JAKARTA (DutaJatim.com) - Akhirnya misteri surat jalan buron kakap Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra terungkap. Setelah heboh hingga menjadi perhatian luas secara nasional, surat sakti Djoko Tjandra diketahui siapa yang membuatnya.
Surat jalan tersebut dikeluarkan oleh Bareskrim Polri melalui Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS dengan Nomor: SJ/82/VI/2020/Rokorwas, tertanggal 18 Juni 2020, ditandatangani Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Pol Prasetijo Utomo.
Untuk itu Polri langsung membentuk tim gabungan Bareskrim dan Propam guna melakukan pemeriksaan terhadap Brigjen Prasetijo Utomo. Hasilnya, Prasetijo dinilai melanggar aturan Polri. Karena itu Kapolri Jenderal Idham Azis pun mencopot Brigjen Prasetijo Utomo dari jabatan Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri. Keputusan pencopotan Prasetijo tertuang dalam Surat Telegram Nomor: ST/1980/VII/KEP./2020 dan diteken As SDM Kapolri, Irjen Sutrisno Yudi Hermawan.
"Ya, benar. Komitmen Kapolri, jika melanggar aturan segera dicopot," kata Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono seperti dikutip dari detikcom, Rabu 15 Juli 2020 malam.
Prasetijo dinonjob-kan di Pelayanan Markas (Yanma) Polri. Dalam surat telegram, tertulis mutasi Prasetijo dalam rangka pemeriksaan internal terkait pembuatan surat jalan untuk Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra. Argo menyebut tidak ada perintah pimpinan terkait pembuatan surat itu. Prasetijo disebut Argo berinisiatif membuat surat itu sendiri.
"Surat jalan tersebut ditandatangani oleh salah satu biro di Bareskrim Polri. Jadi, dalam pemberian atau pembuatan surat jalan tersebut, bahwa Kabiro tersebut adalah inisiatif sendiri," kata Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono dalam konferensi pers di Mabes Polri, Rabu 15 Juli 2020 siang. Argo menyatakan Prasetijo membuat surat tersebut tanpa seizin atasannya. "Tidak atas izin pimpinan," tutur Argo.
Kasus ini mendapat perhatian luas di masyarakat. Karena itu Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo langsung membentuk tim khusus gabungan dari Bareskrim Polri dan Propam untuk mengusut surat jalan Djoko Tjandra tersebut.
Kabareskrim mengatakan, pihaknya tak akan memberi ampun kepada siapa pun yang “bermain” dalam kasus tersebut. Apalagi, menurut Listyo, bila ada jajaran Polri yang terlibat, dia tak segan memberikan sanksi berat.
"Kita sedang menelusuri keterlibatan oknum-oknum, baik yang di Bareskrim maupun tempat lain," kata Listyo Rabu (15/7/2020) menanggapi informasi terbaru yang menyebutkan 'surat jalan' untuk Djoko Tjandra berkop Bareskrim Polri melalui Biro Koordinasi dan Pengawasan (Rokorwas) PPNS.
"Kita segera akan melakukan tindakan tegas dan ini juga menunjukkan komitmen kita terhadap institusi Polri, kita juga nggak toleran terhadap anggota-anggota atau oknum yang bisa merusak marwah institusi. Dan ini juga peringatan kalau betul ada anggota yang terlibat kita akan segera tindak tegas," imbuhnya.
Soal “surat jalan” itu awalnya diungkap Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) tetapi nama institusinya tidak disebutkan. Temuan surat jalan itu lalu diserahkan MAKI ke DPR dan Ombudsman RI.
Namun, kemudian Indonesia Police Watch (IPW) membeberkan lebih detail soal surat jalan untuk Djoko Tjandra itu. "Dari data yang diperoleh IPW, Surat Jalan untuk Djoko Tjandra dikeluarkan Bareskrim Polri melalui Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS, dengan Nomor: SJ/82/VI/2020/Rokorwas, tertanggal 18 Juni 2020, yang ditandatangani Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetyo Utomo. Dalam surat jalan tersebut Djoko Tjandra disebutkan berangkat ke Pontianak, Kalimantan Barat, pada 19 Juni dan kembali pada 22 Juni 2020," kata Neta S. Pane selaku Ketua Presidium IPW dalam keterangan persnya Rabu 15 Juli 2020.
