Salat berjamaah di Masjid Al Akbar Surabaya sudah menerapkan protokol kesehatan, tapi mengapa Pemprov Jatim mencabut izin Salat Idul Fitri 2020 di masjid ini?
SURABAYA (DutaJatim.com) - Pemandangan kontras terjadi di tengah masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Surabaya Raya maupun Malang Raya. Begitu pula di DKI Jakarta dan daerah lain yang menerapkan PSBB. Khususnya hari-hari menjelang Lebaran Idul Fitri 1441 Hijriyah/2020 Masehi saat ini.
Disebut kontras karena biasanya di 10 hari terakhir Ramadhan umat Islam semakin menyibukkan diri beribadah di masjid. Mereka berbondong-bondong melakukan itikaf, membaca Al Quran, berdzikir, hingga salat malam untuk mendapatkan pahala Lailatul Qadar. Termasuk pula melakukan salat Idul Fitri.
Namun, saat ini justru sebaliknya. Masjid-masjid banyak tutup atau terpaksa tutup karena khawatir dicap sebagai biang penyebaran wabah Covid-19. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim dan Pemprov Jatim sempat membolehkan salat Idul Fitri di masjid-masjid, tapi kemudian kebijakan Pemprov Jatim itu akhirnya dibatalkan dan disebutkan hanya berlaku untuk Masjid Al-Akbar Surabaya.
Namun demikian Surat Edaran Pemprov Jatim soal salat Idul Fitri di Masjid Al Akbar Surabaya pun akhirnya dicabut. Pencabutan dilakukan setelah mempertimbangkan berbagai masukan.
"Setelah kami menuliskan surat khusus, sekali lagi khusus untuk Masjid Al Akbar terkait salat Id. Kami rapat bersama Biro Kessos, Biro Hukum Pemprov Jatim, Pengelola Masjid Al Akbar, maka hasil rapat kami mencabut surat edaran salat Id di Masjid Al Akbar," kata Sekdaprov Jatim Heru Tjahjono di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, kemarin.
Heru membeberkan, alasan Pemprov Jatim membatalkan Surat No 451/7809/012/2020/14 Mei 2020 terkait imbauan salat Idul Fitri di Masjid Al Akbar, karena angka penyebaran COVID-19 masih tinggi di Surabaya. Selain itu, pembatalan surat edaran tersebut guna menghindari kontroversi serta prokontra yang timbul di masyarakat.
Larangan beribadah di masjid secara umum karena melibatkan banyak jamaah, sulit diterapkan physical distancing, sehingga dinilai bisa menjadi media penyebaran virus Corona. Namun yang lucu, mal-mal, alun-lun di sejumlah kota, hingga bandara disesaki oleh masyarakat. Bahkan, jalanan di Kota Surabaya maupun Sidoarjo, tidak jauh beda dengan hari-hari sebelum penerapan PSBB. Begitu pula mal di Kota Malang. Bahkan, di hari pertama PSBB, sejumlah mal di Kota Malang diserbu masyarakat yang hendak belanja menyiapkan keperluan berlebaran.
Suasana di Bandara Soetta Kamis 14 Mei 2020. Ini PSBB-kah?
Begitu pula pasar-pasar di Jakarta, saat ini ramai pembeli tanpa menghiraukan aturan protokol kesehatan. Pemandangan paling tragis saat masyarakat menyerbu Bandara Soekarno-Hatta untuk mudik ke kampung halaman pada Kamis 14 Mei 2020 lalu.
Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya yang menggelar inspeksi mendadak (sidak) ke Bandara Soetta pada Sabtu 16 Mei 2020 pun sampai menyebut bandara ini bisa jadi cluster penyebaran Covid-19, baik pada tanggal 14 Mei 2020 maupun di hari-hari berikutnya. Hal ini menunjukkan kebijakan Pemerintah tidak jelas dan tidak tegas.
Dikritik
Karena itu pula banyak menuai kritik dari para ulama dan anggota masyarakat lain. Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI), Din Syamsuddin, misalnya, meminta pemerintah secara tegas menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) secara menyeluruh. Din mengkritik pemerintah melarang umat Islam melaksanakan salat berjamaah di masjid, tapi mengizinkan tempat umum lainnya tetap ramai oleh masyarakat.
"Kepada Pemerintah untuk melaksanakan secara konsekuen peraturannya sendiri tentang PSBB, yakni dengan tidak mengizinkan kegiatan-kegiatan yang mendorong orang berkerumun di tempat-tempat umum. Peraturan tersebut perlu dilaksanakan secara berkeadilan, jangan melarang umat Islam salat berjamaah di masjid tapi mengizinkan orang banyak menumpuk di bandara dan tempat keramaian lain," kata Din dalam keterangan tertulisnya, Selasa (19/5/2020).
