Oleh Imam Shamsi Ali*
AKHIR-akhir ini Amerika bergejolak. Kematian George Floyd di Minneapolis, Minnesota di tangan orang-orang yang seharusnya memberikan keamanan dan keselamatan memicu apa yang saya istilahkan “bara api dalam sekam”. Hampir di semua kota-kota besar Amerika terjadi gelombang demonstrasi besar-besaran.
Bara api dalam sekam yang saya maksud adalah ketidakadilan dan rasisme yang telah seolah menjadi “dosa asal” negeri Paman Sam ini. Sedemikian lama perlakuan zholim dan rasis kepada kaum minoritas, seolah menjadi hal lumrah dari masa ke masa.
Tragisnya, selain karena negeri ini mengaku sebagai “Master of freedom and democracy” juga kerap kali mengkampanyekan diri ke seluruh dunia sebagai Pahlawan HAM dan kesetaraan.
Dengan peristiwa saat ini, dan berkali-kali sebelumnya, menunjukkan adanya “perilaku munafik” (hypocritical behaviors) Amerika kepada dunia.
Dan runyamnya lagi, Amerika gagal menampilkan leadership di tengah krisis yang menimpanya. Karena bersamaan itu pula negeri ini dipimpin oleh seorang Presiden yang tidak saja “unpresidential”. Tapi juga sangat kurang dalam kepemimpinan (leadership). Bahwa negara di saat krisis bukan sekedar membutuhkan penguasa. Tapi yang lebih penting adalah “kepemimpinan”.
Peranan Islam Memerangi Rasisme
Di saat-saat seperti inilah Umat Islam harusnya tampil menampilkan keindahan Islam sebagai solusi dari ragam permasalahan hidup, termasuk di dalamnya permasalahan rasisme.
Al-Quran menyebutkan bahwa sejak awal penciptaan manusia, penyakit rasisme telah tumbuh di kalangan ciptaan Allah SWT.
Dikisahkan bahwa ketika Allah menciptakan Adam pertama kali, Allah memerintahkan seluruh malaikat untuk bersujud kepada Adam sebagai bentuk penghormatan. Semua malaikat melakukannya kecuali Iblis, yang tiba-tiba menjadi angkuh dan membangkang.
Ketika ditanya oleh Tuhan alasan penolakannya menghormati Adam, sang Iblis menjawab dengan terbuka: “saya lebih baik darinya. Saya diciptakan dari api. Dan dia Engkau ciptakan dari tanah”.
Perasaan lebih baik karena tabiat penciptaan fisik inilah yang sesungguhnya menjadi benih dan akar rasisme dunia. Penilaian superioritas karena fisik atau materi, seperti ketika Iblis membandingkan penciptaannya dari api dan penciptaan Adam dari tanah, itulah cara pandang rasisme.
Sejujurnya saya justru khawatir rasisme manusia lebih buruk dan bodoh karena faktanya manusia diciptakan dari tabiat penciptaan yang sama, yaitu tanah. Sementara penciptaan Adam dan Iblis memang berbeda, yaitu dari api dan dari tanah. Saya tidak bermaksud mengurangi kekufuran Iblis. Tapi lebih menampakkan kebodohan manusia yang rasis.
Al-Quran sesungguhnya meletakkan semua dasar-dasar kesetaran manusia, termasuk kesetaraan ras.
Pertama, bahwa semua manusia diciptakan dari sumber penciptaan yang sama. Diciptakan dari tanah (turaab atau thiin). Lalu semua manusia digambarkan diciptakan dari satu orang (nafsin wahidah). Lalu ditampilkan sebagai makhluk yang memiliki orang tua yang sama (min dzakar wa untsaa).
Semua itu menggambarkan bahwa manusia dengan keragamannya yang luar biasa itu, termasuk ragam ras dan warna kulit, sesungguhnya secara esensi (dasar) adalah sama.
Yang nampak berbeda hanya “casing” semata. Jika dilihat lebih dalam dan jauh akan didapati hal yang sama. Darah, daging, dan tulang belulang semua sama pada manusia. Apalagi di balik dari fisik itu sesungguhnya sama. Itulah hati dan fitrah manusia.
