Oleh Imam Shamsi Ali*
JUDUL di atas adalah ungkapan atau kata-kata yang pernah disampaikan oleh Martin Luther Jr beberapa tahun silam.
Ketika itu di beberapa tempat di Amerika terjadi insiden anarkis dari kalangan minoritas hitam, yang juga didukung oleh beberapa segmen masyarakat termasuk Yahudi dan sebagian warga putih. Mereka menuntut keadilan dan kesetaraan ras bagi seluruh warga Amerika.
Menyikapi itu Beliau ditekan bahwa perjuangannya ternyata tidak damai atau “non violence” karena menimbulkan anarkis. Bahkan dituduh sebagai perilaku “kekerasan” oleh pihak lain (warga kulit putih atau penguasa saat itu). Dalam merespon itu Beliau mengatakan: “riot is the language of the unheard”.
Dalam statementnya Martin Luther mengatakan bahwa anarkis bukan sesuatu yang wajar untuk didukung (condoned). Tapi jangan pula serta merta sekedar mengutuk (condemned) perilaku anarkis yang terjadi di masyarakat. Justru harusnya ada penilaian dan sikap imbang dari semua pihak.
Beliau bahkan menegaskan: “riot is not to be condoned. Because there is another way to struggle” (anarkis bukan untuk didukung. Karena masih ada jalan lain dalam melakukan perjuangan).
Tentu yang dimaksud adalah bahwa perjuangan tetap pada jalur “non violence” (tanpa kekerasan). Dan itulah yang sesungguhnya menjadi “trade mark” perjuangan Martin Luther dan kolega-koleganya saat itu, termasuk seorang Muslim yang kita kenal kemudian dengan Malcom X.
Memang sejujurnya, kerap kali khususnya yang berada di posisi atas (upper hand), termasuk penguasa, menyikapi peristiwa-peristiwa di masyarakat secara simplistik. Apakah karena memang kedangkalan pemahaman atau juga karena ingin menyembunyikan tanggung jawab besarnya sendiri. Atau boleh juga karena adanya agenda-agenda tersendiri yang ingin diloloskan.
Ambillah misalnya di beberapa negara mayoritas Muslim. Begitu dengan mudah Umat Islam dituduh sebagai Umat Yang radikal atau ekstrim. Atau dituduh nampak tidak “taat pemerintah”.
Tuduhan itu kemudian terdefenisikan oleh penampakan lahir di masyarakat saat itu. Seraya menyembunyikan “the root of the matter” (akar permasalahan).
Maka terbangunlah persepsi bahwa Umat ini selalu berada pada posisi “rebellion” (memberontak) kepada penguasa. Yang sudah pasti Umat dihadapkan pada pemerintah yang dianggap mewakili negara. Dan akhirnya Umat dilabeli sebagai elemen “anti negara”, anti falsafah dan Konstitusinya.
Kasus Minnesota dan Rasisme Amerika
Saat ini Amerika sedang memanas. Dipicu oleh kematian seorang warga kulit hitam (Afro American) karena kekerasan yang dilakukan oleh oknum Kepolisian setempat memicu demonstrasi besar-besaran di beberapa kota. Bahkan di sebagian kota juga terjadi anarkis, termasuk penjarahan toko-toko dan pembakaran beberapa buah gedung.
Tentu saya tidak bermaksud membela apalagi mendukung anarkis, penjarahan, atau kekerasan dalam bentuk apapun. Karena itu bertentangan dengan norma-norma dan aturan semua masyarakat Yang beradab (civilized society). Lebih lagi Amerika yang kerap memproklamirkan diri sebagai negara yang demokratis dan beradab (civilized).
Justru yang saya sayangkan adalah ketika ada pihak-pihak yang dengan simplistik hanya melihat kesalahan itu dari permukaan peristiwa yang terjadi. Hanya menyalahkan perilaku anarkis tanpa ada keinginan moral untuk melihat lebih jauh di balik dari anarkis itu.
Kembali kepada statemen Martin Luther tadi, bahwa anarkis terkadang menjadi representasi dari suara-suara yang tak terdengarkan (unheard voices). Maka seharusnya semua kita, jika ingin imbang dan adil dalam menyikapi ini harus berani menggali lebih dalam lagi tentang peristiwa Itu.
Kekisruhan yang kita saksikan di Amerika saat ini sesungguhnya tidak harus mengejutkan banyak kalangan. Semua ini menjadi sesuatu yang (expected) terjadi kapan-kapan saja jika menemukan pemicunya.
Dan insiden kekerasan kepada minoritas, khususnya Afro American bukan barang baru. Kejadian dari masa ke masa, dan menimbulkan reaksi yang sama bahkan lebih dahsyat dari kejadian saat ini terlalu banyak untuk diingat-ingat kembali.
Masalahnya sekali lagi manusia berpura-pura tidak tahu akar permasalahannya. Atau memang secara sistematis berusaha ditutup-ditutupi, tentu untuk kepentingan tertentu yang Allah Yang Maha Tahu lebih tahu.
