Saat wabah Corona di Kota Wuhan, China, sudah mereda, para dokter dan tenaga medis lain kembali ke daerahnya masing-masing diangkut dengan kendaraan. Warga Wuhan berjajar di pinggir jalan memberi hormat dan mengucapkan terima kasih atas jasa para dokter dan tenaga medis itu dalam menanggulangi wabah COVID-19.
Bagaimana dengan warga di Indonesia?
JAKARTA (DutaJatim.com) - Dokter dan petugas medis lain sudah berjibaku menangani pasien Corona atau COVID-19. Bahkan, tujuh dokter gugur dalam tugas saat merawat pasien COVID-19 lantaran dirinya sendiri juga terserang virus itu. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) mengumumkan tujuh dokter meninggal dunia dalam menjalankan tugasnya selama pandemi virus corona (COVID-19) di Indonesia.
Tujuh nama dokter tersebut adalah dr. Hadio Ali, SpS, dr. Djoko Judodjoko Sp.B, dr. Laurentius P. Sp.Kj, dr. Adi Mirsaputra SpTHT, dr. Ucok Martin SpP, dr. Tony D. Silitonga, dan Prof. Dr. dr. Bambang Sutrisna, MSHC. Tercatat pula hingga Selasa (24/3) sebanyak 44 petugas medis di Jakarta terpapar virus usai merawat pasien-pasien COVID-19.
Presiden Jokowi sendiri akan memberi insentif bagi petugas medis yang menangani COVID-19, yakni Rp15 juta untuk dokter spesialis, Rp10 juta untuk dokter umum dan dokter gigi, Rp7,5 juta untuk bidan dan perawat, serta Rp5 juta untuk tenaga medis lainnya.
Namun demikian, ada sebagian masyarakat yang tidak menghargai jasa para dokter dan perawat ini. Salah satunya dialami dokter dan perawat pasien Covid-19 yang ditolak oleh tetangga di lingkungan domisili tinggal mereka di Jakarta Timur saat pulang dari rumah sakit tempatnya bertugas. Penolakan itu sudah terjadi sejak Minggu (22/3/2020). Kini mereka ditampung di tempat tinggal sementara.
"Laporan ini kami terima pada Minggu (22/3) lalu. Tidak hanya perawat tapi juga dokter di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan," kata Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhilah, saat dihubungi, Rabu (25/3/2020).
Akibatnya tenaga medis perawat pasien Covid-19 itu saat ini ditampung sementara di salah satu gedung RSUP Persahabatan sebagai tempat tinggal sementaranya. Harif tidak menyebut jumlah dokter dan perawat yang mengalami kondisi itu. Namun kejadian ini dipastikan baru diketahui terjadi di lingkungan RSUP Persahabatan, Pulogadung, Jakarta Timur.
"Saya baru mendapatkan laporan di RSUP Persahabatan saja. Domisili mereka tinggal ada di sekitar RSUP Persahabatan, di sekitar Jakarta Timur," katanya.
Penolakan itu dilakukan masyarakat karena merasa khawatir tertular virus corona. Sebagai wadah perkumpulan perawat, kata dia, PPNI mulai melakukan advokasi terhadap nasib tenaga medis yang kini mengalami kesulitan kembali ke kos-kosan serta rumah mereka akibat penolakan warga tersebut.
Harif mengatakan, tindakan masyarakat menolak kehadiran dokter maupun perawat Covid-19 itu berlebihan. "Justru sebenarnya masyarakat harus merasa beruntung ada perawat tinggal dekat tempat tinggal mereka. Tenaga medis ini lebih tahu karakteristik Covid-19 dibandingkan masyarakat awam," katanya.
Bahkan tenaga medis tersebut bisa menjadi tempat bertanya dan konsultasi terkait bahaya penyakit di lingkungan mereka. "Kita mendengar ada upaya dari RSUP Persahabatan sedang mencarikan tempat. Sekarang saya coba hubungi PPNI daerah untuk advokasi ini," katanya.
Penolakan juga sempat terjadi di keluarga. Hal itu terungkap dari pengakuan Kepala Ruang Isolasi Nusa Indah RSUP Sanglah Gusti Putu Rai Sumiari. Selain menghadapi pasien Covid-19 sendiri, Sumiari pun harus berhadapan dengan pertentangan keluarga.
Suami Sumiari sempat memintanya pindah tugas dari ruang Nusa Indah RSUP Sanglah, tempat pasien-pasien Covid-19 dirawat. Takut dan khawatir menjadi alasan terbesar mengapa keluarganya tak setuju. "Semua keluarga takut, bahkan suami saya sempat meminta pindah dari Nusa Indah," kata dia.