Meski demikian, Din tetap mengimbau kepada masyarakat untuk selalu mengikuti fatwa MUI dengan tidak melaksanakan salat berjamaah di masjid pada masa pandemi ini. Selain mengikuti fatwa MUI, menjaga jarak juga disarankan oleh para ahli kesehatan agar penularan virus Corona tidak semakin meluas.
"Kepada umat Islam agar tetap konsisten menaati Fatwa MUI untuk sementara waktu mengalihkan salat berjamaah, termasuk salat Idul Fitri, ke rumah masing-masing, dan anjuran para ahli kesehatan untuk selalu menerapkan prinsip physical distancing dengan tidak berkerumun. Tidak perlu ada yang 'membalas dendam' terhadap ketidakadilan pemerintah tersebut dengan keinginan berkumpul di masjid-masjid (sebagaimana yang banyak beredar di media sosial atau bertanya langsung)," katanya.
Selain itu, Din juga meminta kepada masyarakat untuk senantiasa mematuhi kebijakan PSBB. Tujuannya semata untuk mencegah penularan COVID-19.
"Kepada segenap rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, agar tetap mematuhi anjuran para ahli kesehatan untuk physical distancing, yakni dengan menghindari kerumunan yang dapat mendorong penularan COVID-19," ucap Din.
Lebih lanjut, Din juga mengkritik pemerintah yang membuat acara konser musik. Menurutnya, hal tersebut menunjukkan kesan bergembira di tengah kesulitan rakyatnya. Selain itu, Din juga menyayangkan bantuan sembako yang diberikan pemerintah tidak merata diterima oleh masyarakat yang terdampak Corona.
"Kepada Pemerintah agar bersimpati dengan penderitaan rakyat yang mengalami kesusahan hidup karena menganggur sementara bantuan sembako tidak terbagi merata. Mengapa pada saat demikian Pemerintah justru mempelopori acara seperti konser musik yang tidak memperhatikan protokol kesehatan, dan terkesan bergembira di atas penderitaan rakyat," katanya.
Terakhir, Din mengajak seluruh umat Islam menjadi suri tauladan yang baik di tengah pandemi ini. Caranya, dengan mematuhi kebijakan PSBB.
"Kepada umat Islam, sebagai warga negara yang baik, untuk selalu menampilkan teladan yang baik. Biar pihak lain melanggar, tapi kita dapat menahan hawa nafsu untuk tidak terjebak ke dalam kesesatan," tutup Din.
Sebelumnya Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, juga membeberkan ironi dan hal-hal yang tidak bisa diterima akal sehat dalam penanganan wabah virus corona (Covid-19) di Tanah Air. Usaha membendung dan menghentikan penyebaran virus asal China itu terkendala adanya sikap mendua dari pemerintah, yang di satu sisi tegas terhadap rumah ibadah tapi tidak tegas dengan tempat lainnya.
Anwar mengatakan, MUI telah mengeluarkan fatwa-fatwa agar umat Islam di daerah zona merah Covid-19 tidak melaksanakan Salat Jumat, salat fardu lima waktu serta Salat Tarawih berjamaah di masjid dan musala. MUI meminta umat Islam untuk salat di rumah saja. Fatwa itu kemudian dijadikan pegangan kuat pemerintah untuk melarang semua aktivitas di tempat ibadah.
“Saya rasa hal ini sudah merupakan satu tindakan yang benar. Tapi yang menjadi pertanyaan, mengapa pemerintah hanya tegas melarang orang untuk berkumpul di masjid tapi tidak tegas dan tidak keras dalam menghadapi orang-orang yang berkumpul di pasar, di mal-mal, di bandara, di kantor-kantor dan di pabrik-pabrik serta di tempat lainnya?” ucap Anwar.
Tak Langgar PSBB?
Lalu apa jawaban Pemerintah? Menko Polhukam Mahfud MD pun menjawab pertanyaan soal mengapa pemerintah tegas soal larangan berkumpul di masjid namun tidak menutup mal hingga bandara di masa PSBB.
"Mungkin saya tidak melihat juga sih kalau ada misalnya majelis ulama kecewa dengan apa yang terjadi. Pertama ini kan pernyataan orang majelis ulama, bukan majelis ulamanya yang mengatakan. Apa yang dikatakan misalnya mengapa masjid kok ditutup, mal-mal itu kok dibuka," kata Mahfud MD Selasa 19 Mei 2020.