Tapi yang pasti, kekerasan demi kekerasan yang kerap terjadi kepada kaum minoritas di Amerika adalah indikasi adanya paham ras superior di kalangan mayoritas putih di Amerika. Puncak dari paham superioritàs ini terwujud belakangan ini dengan istilah “white supremacy”. Yang kemudikan melahirkan politisi-politisi ekstrem dan rasis seperti Presiden Amerika saat ini.
Rasisme di Amerika sekali lagi bukan barang baru. Bahkan sejujurnya seolah telah menjadi “trade mark” tersendiri dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Dari masa ke masa minoritas di negara ini mendapat perlakukan yang sesungguhnya bertentangan dengan nilai-nilai dan konstitusi negara sendiri.
Sejak kadatangan kaum putih, yang sesungguhnya diterima dengan tangan terbuka dan lapang dada oleh penduduk asli (Native American) telah menampakkan perilaku rasis itu.
Sejarah mencatat bagaimana perayaan “Thanksgiving Day” yang awalnya dilakukan sebagai kesyukuran bersama atas panen yang melimpah, berubah menjadi perayaan dominasi bahkan eliminasi Native American itu sendiri.
Sejak itu Native American semakin termarjinalkan. Bahkan lambat laun ada cenderung eliminasi (dihabiskan) secara sistematis. Mereka hidup di daerah-daerah atau pegunungan-pegunungan preservasti yang tidak menjadi perhatian dalam pembangunan negara.
Inilah yang kemudian terjadi kepada masyarakat hitam (Afro). Sejak kehadirannya di Amerika karena dipaksa oleh kaum putih sebagai budak-budak (slaves) mereka secara sistematis, bahkan secara tidak langsung juga secara sistemik, mengalami diskriminasi-diskriminasi hampir di segala lini kehidupan.
Kita kemudian diingatkan pergerakan hak-hak sipil (civil rights movements) di tahun 50-an atau 60-an. Yang kemudian melahirkan tokoh-tokoh seperti Martin Luther King Jr. semua itu adalah bukti-bukti jelas dari permasalahan ras atau rasisme di negeri ini.
Dalam Perjalanan sejarah negara ini ternyata rasisme belum pernah ditangani secara sungguh-sungguh dan tuntas. Bahkan ketika seorang Afro American sekalipun terpilih jadi presiden negeri ini, juga belum bisa menyelesaikan isu rasisme. Justru sebaliknya secara tidak langsung menjadi pemicu lebih mendalamnya rasisme di masyarakat.
Kemenangan Donald Trump yang memang salah satunya mengusung isu ras dalam kampanye pemilu menjawab asumsi bahwa kaum putih ingin balas dendam kepada non White yang seolah kemenangannya diwakili oleh kemenangan Barack Obama ketika itu. Dan itu terlihat dengan berbagai kebijakan Donald Trump yang anti Obama. Bahkan kebencian Trump secara pribadi kepada Obama mengindikasikan itu semua.
Pernyatan Donald Trump menyikapi beberapa kejadian rasisme akhir-akhir ini tidak bisa lagi menyembunyikan fakta di atas. Ketika KKK dan kelompok “White Supremacy” melakukan kekerasan, biasanya disikapi secara lunak. Bahkan tidak jarang ada pembelaan. Minimal akan memberikan argumentasi bahwa itu adalah kejadian yang bersifat kasuistik.
Tapi ketika terjadi anarkis yang dilakukan oleh kaum minoritas Minnesota dan beberapa kota lainnya, maka tanpa berpikir panjang dia mengatakan: “when the looting begins, the shooting begins” (kalau terjadi penjarahan maka harusnya juga terjadi penembakan). Karena ini ucapan seorang Presiden maka jadi memiliki dampak di lapangan.
Artinya ada perbedaan sikap dalam menyikapi kesalahan di dua pihak. Dan itu semua membuktikan atau menampakkan siapa Presiden yang sesungguhnya sedang memimpin Amerika saat ini.
Karenanya, saya melihat ada dua hal penting yang menjadi pekerjaan rumah (homework) bagi Amerika ke depan untuk menghadapi atau mengurangi peristiwa yang saat ini sedang memanas di negara ini.
Pertama, Amerika memerlukan pemimpin yang bisa menjadi pemimpin bagi semua warganya. Salama ada segmen masyarakat yang merasa dianak tirikan maka akan ada ledakan-ledakan yang terjadi dari masa ke masa. Tinggal menunggu bentuk pemicu yang terjadi dari masa ke masa.
Kedua, isu rasisme adalah isu mentalitas dan pandangan hidup. Di sinilah masyarakat agama, termasuk masyarakat Muslim untuk memainkan peranan penting dalam mendidik dan melakukan transformasi mentalitas dan pandangan hidup manusia. Bahwa manusia semuanya sama di mata Tuhan.
Dan Islam insya Allah akan memainkan peranan signifikan dalam merubah mentalitas dan cara pandang manusia terhadap sesama. Bahwa semua manusia itu diciptakan secara fitrah, dan semua manusia sesungguhnya adalah satu kelurga, keluarga kemanusiaan (human family).
Masalahnya siapkah ummat untuk menyadari itu? Jangan-jangan di kalangan Umat ini sendiri terjadi prilku rasis antara satu dengan lainnya. Semoga tidak bung! (*)
New York, 31 Mei 2020
* Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation & Imam/Direktur Jamaica Muslim Center NYC.