkomitmen memberantas korupai, jangan beri celah untuk memperlemah KPK. Ada KPK saja masih suka korupsi. Bagaimana jadinya bila KPK mandul dan tak berfungsi?
Gurita korupsi bakal makin besar dan berkembang. Oleh karenanya, tak cukup hanya mengandalkan lembaga anti rasuah seperti KPK. Negeri ini membutuhkan perombakan sistem yang bebas korupsi. Sistem yang mampu mencegah dan menindak secara tegas. Sistem yang mampu melawan dominasi kekuasaan.
Sistem yang bisa membentuk para pejabat takut dosa sehingga ia tak lalaikan amanah. Jika demokrasi gagal mewujudkan, komunis juga sudah usang, bukankah hanya Islam satu-satunya tumpuan harapan? Bebas korupsi hanya sebuah ilusi bila masih terapkan demokrasi. Bebas korupsi bukan mimpi bila Islam sebagai solusi atasi polemik negeri.(*)
No comments:
Post a Comment