Kedua, Al-Quran menegaskan bahwa manusia tanpa kecuali sesungguhnya ada dalam satu kekeluargaan universal yang sama. Yaitu kekeluargaan kemanusiaan kita (human family).
Manusia semua tercipta dari seorang ayah dan seorang Ibu. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran: “wahai manusia sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan kamu dari seorang pria dan seorang wanita. Lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (Al-Hujurat:13).
Oleh karena kita memiliki orang tua asal yang sama maka ini sekaligus penekanan bahwa manusia itu sesungguhnya berada dalam satu keluarga besar. Itulah keluarga kemanusiaan atau human family tadi.
Sungguh berlebihan jika ada di antara anggota keluarga itu yang membeda-bedakan diri dan merasa lebih superior (lebih tinggi dan hebat) dari anggota keluarganya yang lain. Di sinilah rasisme tampil sebagai perilaku bodoh dan merendahkan keluarga dan diri sendiri.
Ketiga, Islam mengakui bahwa setiap orang tanpa kecuali memiliki kemuliaan (dignity) yang bersifat mendasar (inherent). Kemuliaan ini bukan pengakuan sosia semata (social recognition). Tapi kemuliaan yang dikaruniakan oleh Pencipta langit dan bumi (Godly given dignity).
Kemuliaan ini sesungguhnya berdasarkan kepada tabiat penciptaan terbaik (ahsan atau aqwam) dan termulia (karomah) kerena manusia diciptakan secara paling sempurna dan melibatkan kesucian Ilahi (fitrah Allah).
Bahwa manusia tanpa kecuali dalam penciptaannya melibatkan “tiupan ruh Ilahi”. Yang kemudian menjadikannya sebagai makhluk yang mewakili “kesucian Ilahi” itu.
Meminjam istilah teman-teman Kristiani dan Yahudi, sesungguhnya manusia itu tanpa kecuali tercipta dengan “image of God”. Tentu yang dimaksud adalah bahwa manusia itu menggambarkan kesucian Ilahi atau fitrah Allah pada penciptaanNya.
Dan realita ini pulalah yang Allah sampaikan dalam KalamNya di Surah Ar-Rum:30: Dan hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lourus itu. Tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah itu”.
Oleh karena penciptaan manusia melibatkan kesucian Allah (wa nafakhna fiihi min ruuhina) maka agama yang hadir menuntun hidupnya juga sejalan dengan kefitrahan tersebut.
Maka semua manusia tanpa kecuali berhak dan harus diperlakukan secara mulia dan terhormat secara sejajar. Ras dan warna kulit seseorang tidak menambah atau mengurangi kemuliaan itu. Karena kemuliaannya terletak pada fitrah yang sama pada semua.
Keempat, Islam juga menerima (embrace) kenyataan keragaman (diversity) manusia, tidak saja sebagai fakta sosial. Tapi lebih penting dari itu bahwa keragaman manusia adalah salah satu tanda kebesaran Allah SWT.
Dengan kata lain, penerimaan keragaman manusia dan ciptaan secara umum adalah bagian dari keimanan umat. Menolaknya adalah penolakan kepada kebesaran Allah alias kekufuran.
Didapatkan dalam beberapa ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang keputusan Allah menjadikan manusia ragam dalam hidupnya. Termasuk di dalamnya ragam ras, bahkan warna kulit.
Di surah An-Nahl ayat 93 misalnya Allah berfirman: “Dan kalau Allah menghendaki niscaya Dia menjadikanmu dalam satu Umat saja. Tapi Allah membiarkan sesat siapa yang dikehendakiNya, dan ditunjuki siapa yang dikehendakiNya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya apa Yang pernah kamu kerjakan”.
Pada surah Ar-Rum ditegaskan: “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, dan perbedaan lisan (bahasa) dan warna kulit adalah tanda-tanda bagi orang yang berilmu”.
Maka rasisme itu adalah kebodohan, kekufuran nyata, sekaligus keangkuhan manusia karena mengingkari kebesaran Allah dalam keragaman ciptaanNya.