Mahfud mengatakan mal dan layanan lain yang dibuka berarti memenuhi aturan PSBB. Mahfud juga menyinggung soal salah satu pusat perbelanjaan yang ditutup karena melanggar PSBB.
"Saya kira yang dibuka itu bukan melanggar hukum juga karena memang ada sektor atau 11 sektor tertentu yang oleh undang-undang boleh dibuka dengan protokol. Tetapi yang melanggar seperti IKEA itu kan juga ditutup. Yang melanggar ya," kata Mahfud MD.
Mahfud juga menyinggung bandara yang masih buka. Menurut Mahfud, bandara tetap buka demi melayani orang-orang yang berkaitan langsung dengan penanganan COVID-19. "Misalnya bandara untuk mengangkut orang-orang karena tugas-tugas dan keperluan tertentu dengan syarat tertentu itu dibuka. Yang melanggar ketentuan itu juga ditindak yang tidak sesuai dengan aturan itu," jelas Mahfud.
Soal Idul Fitri, Pemerintah mengadakan rapat terbatas membahas penyelenggaraan salat Id di tengah pandemi Corona (COVID-19). Hasil rapat, pemerintah memutuskan agar masyarakat tidak melakukan salat Idul Fitri di masjid ataupun lapangan seperti kegiatan salat Idul Fitri sebelumnya.
"Pertama di tengah masyarakat ini sekarang timbul diskusi, apakah salat Id boleh dilakukan di masjid atau lapangan seperti yang sudah-sudah sebelum adanya COVID, maka tadi kesimpulannya bahwa kegiatan keagamaan sifatnya masif, seperti salat berjamaah, atau salat Id di lapangan termasuk kegiatan yang dilarang oleh Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 tentang PSBB," kata Mahfud dalam konferensi persnya yang ditayangkan secara live di YouTube Setpres, Selasa (19/5/2020).
Aturan itu, kata Mahfud, juga tertuang dalam Peraturan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Wilayah dalam rangka memutus penyebaran COVID-19. Yang isinya, kegiatan keagamaan yang sifatnya masif termasuk kegiatan yang dilarang.
"Juga dilarang oleh berbagai Peraturan UU yang lain, misalnya UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kewilayahan dalam rangka memutus penyebaran COVID-19, kegiatan keagamaan yang masif, yang hadirkan kumpulan orang banyak, termasuk yang dilarang, termasuk yang dibatasi oleh peraturan perundang-undangan," jelasnya.
Mahfud pun meminta masyarakat mematuhi aturan tersebut dengan tidak menggelar salat Idul Fitri secara berjamaah di masjid dan lapangan seperti kebiasaan di tahun sebelumnya. Mahfud menekankan pemerintah melakukan ini semata-mata untuk memutus penyebaran Corona.
"Oleh sebab itu, maka pemerintah meminta dengan sangat agar ketentuan tersebut tidak dilanggar, pemerintah meminta dan mengajak tokoh-tokoh agama, ormas-ormas keagamaan, dan tokoh masyarakat adat untuk meyakinkan masyarakat bahwa kerumunan salat berjamaah termasuk bagian yang dilarang oleh peraturan undang-undang. Bukan karena salat itu sendiri, tapi karena itu bagian upaya menghindari bencana COVID-19 yang termasuk bencana non alam nasional yang berlaku sesuai keputusan pemerintah," katanya.
Suasana menjelang hari kemenangan tahun ini disebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) berbeda lantaran adanya pandemi virus Corona baru (COVID-19).
"Kita tahu suasana Idul Fitri tahun ini sangat berbeda karena adanya pandemi COVID tetapi apa pun kita juga perlu persiapan dalam rangka menuju ke Idul Fitri 1441 H," ujar Jokowi saat membuka rapat terbatas (ratas) yang disiarkan pada kanal YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (19/5/2020).
Jokowi pun meminta agar kedisiplinan akan protokol kesehatan tetap diterapkan. Sebab, dia melihat pasar-pasar tradisional sudah mulai ramai menjelang hari raya.
"Saya melihat pasar-pasar tradisional saat ini sudah mulai ramai karena banyak masyarakat yang belanja dalam rangka persiapan Hari Raya. Saya ingin ini dipastikan ada pengaturan jarak yang baik, memakai masker, petugas di lapangan betul-betul bekerja untuk mengingatkan mengenai protokol kesehatan secara terus-menerus," kata Jokowi.
