JAKARTA (DutaJatim.com) - Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dalam penanganan Covid-19. Sesuai dengan UU, PSBB ditetapkan Menteri Kesehatan yang berkoordinasi dengan Ketua Gugus Tugas Covid-19 dan kepala daerah.
"Dasar hukumya adalah UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pemerintah juga sudah menerbitkan PP tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dan keputusan presiden tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan masyarakat untuk melaksanakan amanat UU tersebut," kata Jokowi dalam keterangan pers di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (31/3/220).
"Dengan terbitnya PP ini, para kepala daerah tidak membuat kebijakan sendiri-sendiri yang tidak terkoordinasi. Semua kebijakan di daerah harus sesuai peraturan dan berada dalam koridor dalam PP dan kepppres tersebut," katanya.
Sehari sebelumnya Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Letnan Jenderal TNI Doni Monardo mengungkapkan pemerintah akan memperhitungkan dengan penuh kehati-hatian dalam menetapkan status. Oleh karena itu, Presiden berkesimpulan format yang diambil adalah pembatasan sosial berskala besar.
"Yang mengacu pada tiga dasar yaitu UU Nomor 24/2007 tentang Bencana, UU Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan UU 23/1959 tentang Keadaan Bahaya dalam hal ini adalah darurat sipil," kata Doni.
Ia pun memastikan pemerintah tidak akan mengikuti apa yang telah dilakukan sejumlah negara yang ternyata juga tidak efektif dalam mengambil kebijakan dan justru menimbulkan dampak yang baru. Dalam konsep penanganan bencana maka penyelesaian bencana tidak dibenarkan menimbulkan masalah baru atau bencana baru.
"Oleh karenanya keseimbangan-keseimbangan ini akan senantiasa menjadi perhitungan dan tentunya juga dengan melibatkan sejumlah pakar dibidang hukum. Selanjutnya akan diterbitkan perppu dalam waktu dekat ini," kata Doni.
Pro-Kontra
Seperti diberitakan DutaJatim.com, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana menetapkan keadaan darurat sipil sebagai langkah terakhir penanganan COVID-19. Rencana ini memicu pro-kontra di masyarakat.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tidak setuju dengan wacana itu, karena saat ini Indonesia tidak butuh keadaan darurat sipil.
"Yang kita butuhkan darurat kesehatan nasional," kata komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, dalam keterangan pers tertulis, Senin (30/3/2020).
Sementara ahli hukum dari UGM Yogyakarta, Oce Madril, heran atas rencana Jokowi menerapkan darurat sipil. Padahal, Jokowi menandatangani UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai payung hukum menanggulangi wabah penyakit."Entah mengapa Perppu 1959 yang dirujuk. Padahal ada regulasi UU Penanggulangan Bencana tahun 2007 dan UU yang dibuat oleh Presiden Jokowi, yaitu UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan," kata Oce seperti dikutip dari detikcom, Selasa (31/3/2020).
Dalam Perpu 1959 itu dikenal 3 darurat, yaitu Darurat Sipil, Darurat Militer, dan Darurat Perang. Setiap jenis 'Darurat' memiliki tujuan, syarat-syarat, dan konteks yang berbeda."Syarat-syarat keadaan bahaya dengan berbagai tingkatan Darurat itu ada dalam Pasal 1 Perppu. Semua mengarah pada terancamnya keamanan/ketertiban oleh pemberontak, kerusuhan, bencana, perang, membahayakan negara, tidak dapat diatasi oleh alat perlengkapan negara secara biasa," ujar Oce.
Oce heran Jokowi merujuk pada Darurat Sipil yang tertuang dalam peraturan Orde Lama."Apakah karena beban tanggung jawab pemerintah yang berat dalam UU Kekarantinaan Kesehatan--seperti menanggung kebutuhan dasar rakyat--kalau pakai Perppu memang nggak ada bebannya," ucap doktor hukum dengan disertasi soal pemberantasan korupsi di era 7 presiden di Indonesia itu.Menurut Oce, Darurat Sipil mengarah ke penertiban. Sedangkan UU Kekarantinaan Kesehatan mengarah ke 'menjamin kebutuhan dasar rakyat".
"Pilih mana?" cetus Oce.
Oce meminta Jokowi konsisten terhadap UU Kekarantinaan Kesehatan yang ditandatangani Jokowi sendiri. Apalagi, UU itu memiliki naskah akademik dan dibuat dengan serius.
"Ikuti logika UU ini. UU Kekarantinaan Kesehatan ini bertanda tangan Presiden Jokowi lho. Beda dengan UU KPK yang tidak ditandatangani," pungkas Oce menyindir.
Sebelumnya, Jokowi menyatakan saat ini pembatasan sekala besar perlu diterapkan dalam menghadapi Corona. Maka kebijakan Darurat Sipil perlu dijalankan.
"Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, disiplin, dan lebih efektif lagi. Sehingga tadi juga sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," demikian kata Presiden Jokowi dalam rapat terbatas laporan Gugus Tugas COVID-19 yang disiarkan lewat akun YouTube Sekretariat Presiden, Senin (30/3).
Darurat Sipil diatur dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Dampak status Darurat Sipil sangat ngeri. Apa saja?
Berikut ini tindakan yang dapat dilakukan bila status Darurat Sipil sesuai Perppu 23/1959 itu diterapkan:
(1) Penguasa Darurat Sipil berhak mengadakan peraturan-peraturan untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan, dan penempelan tulisan-tulisan berupa apapun juga, lukisan-lukisan, klise-klise, dan gambar-gambar.
(2) Penguasa Darurat Sipil berhak atau dapat-menyuruh atas namanya pejabat-pejabat polisi atau pejabat-pejabat pengusut lainnya atau menggeledah tiap-tiap tempat, sekalipun bertentangan dengan kehendak yang mempunyai atau yang menempatinya, dengan menunjukkan surat perintah umum atau surat perintah istimewa.
(3) Penguasa Darurat Sipil berhak akan dapat menyuruh memeriksa dan mensita semua barang yang diduga atau akan dipakai untuk mengganggu keamanan serta membatasi atau melarang pemakaian barang itu.
(4) Penguasa Darurat Sipil berhak mengambil atau memakai barang-barang dinas umum.
(5) Penguasa Darurat Sipil berhak memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap orang yang dicurigai serta menyuruh memeriksanya oleh pejabat-pejabat Polisi atau pejabat-pejabat pengusut lain.
(6) Penguasa Darurat Sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah.
(7) Penguasa Darurat Sipil berhak:
1. mengetahui,semua berita-berita serta percakapan-percakapan yang dipercakapkan kepada kantor tilpon atau kantor radio, pun melarang atau memutuskan pengiriman berita-berita atau percakapan-percakapan dengan perantaraan tilpon atau radio.
2. membatasi atau melarang pemakaian kode-kode, tulisan rahasia, percetakan rahasia, tulisan steno, gambar-gambar,tanda-tanda, juga pemakaian bahasa-bahasa lain dari pada bahasa Indonesia;
3. menetapkan peraturan-peraturan yang membatasi atau melarang pemakaian alat-alat telekomunikasi sepertinya tilpon, tilgrap, pemancar radio dan alat-alat lainnya yang ada hubungannya dengan penyiaran radio dan yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak, pun juga mensita atau menghancurkan perlengkapan-perlengkapan tersebut. (cnbci/det/wis)
No comments:
Post a Comment