MALANG (DutaJatim.com) - Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Fahmi Idris, berjanji mematuhi keputusan Mahkamah Agung (MA) terkait pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Dia mengaku akan menghormati keputusan pembatalan kenaikan iuran yang sudah berlaku sejak 1 Januari 2020 lalu tersebut.
"Pertama, kita menghormati apa yang jadi keputusan MA. Kedua, kita akan patuh dengan keputusan itu," kata Fahmi saat ditemui di sela meninjau pelayanan antrean online Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Puskesmas Kedungkandang, Kota Malang, Jawa Timur, Rabu (11/3/2020).
Namun, dia belum bisa menentukan kapan keputusan MA itu bisa dijalankan. Hal ini mengingat hingga sekarang pihak BPJS Kesehatan belum menerima salinan amar putusan MA tersebut.
"Kita belum mendapat salinan amar putusan detailnya, kapan mulai berlakunya. Apakah berlaku surut, berlaku sekarang, apakah berlaku nanti atau beberapa hari ke depan?" tuturnya.
Untuk itu, dirinya masih menghitung dampak yang ditimbulkan dari berbagai sisi dalam menjalankan putusan dari MA, khususnya dari sisi keuangan. "Kita akan hitung implikasinya, termasuk implikasi keuangannya," kata Fahmi Idris.
Hal itu sekaligus menanggapi permintaan anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay bahwa BPJS Kesehatan harus mengembalikan kelebihan uang iuran yang sudah dibayarkan masyarakat pasca-MA membatalkan peraturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Fahmi Idris mengatakan, pihaknya sedang memikirkan cara untuk menghitung anggaran agar tidak tekor. BPJS Kesehatan sedang memutar otak untuk menambal defisit pasca keputusan Mahkamah Agung (MA).
"Karena BPJS ini kesatuan dari sistem pemerintahan, kita akan segera rapat koordinasi di tingkat menteri untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Bahwa kita akan terus menjalankan operasional ini sebaik-baiknya untuk kepentingan masyarakat," kata Fahmi.
Sebelumnya Fahmi Idris pernah mengungkapkan jika iuran tidak naik maka BPJS Kesehatan bisa colaps. Hal ini lantaran defisit BPJS Kesehatan terus membengkak setiap tahunnya. "Bisa kolaps? Iya," ujarnya tegas di Forum Merdeka Barat, Jakarta, Senin (7/10/2019) kala itu.
Menurutnya, layanan untuk para peserta tidak mungkin dihentikan apalagi masalah kesehatan sangat penting. Oleh karenanya kebijakan kenaikan iuran dinilai cara paling tepat.
"Begini, kami tidak ingin pelayanan berhenti. BPJS Kesehatan sendiri mendapat sanksi, dihukum kalau telat bayar rumah sakit, itu 1% dari setiap klaim yang masuk," jelasnya.
Dengan denda itu, maka kerugian akan ditanggung oleh negara melalui suntikan dana. Ini tentunya terus merugikan negara. "Kami laporkan ke Kementerian Keuangan berapa denda yang harus dibayar, yang mana denda itu membebani negara dan APBN. Jadi kita harap ini cepat diselesaikan," tambahnya.
Lanjutnya, saat ini banyak yang memanfaatkan pelayanan BPJS Kesehatan yang tidak mungkin dihentikan. Seperti perawatan katarak hingga operasi melahirkan secara caesar.
"Soal pemanfaatan, itu soal katarak dan caesar bayi itu pernah kami lihat soal utilisasinya, tapi respons publik dan stakeholder itu luar biasa. Sehingga tidak mudah sesuaikan. Itu jawaban kalau kenaikan tidak terjadi," tegasnya.
Fahmi mengatakan jika tidak ada kebijakan seperti kenaikan iuran maka BPJS Kesehatan bakal makin parah. "Yang terjadi tahun ke tahun defisit akan makin lebar," katanya.
Perkiraan defisit BPJS Kesehatan dimulai dari 2019 seperti dikutip dari CNBC Indonesia:
Tahun 2019 : Rp 32,8 triliun; Tahun 2020 : Rp 39,5 triliun; Tahun 2021: Rp 50,1 triliun; Tahun 2022: Rp 58,6 triliun; Tahun 2023 : Rp 67,3 triliun; tahun 2024 : Rp 77 triliun
"Harapannya dengan perbaikan fundamental iuran, persoalan di sini dapat diselesaikan," tegas Fahmi.