Selain itu, Jokowi menegaskan, bila pemerintah tidak melarang segala jenis ibadah pada masa wabah ini. Bagi Jokowi, yang diatur adalah mengenai peribadatan, bukan soal ibadahnya.
"Dalam penerapan protokol kesehatan maupun aturan-aturan PSBB, saya minta betul-betul dijelaskan, diberikan pemahaman, disosialisasikan bahwa pemerintah tidak melarang untuk beribadah. Justru pemerintah melalui Kementerian Agama mendorong agar setiap umat beragama meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadahnya masing-masing," ujar Jokowi.
"Yang kita imbau, yang kita atur adalah peribadatan yang dilakukan sesuai dengan protokol kesehatan dan anjuran ibadah di rumah yang bisa dilakukan... sama-sama ini saya kira sudah juga sering kita sampaikan," katanya.
New Normal & Herd Immunity
Kondisi itu berbarengan dengan isu new normal. Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto menegaskan, istilah new normal lebih menitikberatkan perubahan budaya masyarakat untuk berperilaku hidup sehat. Hal ini disampaikan menanggapi kekhawatiran sejumlah pihak, termasuk tenaga kesehatan, atas rencana penerapan new normal.
" New normal adalah perubahan budaya. (Misalnya) Selalu menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS), memakai masker kalau keluar rumah, mencuci tangan, dan seterusnya," ujar Yuri saat dikonfirmasi kemarin.
Selain perubahan perilaku masyarakat, lanjut Yuri, new normal nantinya juga mengubah paradigma pelayanan kesehatan. Yang mana, kata Yuri, layanan kesehatan akan mengedepankan cara online. Nanti dari konsultasi akan ditentukan kapan ketemu dokter jika diperlukan. "Mengedepankan itu bukan mengharuskan, tetapi tergantung kondisi dan situasi," ungkap dia.
Lebih lanjut, Yuri mengungkapkan, meski menggaungkan new normal, Presiden Joko Widodo hingga saat ini tidak menginstruksikan untuk melonggarkan pembatasan sosial berskala besar ( PSBB). Dia menilai, kekecewaan tenaga kesehatan saat ini disebabkan perilaku masyarakat yang kurang disiplin mematuhi protokol pencegahan penularan virus corona (Covid-19).
"Yang pasti sampai sekarang Presiden tidak melonggarkan PSBB. Rakyat diminta patuh, tenaga kesehatan kecewa sama perilaku masyarakat yang tidak patuh," tutur Yuri.
Diberitakan sebelumnya, Pemerintah Indonesia belakangan menggaungkan istilah the new normal atau pola hidup normal versi baru yang menuntut warga hidup berdamai dan berdampingan dengan pandemi Covid-19. Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah mengatakan, dalam new normal, ada indikasi beberapa sektor kegiatan yang tadinya ditutup akan dibuka kembali.
Selain itu ada istilah herd immunity. Maksudnya kondisi ketika sebagian besar kelompok atau populasi manusia kebal terhadap suatu penyakit karena sudah pernah terpapar dan sembuh dari penyakit tersebut. Meski dinilai bisa menghambat penyebaran virus, namun strategi ini dapat memakan korban dalam jumlah besar. Untuk mencapai herd immunity, setidaknya 70 persen dari populasi harus terinfeksi terlebih dahulu. Apabila penduduk Indonesia dianggap sebanyak 270 juta, maka sedikitnya 189 juta harus terinfeksi untuk mendapatkan herd immunity. Kemudian, dari angka tersebut kemungkinan orang yang meninggal bisa mencapai satu juta orang.
Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla meyakini akan banyak korban bertumbangan apabila pemerintah menggunakan opsi herd immunity untuk menghadapi Covid-19. " Herd immunity bisa saja, cuma korbannya banyak," ujar Kalla dalam diskusi Universitas Indonesia Webinar "Segitiga Virus Corona", Selasa (19/5/2020). Kalla mencontohkan penerapan herd immunity yang dilakukan Swedia. Mantan wakil presiden tersebut menyebut angka kematian di Swedia justru lima kali lipat lebih tinggi dibanding negara di sekitarnya.
Hal itu terjadi karena Swedia menerapkan herd immunity tanpa dibarengi dengan dilakukannya lockdown. "Tingkat kematian di Swedia lima kali lipat dibanding negara di sekitarnya akibat ingin mencoba herd immunity," katanya. Di sisi lain, Kalla menyebut pemerintah boleh saja menggunakan opsi herd immunity. Namun, resiko yang akan diterima dari kebijakan tersebut adalah korban akan semakin banyak. (det/kcm/wis)
No comments:
Post a Comment