Oleh Imam Shamsi Ali*
KITA hidup dalam dunia yang tidak sempurna. Barbagai permasalahan hidup membebani kehidupan kita. Dari permasalahan ekonomi, politik, keamanan, hingga gesekan sosial di masyarakat.
Kita sebagai bangsa Indonesia pastinya bukan pengecualian. Sebagai bangsa besar yang sangat ragam, baik secara etnis, ras, budaya dan agama, Indonesia tidak terbebaskan dari gesekan-gesekan sosial itu.
Tentu di satu sisi kita terganggu, bahkan mungkin pada tataran tertentu kita khawatir dan resah akan masa depan bangsa ini. Tapi di satu sisi, selain kita memang hidup dalam dunia nyata yang penuh ketidaksempurnaan, juga kerap kali tindakan kita didorong oleh kepentingan sempit dan parsial.
Di saat-saat saperi itulah yang seharusnya disadari adalah bahwa masa depan bangsa ini akan banyak ditentukan oleh cara pandang (mindset) dan karakter kebangsaan yang kita bangun bersama dalam melihat permasalahan-permasalahan Kebangsaan kita.
Saya melihat bahwa dalam suasana seperti saat ini, di hadapan kita hanya dua kemungkinan pilihan. Membangun pandangan positif yang konstruktif. Atau sebaliknya membangun pandangan negatif yang destruktif.
Modal Kebangsaan
Selain pandangan dan karakter positif yang konstruktif di atas, kita juga seharusnya disadarkan oleh kenyataan bahwa bangsa ini memilki modal kebangsaan yang solid. Itulah jiwa dan karakter kebersamaan, gotong royong dan semangat kekeluargaan yang mengakar dalam kehidupan kita sebagai bangsa.
Bahwa bangsa kita, dengan segala kekurangan dan ketidaksempurnaan itu memilki tabiat asli (genuine character) yang seharusnya menjadi dasar dalam membangun interaksi kebangsaan itu. Yaitu merangkul keragaman sebagai bagian dari nilai dan karakter kebangsaan yang mahal.
Konsep Bhinneka Tunggal Ika menjadi bingkai Kebangsaan yang merajut keragaman itu. Bahwa perbedaan ras, suku, bahasa, budaya dan keyakinan agama, tidak dilihat sebagai kekurangan dan ancaman. Tapi aset dan kekayaan yang harus dijaga dan ditumbuhsuburkan.
Kesadaran seperti itulah yang seharusnya membangun cara pandang dan sikap toleransi. Itu pula yang akan menguatkan kerukunan yang seharusnya terjadi di antara elemen-elemen bangsa yang ragam itu.
Lebih dari itu dalam tatanan kebangsaan kita, dan di tengah eksistensi partikularitas elemen-elemen bangsa, kita memiliki acuan yang telah teradopsi secara matang dan dalam kesepakatan bersama oleh founding fathers bangsa ini. Itulah Pancasila dan UUD 45.
Dan karenanya dengan cara pandang positif dan karakter positif itu kita akan bersama-sama menjaga yang sudah baik, dan juga bersama-sama memperbaiki hal-hal yang masih kurang baik. Bukan sebaliknya justru menggali-gali sesuatu yang dianggap sebagai kekurangan bangsa sendiri.
Tentu lebih runyam lagi, dengan sengaja atau tidak, membuka kekurangan yang ada ke mata dunia yang kerap kali bertepuk tangan dengan kekurangan dan kelemahan kita sebagai bangsa.
Saya mengajak kita semua untuk selalu berpikiran positif, berkarakter positif, dan mengedepankan i’tikad positif kepada bangsa kita. Kekurangan pada masing-masing elemen bangsa seharusnya tidak dijadikan alasan untuk semakin menggali lobang dan mencampakkan nilai-nilai mulia kebangsaan kita.
Justru sebaliknya kekurangan kita sebagai bangsa seharusnya menjadi motivasi untuk kita semua untuk bersama-sama menyadarinya, sekaligus berusaha untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Bukan dipromosikan dan/atau dijadikan alat untuk mengail ikan di air keruh.
Khusus kita para dispora yang berada di luar Indonesia, baik yang masih berpaspor Indonesia atau sudah berpaspor lain, hendaknya kita semua berusaha menjaga nama baik bangsa. Salah satunya dengan selalu mempromosikan hal-hal yang baik dan positif dari bangsa ini.
Saya ingin mengingatkan satu hal untuk bangsa ini. Bahwa agama itu secara sosial semua baik dan mengajarkan kebaikan. Karenanya agama seharusnya merekatkan, bukan memporak-porandakan bingkai kebangsaan kita.
Tapi semua itu memerlukan ketulusan dan kejujuran. Kejujuran dan ketulusan dalam menjunjung nilai-nilai agama dalam bingkai kebangsaan itulah yang akan membangun toleransi sejati dalam kehidupan berbangsa.
Akhinya, sekali lagi kita saling mengingatkan untuk tidak melihat keragaman ras, etnis, budaya dan agama sebagai alasan untuk saling menjauh, menyalahkan, bermusuhan dan berpecah belah. Tapi hendaknya dirangkul sebagai bagian dari sunnatullah (hukum Tuhan) dan karuniaNya bagi bangsa ini.
Dan lebih spesifik lagi, hendaknya dijadikan sebagai modal utama yang sangat berharga dalam merakit dan merajut kehidupan berbangsa kita tatanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Salam Persatuan! (*)
* Diaspora Indonesia di kota New York, USA.