Oleh Imam Shamsi Ali*
SEMAKIN kita bersentuhan dengan media, khususnya media sosial, semakin kita tersadarkan betapa lalu lintas informasi yang ada semakin tidak terkontrol. Bahkan pada tingkatan tertentu sangat tidak bermoral.
Dalam dunia keterbukaan media, lalu lalang informasi semakin bebas. Bahkan terkadang tanpa batas dan aturan. Informasi yang berkeliaran bagaikan hewan buas yang siap menerkam mangsanya setiap saat. Atau bagaikan peluru nyasar tanpa tahu dari mana arahnya. Atau bagaikan virus Corona yang mematikan tanpa tahu asal usulnya.
Tentu kita sadar bahwa manusia yang memang tidak mengimani hari “pertanggung jawaban mutlak” (yaumu ad-diin) akan melakukan apa saja selama yakin tidak akan tersentuh oleh hukum dunia. Bahkan di saat mereka sadar pun tentang hukum dunia. Karena mereka tahu betul bahwa hukum dunia itu penuh intrik dan dapat dimanipulasi.
Karenanya bagi orang-orang seperti ini menyebarkan informasi-informasi yang bukan saja belum terverifikasi, bahkan terkadang sudah tahu kalau itu salah menjadi biasa. Lebih dari itu bahkan sengaja menyebarkan informasi-informasi yang salah ke tengah-tengah masyarakat.
Akibatnya terjadi kesalahpahaman, ketegangan, kekisruhan, bahkan terjadi berbagai fitnah yang membawa kepada permusuhan dan perpecahan dalam masyarakat. Satu tujuan yang pasti adalah “tafriiq baenan naas” (memecah belah manusia). Lebih khusus lagi memecah belah orang-orang yang beriman.
Yang mengherankan bagi saya, sekaligus menyedihkan, adalah ketika ada orang-orang Muslim melakukan hal yang sama. Bahkan lebih menyedihkan lagi ketika itu dilakukan atas nama agama dan perjuangan.
Untuk itu saya ingin mengingatkan kembali diri saya dan kita semua untuk selalu mengingat “acuan moral” sekaligus “konsekwensi” yang diakibatkan oleh sikap tak berhati-hati (careless) dalam menyebarkan informasi atau berita.
Pertama, bahwa setiap kata yang kita sampaikan, baik secara lisan (oral) maupun tulisan (written) pasti akan dipertanggung jawabkan di hadapan Mahkamah Ilahi.
“Tidaklah keluar sebuah kata darinya kecuali dicatat oleh Raqiib (malaikat pencatat kebaikan) dan Atiid (malaikat pencatat keburukan).
Kedua, tentu orang beriman sadar bahwa mengklarifikasi berita, baik untuk diri sendiri apalagi untuk disebarkan ke orang lain hukumnya wajib.
Perintah itu jelas dan tegas dalam Al-Quran (Al-Hujurat: 6). Ayat itu berbentuk kata perintah (fi’il amar). Dan dalam kaidah ushul fiqhi kita kenal “al-amru lil-wujuub” (perintah itu hukumnya wajib).
Ketiga, kalaupun tujuan menyebarkan berita itu untuk, anggaplah untuk sebuah tujuan yang dianggap baik (mulia), misalnya untuk membela agama dan kebenaran/keadilan, maka juga terjadi pelanggaran nyata.
Tujuan mulia dalam pandangan Islam tidak menghalalkan segala cara. Maka menyebarkan berita yang tidak jelas, apalagi memang bohong atas nama membela Islam adalah batil (salah).
Keempat, agama Islam menggariskan bahwa ketika kita melawan kebatilan atau merespon kepada sesuatu yang kita anggap salah maka harus dilakukan dengan cara-cara yang lebih baik, lebih santun, lebih bermoral.
“Lawanlah dengan cara yang terbaik” (Al-Quran). Karenanya ketika kebatilan direspon dengan cara yang batil, kita telah menempatkan diri pada posisi yang sama (kebatilan).
Kelima, tentu pertimbangan integritas moral dan akhlakul karimah harus selalu dikedepankan dalam upaya membela kebenaran. Umat ini jangan pernah kehilangan pijakan moralitas karena semangat membela kebenaran. Karena jika itu terjadi maka dengan sendirinya terjadi paradoks nyata. Merasa membela kebenaran tapi sekaligus merendahkan kebenaran itu sendiri.
Semoga upaya-upaya kita dalam menegakkan dan membela kebenaran selalu terjaga dalam batas-batas kebenaran itu sendiri.
Jadikan akhlakul karimah sebagai “fondasi perjuangan” dalam membela kebenaran dan keadilan. Karena akhlakul karimah saat ini menjadi barang mulia yang langka dan mahal. Semoga! (*)
New York, 26 Februari 2020
* Imam Shamsi Ali adalah Presiden Nusantara Foundation Amerika Serikat.
No comments:
Post a Comment