JAKARTA (DutaJatim.com) - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai membuat kebijakan yang kontra-produktif di tengah pandemi Covid-19. Satu sisi Jokowi mengakui bahwa daya beli masyarakat mengalami penurunan yang tercermin dari bahan pokok mengalami deflasi 0,13% di mana hal itu dapat diartikan permintaan atas bahan pangan turun. Namun pada sisi lain Jokowi justru menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk Kelas I dan II yang mulai berlaku 1 Juli 2020 mendatang.
Karena itu, kebijakan Presiden Jokowi ini banyak mendapat kritikan mengingat dilakukan di tengah masyarakat yang tercekik bencana virus Corona. Jokowi dinilai tidak memiliki sensitivitas terhadap nasib rakyatnya.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, mengatakan, kebijakan itu malah semakin membuat daya beli masyarakat semakin menurun. Apalagi sebagian dari kelompok kelas menengah juga ada yang terkena PHK atau tidak bisa membuka usahanya lagi gegara pandemi Covid-19.
"Sehingga mengalami penurunan income. Kenaikan iuran BPJS bagi mereka akan menambah beban. Artinya semakin ada penurunan daya beli," kata Piter saat dihubungi di Jakarta, Rabu (13/5/2020).
Menurut Piter, pemerintah menganggap jika golongan BPJS Kesehatan I dan II merupakan kelompok menengah yang tidak mengalami penurunan daya beli. Hal itu dirasa kurang tepat.
"Jadi pemerintah mengasumsikan kelompok menengah tidak mengalami penurunan daya beli, yang daya belinya turun hanya kelompok bawah, saya kira itu tidak tepat," katanya.
Piter menilai seharusnya pemerintah tidak menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk menutup defisit. Lebih tepat pihak BPJS Kesehatan diminta melakukan efisiensi, selanjutnya baru kekurangannya ditutup oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bukan malah dibebankan kepada masyarakat melalui iuran.
"Memang dilemanya kalau tidak dilakukan kenaikan akan membebani APBN, sementara APBN-nya dalam kondisi yang tertekan. Kalau menurut saya sekarang ini defisit BPJS lebih baik ditutup tidak dengan menaikkan iuran. BPJS diminta melakukan efisiensi, setelah itu seluruh defisit ditutup oleh APBN," katanya.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, juga mengkritik kebijakan Jokowi dari sisi hukum. Dia menilai bila langkah tersebut diambil oleh Jokowi, maka pemerintah berupaya melakukan penyelundupan hukum agar tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang sebelumnya telah membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Menurutnya, dengan mengubah nominal dari keputusan sebelumnya maka pemerintah bisa mengklaim bahwa Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak bertentangan dengan putusan MA.
"Kalau mengubah jumlah kenaikan (iuran BPJS kesehatan) itu bagi saya penyelundupan hukum saja," ujar Feri saat dibubungi, Rabu (13/5/2020).
Lebih lanjut Feri menilai, meski ada upaya penyelundupan hukum yang dilakukan tetap saja keputusan tersebut tidak dapat dibenarkan. Sebab, pokok perkara dalam gugatan kebijakan kenaikan BPJS Kesehatan ke MA bukan terletak pada nominal melainkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Meski nominal diubah tetap saja keputusan itu bertentangan dengan putusan MA.
Terlebih putusan MA bersifat final dan mengikat, termasuk kepada Presiden. Menurut Feri, jika pemerintah tetap menaikkan iuran BPJS maka hal itu sama saja dengan menentang putusan pengadilan dan mengabaikan alias menabrak hukum atau disobedience of law.
"Pasal 31 UU MA menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibatalkan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Artinya dia tidak dapat digunakan lagi, termasuk tidak boleh dibuat lagi. Harusnya presiden taat dan tidak memaksakan keadaan," ujarnya.
Tidak Sensitif
Sementara Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Ossy Dermawan mengkritik langkah pemerintah menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan sebagai langkah yang tidak sensitif. Ossy menilai langkah ini tak tepat di tengah masalah kesehatan dan ekonomi masyarakat yang terpuruk akibat pandemi Covid-19.
"Kami memandang momentum kenaikan iuran BPJS kurang sensitif terhadap permasalahan yang sedang dihadapi rakyat," kata Ossy lewat keterangan tertulisnya, Rabu, 13 Mei 2020.
Ossy mengatakan, dampak Covid-19 saat ini tidak lagi hanya menyerang kaum miskin. Kelompok masyarakat kelas ekonomi menengah, kata dia, juga mulai terimbas kondisi sulit tersebut.