Perubahan revolusioner Rasulullah SAW
Semua alasan yang disebutkan di atas, dan banyak lagi yang lain, menyimpulkan bahwa ajaran Islam telah hadir untuk membangun kesetaraan manusia yang hakiki (genuine equality). Dan itu pulalah yang disampaikan dan diimplementasikan oleh baginda Rasulullah SAW di masyarakat yang dipimpinnya.
Bermula dari firman Allah yang tegas: “sesungguhnya yang termulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa” (Al-Hujurat:13), Rasulullah dengan tegas mengajarkan ini kepada Umatnya.
Maka sejak awal perjalanan sejarahnya, Umat ini telah ditakdirkan sangat ragam. Ragam ras, warna kulit, maupun latar belakang suku dan budaya. Bilal dari kalangan Afro, Salman dari kalangan Persia, Suhaeb dari kalangan warga kulit putih, dan seterusnya. Mereka semua hadir sejajar dengan sahabat lainnya dari kalangan Arab ketika itu.
Realita inilah yang kemudian dideklarasikan dalam pertemuan global manusia, di saat beliau menunaikan ibadah haji di Padang Arafah. Beliau menyampaikan dalam Khutbah beliau yang dikenal dengan khutbatul wada’ sebagai berikut:
“Sesungguhnya ayahmu satu. Semua kalian berasal dari Adam, dan Adam diciptakan dari tanah. Tiada kelebihan orang Arab di atas non Arab, dan tiada kelebihan non Arab di atas orang Arab kecuali karena ketakwaan. Tiada pula
Kelebihan orang putih di atas orang hitam, dan tiada kelebihan orang hitam di atas orang putih kecuali karena ketakwaan”.
Statemen di atas dapat dikatakan sebagai deklarasi kesetaraan ras pertama dalam sejarah manusia, jauh sebelum PBB mendeklaraskan apa yang dikenal dengan “Declaration of Universal Human Right” yang dibanggakan oleh dunia kita saat ini.
Saya ingin akhiri dengan sebuah kejadian yang melibatkan dua sahabat tercinta Rasulullah SAW. Antara Abu Zar Al-Ghifari, sahabat terhormat dari kalangan Arab, dan Bilal, seorang sahabat dari kalangan non Arab, berkulit hitam dan mantan budak pula .
Suatu ketika terjadi perselisihan di antara keduanya sahabat agung itu. Abu Zar merasa sebagai orang Arab merasa direndahkan kerena keberanian Bilal membantahnya. Maka beliaupun memanggil Bilal dengan sebutan: “yaa ibna as-saudaa” (wahai anak seorang perempuan hitam).
Bilal merasa terhina dengan panggilan itu. Dan pastinya tanpa disadari Abu Zar telah bersikap rasis dengan penyebutan warna kulit Ibu seorang sahabatnya. Maka Rasulullah dengan tegas mengatakan kepada Abu Zar: sesungguhnya engkau adalah seorang yang masih berkarakter jahiliyah”.
Teguran Rasulullah itu menjadi pukulan berat pagi Abu Zar. Sampai-sampai beliau meminta Bilal untuk menginjak kepalanya untuk menebus kejahilan itu.
Begitulah kira-kira cara tegas dan revolusioner Rasulullah SAW dalam merubah mentalitas dan mindset para sahabatnya. Dan dengan itu mereka yang selama masa jahiliyah angkuh dan rasis menjadi sadar dan rendah hati. Sebaliknya mereka yang di masa jahiliyah rendah diri dan direndahkan menemukan kehormatan dan percaya diri.
Tapi untuk untuk semua itu bisa terwujud diperlukan ketegasan dan ketauladanan seorang pemimpin. Dan itulah Rasulullah SAW.
Jika dalam sebuah bangsa para penguasa tidak punya sikap dan integritas dalam memerangi rasisme, maka jangan berharap bangsa itu akan sadar. Apalagi kalau memang pemimpin bangsa itu memiliki kecenderungan dan karakter yang sama.
Atau jangan-jangan justeru menjadi inspirasi bagi mereka yang memang rasis itu. Semoga tidak! (*)
New York City, 8 Juni 2020
* Direktur/Imam Jamaica Muslim Center / Presiden Nusantara Foundation USA.