JAKARTA (DutaJatim.com) - Segera setelah Presiden Jokowi "show of force" memarahi para menteri sekaligus mengancam akan meresuffle kabinet Indonesia Maju, publik disuguhi nama-nama menteri kabinet di media sosial. Daftar nama-nama menteri itu beredar di facebook, twitter, hingga pesan berantai seperti what'sapp (WA) atau Telegram.
Beredarnya susunan kabinet terbaru yang beredar di media sosial ini sudah lumrah setiap kali isu reshuffle bergulir. Bisa ditengarai, hal itu merupakan test the water dari sejumlah pihak, termasuk dari lingkaran Istana Presiden sendiri, atau dari kalangan parpol, guna menjajaki reaksi publik atas nama-nama yang dimunculkan dalam susunan kabinet tersebut.
Publik seakan disuguhi pertanyaan, bagaimana kalau nama A diangkat menjadi menteri? Atau nama B dari parpol C diberhentikan dari kursi menteri mengingat kinerjanya kurang optimal atau loyalitasnya kepada Presiden tidak maksimal alias lebih loyal kepada ketum parpol? Hal itu bisa dibaca dari nama-nama susunan kabinet yang beredar di media sosial di mana ada nama baru dimunculkan dan ada nama menteri lama dari parpol tidak lagi tercantuum di susunan kabinet.
Selain itu, ada pula nama menteri yang pindah pos penugasan di kementerian lain. Susunan kabinet semacam ini bisa saja disebarkan oleh kalangan Istana maupun parpol. Bahkan, parpol yang merasa dirugikan dengan beredarnya susunan kabinet itu karena menteri dari parpolnya dihilangkan alias dicopot, bisa pula membuat dan menyebarkan susunan kabinet baru versi parpol tersebut. Tentu saja dengan mencantumkan nama petinggi dari parpol dimaksud.
Ahok dan AHY
Inilah perang politik di media sosial. Meski reshuffle kabinet merupakan hak prerogatif presiden tapi semua tahu unsur presidensial dalam realitas sisten ketatanegaraan kita sering kali diabaikan sebab peran parpol pengusung dan pendukung presiden tetap saja dominan. Ini wajar. Yang tidak wajar bila terlalu berlebihan dalam melayani keinginan parpol.
Yang menarik dari daftar nama menteri tersebut ada sosok yang sangat kontroversial. Dialah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang tertulis menduduki kursi Menteri BUMN menggantikan Erick Thohir yang digeser menjadi Menteri Perdagangan. Lalu pertanyaannya, apakah Ahok lebih mumpuni mengelola BUMN dibanding Erick Thohir? Apakah Ahok sudah berhasil memimpin Pertamina? Publik bisa menilai sendiri. Artinya, pihak yang memunculkan nama Ahok meminta dukungan, atau setidaknya memaklumi bisa akhirnya Jokowi benar-benar memilik mantan gubernur DKI Jakarta itu sebagai menteri.
Selain Ahok, ada pula nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang ditulis menduduki kursi Menteri Koperasi dan UKM. Sementara nama Teten Masduki tidak ada lagi dalam daftar tersebut. Publik juga akan melihat apa AHY cocok di posisi tersebut. Yang jelas, bila melihat jatah menteri dari parpol, wajar bila Jokowi memberikan satu kursi menteri kepada Partai Demokrat. Dan melihat susunan kabinet versi medsos ini, jelas ada parpol yang kehilangan jatah menterinya.
Lebih Tepat Profesional
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, menilai, Presiden memiliki hak prerogatif untuk memilih menterinya. Sehingga bukan hal yang tidak mungkin bila AHY dan Ahok jadi menteri jika memang itu kehendak dari Jokowi.
Untuk Ahok, Piter menilai akan menjadi hal yang menarik jika benar dia menjadi Menteri BUMN. Sebab sikapnya yang tegas akan diuji mengurusi banyaknya BUMN.
"Akan menarik memang kalau Ahok jadi Menteri BUMN. Keberanian dan ketegasan Ahok akan benar-benar diuji ketika menjadi Menteri BUMN," ujarnya seperti dikutip dari detikcom, Kamis (2/7/2020).
Sementara AHY, Piter mengaku ragu jika dia duduk di kursi Menteri Koperasi dan UKM. Sebab dia menilai AHY kurang memiliki pengalaman di bidang tersebut.
"Akan berat buat AHY. Kalau kita menginginkan perubahan dalam membangun kembali koperasi, kita butuh orang yang benar-benar paham ekonomi. Khususnya lagi terkait koperasi dan UMKM. Bisa saja AHY jadi menkop asalkan dia kemudian didampingi wamen atau staf ahli yang benar-benar paham akan jiwa koperasi," terangnya.
Pengamat ekonomi Institute Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira berpendapat lain. Dia kurang setuju dengan kedua nama tersebut. Menurutnya, di situasi pandemi saat ini yang juga dihantui resesi, dibutuhkan sosok menteri yang paham tentang ekonomi. Sehingga diharapkan menteri yang dipilih berasal dari kalangan profesional bukan politik. Ahok dan AHY merupakan politisi.
"Wah yang jelas di tengah situasi krisis ini yang dibutuhkan adalah kabinet yang profesional bukan berasal dari kalangan politik. Kan masih banyak birokrat andal atau akademisi yang punya integritas menduduki pos tim ekonomi. Jangan sampai reshuffle tapi hasilnya sama saja," katanya. (det/wis)