SIDOARJO (DutaJatim.com) - Heboh kue klepon tidak islami dinilai hanya pengalihan isu besar yang terjadi di Indonesia. Namun demikian, isu ini bisa berdampak negatif terhadap pedagang klepon di Jawa Timur seperti di Gempol Pasuruan atau di Bulang Sidoarjo.
Pedagang klepon di Gempol, Pasuruan, misalnya, saat ini mempertimbangkan somasi ke pihak yang menyebut kue tradisional berbahan tepung ketan itu tidak Islami. Tapi somasi baru akan dilakukan jika isu klepon tidak Islami ini berdampak buruk pada penjualan kue tersebut sehingga merugikan para pedagang.
"Saat ini kita sepakat diam dulu. Semua orang kan tahu klepon itu jajanan dari nenek moyang, tradisional, enak, dan halal. Tapi kalau memang berdampak ke penurunan penjualan, ya kita akan lakukan tindakan. Nanti berembuk kesepakatannya apa, bisa somasi," kata Ketua Paguyuban UMKM Kecamatan Gempol, Siti Maulidya, Rabu (22/7/2020).
Pemilik Toko Rapi Klepon di Legok, Gempol, ini mengatakan saat ini isu tersebut belum berdampak pada penjualan. Namun pihaknya menunggu beberapa hari ke depan apakah hal itu mempengaruhi konsumen.
"Lihat beberapa hari ke depan, kan baru viral beberapa hari ini. Harapannya sih malah semakin laris. Setelah viral kan orang malah ingin tahu, akhirnya mencari," imbuhnya.
Meski secara umum tidak berdampak pada penjualan, beberapa pedagang mengaku jualannya tambah laris. Ainul Azizah, salah satunya. "Alhamdulillah tambah laris manis, sampai kewalahan," kata penjual klepon berusia 35 tahun ini.
Seperti diketahui kehebohan itu berawal dari sebuah unggahan foto yang dibagikan oleh pengguna Twitter @Irenecutemom (21/7/2020), di mana akun itu menyebut kue klepon sebagai jajanan yang tidak Islami. Foto dalam unggahan itu bertuliskan, "Kue klepon tidak Islami. Yuk tinggalkan jajanan yang tidak Islami dengan cara memberi jajanan Islami. Aneka kurma yang tersedia di toko Syariah kami". Belum jelas sumber gambar tersebut. Tetapi dalam foto tertulis 'Abu Ikhwan Aziz'.
Semua isi tulisan itu ingin membenturkan budaya Indonesia diwakili klepon dengan Islam diwakili nama-nama seperti kurma, syariah, dan Abu Ikhwan. Pengunggahnya sengaja membuat citra Islam menjadi jelek sebab akan jadi bahan olok-olokan.
"Tapi orang sudah pintar dan tahu kalau itu hanya pengalihan isu yang besar seperti kasus Djoko Tjandra dan lain-lain. Buktinya, penjual klepon di Gempol dan Bulang tambah laris hehehe," kata Sulastri, warga Porong, Sidoarjo, Rabu malam.
Pelaku Tak Paham
Menanggapi meme dan reaksi pengguna media sosial tersebut, Wakil Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Osmena Gunawan mengingatkan kembali bahwa soal makanan yang tepat memakai istilah halal atau haram. Bukan islami. Pelaku tak paham konteks masalahnya.
Dia menjelaskan bahwa makanan halal adalah makanan yang toyib atau baik, bermanfaat buat tubuh dan sesuai dengan porsi masing-masing karena setiap orang berbeda kebutuhannya. "Tapi mengapa klepon disebut sebagai makanan tidak Islami, apa yang membuat makan itu tidak Islami?," kata Osmena Rabu (22/7/2020).
Dia menjelaskan, pada umumnya seluruh makanan apapun halal pada dasarnya, kecuali makanan yang diharamkan. Sementara makanan yang diharamkan sudah jelas diatur dalam agama Islam.
Makanan yang diharamkan adalah makanan yang berasal dari babi dan turunannya apapun itu. Makanan yang diharamkan juga berasal dari binatang yang bertaring seperti anjing. Kalau makanan yang tidak berasal dari makanan yang diharamkan, kenapa harus diharamkan. "Kita juga berdosa mengharamkan (makanan) yang halal dan mengada-ada," ujar Osmena sambil mempertanyakan adanya orang yang mengatakan kue klepon tidak Islami.
Dia juga menjelaskan bahwa istilah syariah biasanya digunakan untuk suatu pekerjaan dan transaksi. Kalau makanan yang dimasukkan ke perut pastinya yang halal, artinya halal adalah syariah juga.
Kalau di makanan ada istilah halal dan haram, kalau di perbuatan misalnya berpakaian ada istilah syar'i. Jadi pakaian yang sesuai dengan tuntunan agama yakni menutup aurat disebut syar'i. Sementara kalau untuk makanan lebih tepat menggunakan istilah halal dan haram.
Harus Ditangkap
Sebelumnya, Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Asrorun Niam Sholeh meminta aparat penegak hukum mengusut tuntas pengunggah dan penyebar unggahan di media sosial tersebut. Karena secara nyata telah menyebabkan kegaduhan. Pelaku harus ditangkap agar ada efek jera.
"Termasuk elemen masyarakat yang menjadikan berita bohong itu sebagai bahan olok-olokan yang menimbulkan permusuhan, kegaduhan, dan kebencian atas dasar suku, agama, ras, dan antargolongan," kata Kiai Niam melalui pesan tertulisnya Rabu (22/7).
Menurutnya, unggahan foto atau meme itu berpotensi melecehkan ajaran agama. Maka meminta kepada masyarakat untuk tidak menyebarkan kabar hoaks tersebut. Juga meminta masyarakat agar tidak terprovokasi dan terjebak pada komentar-komentar yang melecehkan ajaran agama atau membangun stigma buruk terhadap agama. (det/rpk)