Raja’e bersama alumni HMI lain potong tumpeng Milad HMI ke 73.
PAMEKASAN (DutaJatim.com) - Wakil Bupati Pamekasan Raja’e mengingatkan kader HMI akan pentingnya menguasai masalah independensi, kemandirian, komitmen ke-Islaman dan khazanah intelektual di HMI.
Itu disampaikan Raja’e saat memberi sambutan dalam Peringatan Milad HMI ke 73 dan Pembukaan Latihan Kader (LK) II yang digelar HMI Cabang Pamekasan, di Gedung Islamic Center, Sabtu (8/2/2020).
“Dalam pengamatan saya selama 73 tahun HMI berkhidmat ada banyak hal mendasar yang sempat ada di pikiran saya, juga mungkin pada mantan kader HMI lain. Yang pertama adalah menyangkut independesi HMI, lalu kemandirian mengelola HMI, komitmen sikap keberagamaan dan soal khazanah intelektual para kader HMI, “ katanya.
Mantan Ketua HMI Cabang Pamekasan ini mengungkapkan bahwa independensi di HMI ada dua yakni independensi secara organisatoris dan independensi secara etis. Namun terkait dengan situasi dan kondisi politik yang mengitari perjalanan HMI dari masa ke masa sampai pada hari ini, dia mempertanyakan apakah HMI masih bisa independen atau tidak.
“Mampukah HMI independen baik secara etis maupun organisatoris ? Pertanyaan ini selalu muncul dalam benak saya pribadi dan melihat aktivitas aktualisasi yang muncul di permukaan belakangan ini, baik keluarga besar HMI dari semua level, ditingkat Komisariat, Cabang, Badko hingga PB HMI,” katanya.
Masalah independensi, lanjut Raja’e, menjadi problem rumit bagi kader HMI. Dia mengakui sejak menjadi aktifis HMI hingga kini ada masalah dengan pembiayaan organisasi. Mampukah HMI melaksanakan LK tanpa uang atau dengan kata lain tanpa bergantung pada alumni ?
Maka kemudian korelasi ini akan masuk pada pertanyaan mampukah HMI independen baik secara organisasi maupun secara etis ?
Dia juga mengaku prihatin ketika mengetahui para penyumbang pembiayaan LK 2 yang digelar kali ini kebanyakan berasal dari mantan kader HMI dari politisi. Kondisi ini, kata dia, memungkinkan HMI ditariktarik oleh sebuah gerbong tertentu atau bahkan kekuasaan, dengan situasi dan kondisi bahwa HMI belum mampu melakukan kaderisasi secara mandiri dari pembiayaan kegiatannya.
Yang ketiga, kata dia, problem HMI kini adalah terkait role model pemikiran ke- Islaman. Dia mengaku HMI tidak lagi menarik, berbeda dengan pada tahun 70 hingga 90 an. Dia bilang dirinya tertarik masuk HMI pada tahun 98 lalu karena tertarik dengan kreatifitas berfikir para kader HMI saat itu yang membuat dirinya lalu menjadi anggota HMI.
“Tahun 98 saya masuk HMI, saya merasakan betul atmosfir keberagamaan yang plural, keberagamaan yang luar biasa yang dicontohkan oleh para senior HMI. Apakah hari ini model keberagamaan yang terekam oleh adik HMI ini tetap melekat atau tidak ? Saya melihat nampaknya dari masa ke masa ini menjadi persoalan. Oleh karena itu problem ini harus dijawab melalui intermedit training dan senior kos yang dilaksanakan pada hari ini,” ungkapnya.
Yang terakhir menyangkut khazanah intelektual. Kalo di era tahun 70 an HMI melahirkan Nurchollis Majid, tetapi setelah itu belum kita temukan para intelektual muslim yang lahir dari HMI.
“Pertanyaan yang muncul apakah hari ini itu tetap berlaku dan berlanjut ditubuh organisasi ini. Oleh karena itu saya berharap intermedit training dan senior kos ini melahirkan generasi baru setelah era Nurcholis Majid.” pungkasnya. (mas)
No comments:
Post a Comment