Sebelumnya MA membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan. Karena, peraturan itu dianggap bertentangan dengan Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Besaran iuran berdasarkan aturan awal Rp25.500 untuk kelas III, Rp51.000 untuk kelas II, dan Rp80 ribu untuk kelas I, aturan ini berlaku lagi sejak putusan itu dibacakan.
Untuk itu BPJS akan melakukan rapat koordinasi awal dipimpin oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI Kamis 12 Maret 2020.
"Kalau kita sudah dapat amarnya, kemudian teknisnya kita analisis mendalam, kita akan tahu sebenarnya proyeksi cash flow di akhir tahun. Nanti itu kaitannya dengan Kementerian Keuangan dengan Kementerian terkait akan segera rapat koordinasi. Besok itu di tingkat eselon 1 dipimpin oleh menko PMK," ujarnya.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara juga menyebut senada. Menurut dia, pihaknya akan mendalami keputusan MA tersebut. Seperti apa kebutuhannya dan apa saja implikasinya.
"Tentu juga soal situasi BPJS yang kita ketahui pada tahun lalu itu. BPJS mengalami defisit cukup dalam. Dan defisit itu yang diharapkan menambal siapa? Pemerintah ya," ujar dia di Gedung Kemenkeu Jakarta, kemarin.
Pemerintah, kata dia, sudah melakukan cara sejak tahun lalu untuk menambal defisit itu. Misalnya pemerintah memberikan uang lebih besar kepada BPJS Kesehatan. "Kalau kita berikan uang seperti itu saja, tahun depan tidak tahu lagi berapa," ungkap dia.
Karena itu, tutur dia, dibuat caranya yakni pemerintah membayari penerima bantuan iuran maka tarif untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) kelas 3 dinaikkan.
"Nah ini yang sudah dilakukan dengan cara menaikkan itu, maka tahun lalu pemerintah bisa bayari defisit tersebut. Tahun ini juga pemerintah bayari PBI dengan tarif yang baru. Jadi sebenarnya, kenaikan itu adalah untuk bisa menambal defisitnya BPJS. Nah dengan adanya putusan tadi, kita pelajari dan diskusikan implikasinya," ungkap dia.
Lalu apakah dengan keputusan MA itu peserta BPJS yang sudah bayar akan dikembalikan? Menurut Suahasil, itu nanti konsekuensinya seperti apa setelah pemerintah mendalami keputusan tersebut, amar keputusan dan konsekuensinya.
"Tentu kita ini kan harus bicara dengan kementerian lain," katanya.
Sebelumnya MA mengabulkan uji materi atau judicial review terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang diajukan oleh Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPDCI) Tony Richard Samosir. MA beranggapan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diatur dalam Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, MA beranggapan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 5 Ayat 2 Juncto Pasal 171 UU Kesehatan.
Pemerintah menerapkan kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sejak awal Januari lalu. Artinya, pesertanya wajib membayar lebih, sesuai tarif yang dinaikkan. Lalu bagaimana uang masyarakat yang sudah telanjur dibayarkan itu, setelah MA membatalkan peraturan tersebut?
Menurut Saleh Daulay, uang yang sudah telanjur dibayarkan oleh masyarakat itu tidak sah diambil oleh negara sebab bertentangan dengan putusan MA. Karena itu pemerintah harus mengembalikan uang yang sudah dibayarkan tersebut.
"Jika memang putusan itu membatalkan semua Perpresnya, sejak 1 Januari ya tentu uang sudah dibayarkan masyarakat tidak berlaku. Artinya tidak sah untuk dikutip atau diambil negara jika putusannya seperti itu," kata Saleh Rabu (11/3/2020).
Karena itu, kata dia, uang yang sudah dibayarkan sejak Januari harus dikembalikan oleh negara kepada masyarakat. Politisi PAN itu meminta agar Pemerintah mematuhi keputusan MA yang mengabulkan judicial review atau uji materi yang diajukan Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) karena keberatan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. (okz/vvn)
No comments:
Post a Comment