JAKARTA (DutaJatim.com) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya meringkus bekas Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi. Pria yang diburu di berbagai daerah termasuk di Surabaya dan Tulungagung Jawa Timur ini dikejar aparat KPK karena terlibat kasus dugaan suap gratifikasi senilai Rp 46 miliar.
Nurhadi ditangkap di wilayah Jakarta Selatan (Jaksel) bersama dengan menantunya Rezky Herbiyono.
"Apresiasi dan penghargaan kepada rekan-rekan penyidik serta unit terkait lainnya yang terus bekerja," kata Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango, seperti dikutip dari Antara, Selasa (2/6/2020) pagi ini.
Seperti diketahui Nurhadi ditetapkan sebagai daftar pencarian orang (DPO) sejak 13 Februari 2020 lalu. Nurhadi ditangkap pada Senin (1/6/2020) malam bersama menantunya Rezky Herbiyono di wilayah Jaksel.
Penangkapan tersebut, kata Nawawi, sekaligus membuktikan KPK terus bekerja dalam menangani kasus dugaan korupsi. KPK akan mengumumkan secara resmi penangkapan Nurhadi Selasa siang ini.
KPK telah menetapkan Nurhadi bersama Rezky Herbiyono (RHE), menantunya dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto (HS) sebagai tersangka pada 16 Desember 2019.
Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar terkait pengurusan sejumlah perkara di MA. Sedangkan Hiendra ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap. Penerimaan tersebut terkait pertama, perkara perdata PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) (Persero) pada 2010.
Pada awal 2015, tersangka Rezky menerima 9 lembar cek atas nama PT MIT dari tersangka Hiendra untuk mengurus perkara Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Kasasi No: 2570 K/Pdt/2012 antara PT MIT dan PT KBN (Persero) dan dalam proses hukum dan pelaksanaan eksekusi lahan PT MIT di lokasi milik PT KBN oleh PN Jakarta Utara agar dapat ditangguhkan.
Untuk membiayai pengurusan perkara tersebut tersangka Rezky menjaminkan 8 lembar cek dari PT MIT dan 3 lembar cek milik Rezky untuk mendapatkan uang dengan nilai Rp 14 miliar. Namun, kemudian PT MIT kalah dan karena pengurusan perkara tersebut gagal maka tersangka Hiendra meminta kembali 9 lembar cek yang pernah diberikan tersebut. Perkara kedua adalah pengurusan perkara perdata sengketa saham di PT MIT
Pada 2015 Hiendra digugat atas kepemilikan saham PT MIT. Perkara perdata ini dimenangkan oleh Hiendra mulai dari tingkat pertama dan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Januari 2016.
Pada periode Juli 2015-Januari 2016 atau ketika perkara gugatan perdata antara Hiendra dan Azhar Umar sedang disidangkan di PN Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, diduga terdapat pemberian uang dari tersangka Hiendra kepada Nurhadi melalui tersangka Rezky sejumlah total Rp 33,1 miliar.
Transaksi tersebut dilakukan dalam 45 kali transaksi. Pemecahan transaksi tersebut diduga sengaja dilakukan agar tidak mencurigakan karena nilai transaksi yang begitu besar. Beberapa kali transaksi juga dilakukan melalui rekening staf Rezky.
Tujuan pemberian tersebut adalah untuk memenangkan Hiendra dalam perkara perdata terkait kepemilikan saham PT MIT.
Sedangkan perkara ketiga adalah penerimaan gratifikasi terkait dengan perkara di pengadilan.
Tersangka Nurhadi melalui Rezky dalam rentang Oktober 2014-Agustus 2016 juga diduga menerima sejumlah uang dengan total sekitar Rp 12,9 miliar terkait dengan penanganan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA dan permohonan perwalian. Penerimaan-penerimaan tersebut, tidak pernah dilaporkan oleh Nurhadi kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan gratifikasi. (wis/ant)