Jauh di sanubari Sumiari, petugas medis bukan hanya sekedar pekerjaan. Lebih dari itu, dia mengemban sebuah tugas negara. Perlahan dengan kesabarannya, Sumiari menyampaikan pengertian tersebut pada keluarganya.
"Ini adalah tugas negara dan kami mencintai profesi kami. Syukurlah keluarga mengerti," ungkap dia.
Sumiari juga menyampaikan, dirinya dibekali alat pelindung diri (APD) untuk mencegah penularan virus corona ketika menangani pasien. Tenaga kesehatan pun diwajibkan mengganti semua pakaiannya dan mandi sebelum pulang ke rumah.
Hal serupa dikatakan dr Alexander Randy. Sebagai garda terdepan, mereka bertugas memastikan pasien-pasien dapat tertangani dengan baik namun juga tetap harus memikirkan keselamatan nyawa mereka. Ada banyak hal yang harus dialami petugas medis menangani virus yang menyerang saluran pernapasan itu berlangsung mulai dari kesulitan mendapatkan Alat Pelindung Diri (APD) hingga tidak bisa berkumpul dengan keluarga untuk keselamatan bersama.
Suaranya terdengar ramah lewat sambungan telepon dan tak sedikit pun menyiratkan perasaan lelah meski sudah sempat menjalani masa seminggu merawat pasien tanpa perbantuan. Pria yang akrab dipanggil Dokter Randy itu menceritakan dia tergolong baru. Dokter spesialis penyakit dalam itu baru menangani kasus COVID-19 selama dua minggu terakhir usai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunjuk tempatnya mengabdi sebagai rumah sakit khusus menangani COVID-19.
"Fasilitas gedungnya kan masih baru, awalnya memang untuk pengembangan. Tapi berhubung dengan COVID-19 ini akhirnya dibuka khusus untuk pasien COVID," katanya.
Sempat Sendiri
Memang fasilitasnya untuk kegawatdaruratan di rumah sakit itu masih kurang. "Kita pun usahakan meminta bantuan dari Dinkes DKI," ujar Randy yang sempat merasa kesepian.
Pada minggu pertamanya, dia menjadi satu- satunya dokter spesialis dalam yang bertugas di rumah sakit itu dengan kondisi beberapa pasien dalam pengawasan (PDP) dan positif COVID-19 sudah dirawat di tempatnya bekerja. Hal itu disebabkan rekan seprofesi yang juga spesialis penyakit dalam justru menjadi Orang Dalam Pengawasan (ODP).
Meski demikian dia mengaku bersyukur, respon Dinas Kesehatan DKI Jakarta cukup cepat dalam menangani kondisi itu dengan menambahkan dokter perbantuan. "Kemarin sempat seminggu saya sendiri (menangani pasien COVID-19). Lalu Dinkes DKI kasih perbantuan, jadi yang aktif sekarang dua," ujar Randy.
Kisahnya pun berlanjut terkait kendala mendapatkan APD untuk penanganan pasien COVID-19 yang sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) dari Kementerian Kesehatan RI. Dengan jumlah petugas yang cukup banyak baik bagi dokter dan perawat dalam satu hari rumah sakit tempat Dokter Randy bekerja sempat membatasi maksimal hanya 30 pasang APD untuk para petugas.
"APD itu berlapis jadi sebetulnya kita (petugas medis) gak nyaman. Karena itu kita batasi perawat lewat jangka waktu kerja dengan shift lebih pendek," katanya. Padahal dengan shift pendek artinya APD-nya butuh lebih banyak. "Dan kita sempat terkendala itu," kata Randy.
Meski bantuan dari Pemprov DKI sudah tiba, namun hingga saat ini APD bagi para petugas belum sepenuhnya terjamin karena langkanya barang-barang medis itu terutama bagi petugas medis yang merawat pasien rawat jalan.
Jika ada yang menjual pun, harganya terlalu tinggi. Contohnya masker N95 yang memang diperuntukkan untuk menyaring partikel berukuran kecil di udara. "Masker N95 itu, sekarang sudah mahal banget. Kita masih berusaha nyari. Kalau ada yang mau nyumbang dan mau membantu kita berharap yang seperti itu ada," ujar Randy.
Untuk rumah sakit rujukan yang menjadi tempat Randy bertugas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memastikan ada sebanyak 200 tempat tidur yang dikhususkan untuk kasus COVID-19. Randy pun mengatakan kemungkinan pasien dapat terus bertambah. Dia pun sudah mempersiapkan diri untuk skenario terburuk yaitu harus bertahan di Rumah Sakit dan tidak kembali ke rumah.