Ossy memahami kondisi wabah Covid-19 saat ini menekan ekonomi nasional. Menurut dia, kenaikan iuran BPJS yang sempat dibatalkan oleh Mahkamah Agung ini juga menandakan kondisi ruang fiskal negara yang cukup sempit saat ini.
Akan tetapi, dia berharap pemerintah tak membebani rakyat di kondisi perekonomian yang sulit seperti sekarang. "Demokrat berpandangan jika harus ada yang susah antara 'negara' dan 'rakyat', maka sebaiknya cukup 'negara' yang susah dan bukannya rakyat," kata Ossy.
Seperti diketahui Presiden Jokowi mengakui adanya penurunan daya beli masyarakat. Jokowi mengatakan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) bahan pangan di April 2020 mengalami deflasi 0,13%. Menurutnya itu dapat diartikan permintaan atas bahan pangan mengalami penurunan.
"Saya lihat laporan dari BPS bulan April bahan pangan justru mengalami deflasi sebesar 0,13%, ini ada indikasi penurunan permintaan bahan-bahan pangan artinya daya beli masyarakat menurun," tuturnya saat membuka rapat terbatas virtual, Rabu (13/5/2020).
Jokowi berharap beragam program bantuan sosial yang diberikan bisa membantu masyarakat untuk mempertahankan daya belinya. "Pemerintah telah meluncurkan bantuan sosial tunai untuk 9 juta keluarga, BLT dari desa dari dana desa untuk 11 juta keluarga, ada kartu sembako, ada PKH juga ada padat karya tunai dan kita harapkan ini akan meningkatkan daya beli masyarakat," katanya.
Tapi kebijakan itu menjadi ironis karena pada saat bersamaan Presiden Jokowi menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas I dan II. Sedang untuk kelas III sendiri baru akan naik pada 2021. Hal itu tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Berikut ini kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang tertuang dalam Pasal 34 sebagaimana dikutip detikcom, Rabu (13/5/2020):
Iuran Kelas I yaitu sebesar Rp 150 ribu per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama Peserta.
Iuran Kelas II yaitu sebesar Rp 100 ribu per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama Peserta.
Iuran Kelas III Tahun 2020 sebesar Rp 25.500, tahun 2021 dan tahun berikutnya menjadi Rp 35 ribu.
Perpres menjelaskan ketentuan besaran iuran di atas mulai berlaku pada 1 Juli 2020.
Untuk Januari, Februari, dan Maret 2020, iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu:
Kelas I sebesar Rp 160 ribu, Kelas II sebesar Rp 110 ribu, kelas III sebesar Rp 42 ribu. Untuk April, Mei, dan Juni 2020, sebesar: Kelas I sebesar Rp 80 ribu, Kelas II sebesar Rp 51 ribu, Kelas III sebesar Rp 25,500.
"Dalam hal Iuran yang telah dibayarkan oleh Peserta PBPU dan Peserta BP melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8), BPJS Kesehatan memperhitungkan kelebihan pembayaran Iuran dengan pembayaran luran bulan berikutnya," demikian bunyi pasal 34 ayat 9.
Sebelumnya, pada 2018, Jokowi menandatangani Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Besaran iuran yaitu:
a. Sebesar Rp 25.500 untuk kelas IIIb. Sebesar Rp 51 ribu untuk kelas IIc. Sebesar Rp 80 ribu untuk kelas I. Pada 2019, Jokowi menandatangani Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Besaran iuran berubah menjadi:
1. Rp 42.000 per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III
2. Rp 110.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atau
3. Rp 160.000 per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
Namun, Mahkamah Agung (MA) membatalkan Perpres Nomor 75/2019. MA mengembalikan iuran menjadi:
1. Sebesar Rp 25.500 untuk kelas III
2. Sebesar Rp 51 ribu untuk kelas II
3. Sebesar Rp 80 ribu untuk kelas I
Lalu, apa alasan Jokowi menaikkan iuran BPJS Kesehatan? Hal itu tercantum dalam pertimbangan Perpres 64/2020.
"Untuk menjaga kualitas dan kesinambungan program Jaminan Kesehatan, kebijakan pendanaan Jaminan Kesehatan, termasuk kebijakan iuran perlu disinergikan dengan kebijakan keuangan negara secara proporsional dan berkeadilan serta dengan memperhatikan pertimbangan dan amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 7 P/HUM/2020."
Selain itu, beberapa ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2Ol9 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan perlu disesuaikan.
"Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan," ujar Jokowi, yang mengundangkan Perpres ini pada 6 Mei 2020. (det/kcm/tmp)
Foto: BPJS Kesehatan diminta melakukan efisiensi agar tidak memberatkan rakyat dengan kenaikan iuran. (Antara)
No comments:
Post a Comment