Hal serupa yang pernah dialami oleh para petugas medis di Wuhan pada saat "lockdown'"dilakukan di tempat penyebaran pertama virus corona pada manusia muncul.
"Kalau sampai (COVID-19), banyak dan meluas kita (petugas medis) mau gak mau akan tetap tinggal di rumah sakit, kalau misalnya ini menjadi sebuah 'outbreak' yang besar," ujar Randy.
Rindu Orang Terkasih
Selain mempersiapkan diri untuk skenario terburuk, hal terberat yang harus dijalani para petugas medis merawat pasien COVID-19 adalah sulitnya bertemu dengan orang-orang terkasih terutama keluarga dan sahabat. Ini membuatnya sangat kesepian.
Tidak sedikit petugas medis yang akhirnya memilih membatasi diri tidak bertemu dengan orang-orang yang dikasihinya. Itu hanya untuk menjaga agar tidak ada potensi penyebaran penyakit.
"Karena saya dokter dan kerja di rumah sakit. Saya ga tau apakah di badan saya kumannya ada atau ngga," katanya. Petugas medis sudah berusaha melindungi diri, tapi di lingkungan rumah sakit siapa yang tahu kuman terbawa atau tidak.
"Jadi kita rata-rata petugas medis termasuk saya, membatasi diri dengan orang lain," kata Randy dengan nada yang terdengar serius.
Untungnya di tempat Randy bekerja saat ini, para petugas diberikan waktu berjaga yang tidak beruntun sehingga setidaknya mengurangi potensi para petugas terpapar dari COVID-19.
Pria berusia 29 tahun itu pun mengungkapkan dirinya merasa beruntung karena mendapatkan bagian berkontribusi bagi masyarakat di masa-masa sulit akibat COVID-19. "Lewat hal ini peran dokter benar- benar dirasakan manfaatnya. Bagi saya sendiri, saya bisa bantu menenangkan keluarga, teman-teman saya," kata Randy.
Meski saat ini terlihat tampak sudah siap, Randy berharap nantinya tenaga medis tambahan baik dari Dinas Kesehatan maupun tenaga sukarela. Diharapkan adanya sukarelawan untuk berperan mengingat kapasitas sumber daya manusia saat ini belum sebanding dengan kapasitas ruang yang telah disiapkan.
Warga Ketakutan
Selama dua minggu menangani pasien COVID-19, satu hal disadari oleh Randy bahwa masyarakat Jakarta masih memiliki ketakutan sosial yang tinggi menghadapi COVID-19. Beberapa pasien yang dirawatnya bahkan tidak ingin keluarga apalagi tetangga mengetahui kondisi kesehatan sang pasien dan terkesan menutupi kondisi itu.
"Harusnya tidak hanya memikirkan diri sendiri, karena hal itu (menutup-nutupi riwayat kesehatan) berdampak pada lingkungan sekitar," kata Randy.
Karena jika menutupi riwayat kesehatan hal yang ditakuti para petugas medis adalah masyarakat sekitar yang berinteraksi dengan pasien COVID-19 terutama bagi yang berusia tua dan rentan tertular.
"Misalnya pasien adalah orang yang muda. Lalu kita tahu orang muda diharapkan manifestasinya ringan," katanya. "Dia mungkin saja tidak sadar, dia akan membawa virus itu pulang ke rumah. Hal itu yang dapat berbahaya bagi orang tuanya atau tetangganya. Nah itu yang nanti jadi masalah," ujar Randy.
Ia pun meminta masyarakat tidak menimbun obat-obatan seperti Chloroquin, Aluvia dan Azithromycin agar kelangkaan barang-barang medis seperti masker tidak terulang kembali. Selain itu, ketiga jenis obat itu tidak hanya untuk mengobati COVID-19 namun juga berguna bagi para pemilik gangguan autoimun.
"Kalau misalnya ada yang nimbun padahal yang masih perlu ya penderita lupus itu yang nyeri yang mereka rasakan itu tinggi. Ya para penderita lupus lah yang akan merasakan penderitaannya," kata Randy.
Randy berharap masyarakat Indonesia dapat menanggapi dengan bijak pandemi COVID-19 ini dengan mengikuti anjuran-anjuran pemerintah seperti :physical distancing"
"Kami (petugas medis) sadari mereka (pasien) pasti cemas tapi yah mereka harus mengetahui ini pandemi dan ini adalah masalah bersama," kata Randy. (ant/hud/ndc)
No comments:
Post a Comment