Neta pun mempertanyakan urgensi Brigjen Prasetyo Utomo mengeluarkan 'surat jalan' itu. Dia pun mendesak agar Brigjen Prasetyo Utomo diperiksa Propam Polri.
"Yang menjadi pertanyaan IPW apakah mungkin sekelas jenderal bintang satu (Brigjen) dengan jabatan Kepala Biro Karokorwas PPNS Bareskrim Polri berani mengeluarkan Surat Jalan untuk seorang buronan kakap sekelas Djoko Tjandra? Apalagi biro tempatnya bertugas tidak punya urgensi untuk mengeluarkan Surat Jalan untuk seorang pengusaha dengan label yang disebut Bareskrim Polri sebagai konsultan. Lalu siapa yang memerintahkan Brigjen Prasetyo Utomo untuk memberikan surat jalan itu. Apakah ada sebuah persekongkolan jahat untuk melindungi Djoko Tjandra," kata Neta.
Jaksa Agung Tak Tahu
Sebelumnya, saat dikonfirmasi soal surat jalan Djoko Tjandra itu, Jaksa Agung S.T. Burhanuddin mengaku tidak tahu menahu. Di sisi lain Burhanuddin menyinggung perihal red notice dari Interpol untuk terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali yang masih buron itu.
"Malah tidak tahu saya surat jalan itu," ujar Burhanuddin di kantornya, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Rabu (15/7/2020).
Soal 'surat jalan' itu sebelumnya didapat dari Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI). Boyamin Saiman selaku koordinator MAKI mengaku mendapatkan foto 'surat jalan' itu yang menunjukkan Djoko Tjandra melintas dari Jakarta ke Pontianak pada akhir bulan Juni 2020.
MAKI sendiri sudah menyerahkan 'surat jalan' itu ke Ombudsman RI dan Komisi III DPR untuk ditindaklanjuti. Namun MAKI tidak menyebutkan instansi mana yang mengeluarkan 'surat jalan' itu. Sementara itu Burhanuddin menyinggung soal red notice Interpol untuk Djoko Tjandra. Dia mengaku heran status red notice itu sempat menghilang.
"(Mengenai red notice) itu sampai saat ini belum ada titik temunya. Yang sebenarnya red notice itu kan tidak ada cabut mencabut. Selamanya sampai ketangkap tapi nyatanya ya begitulah," kata Burhanuddin.
Jejak Sang Buron
Terkait red notice Djoko Tjandra sempat disampaikan Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Imigrasi pada 30 Juni 2020. Disebutkan pada 5 Mei 2020 ada pemberitahuan dari Sekretaris NCB Interpol bahwa dari red notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra telah terhapus dari sistem basis data terhitung sejak tahun 2014 karena tidak ada permintaan lagi dari Kejaksaan Agung RI.
"Berdasar dari pemberitahuan Sekretaris NCB Interpol, Ditjen Imigrasi menindaklanjuti dengan menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari Sistem Perlintasan pada 13 Mei 2020," demikian bunyi keterangan dari Ditjen Imigrasi tersebut.
Baru setelahnya pada 27 Juni 2020 Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali memasukkan Djoko Tjandra dalam daftar pencarian orang (DPO). Ditjen Imigrasi pun memasukkan nama Djoko Tjandra lagi ke dalam sistem perlintasan dengan status DPO.
Kiprah Joko Soegiarto Tjandra bikin heboh sejak buron kasus hak tagih (cessie) Bank Bali pada tahun 1999 lantaran sampai saat ini tidak terendus jejaknya. Kasus ini dimulai dari tahun 1999 saat kasus cessie Bank Bali diusut hingga Djoko Tjandra kabur ke luar negeri pada tahun 2009. Kabar mengenai pemilik julukan Joker itu tak terdengar. Lantas pada tahun 2020 ini tiba-tiba nama Djoko Tjandra kembali menjadi buah bibir masyarakat karena kehadirannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada awal bulan Juni 2020. Djoko Tjandra diketahui sempat membuat KTP elektronik atau e-KTP tanpa dicurigai sebagai buronan. Dia pun bisa leluasa mendapatkan paspor hingga 'surat jalan'.
Perkara korupsi cessie Bank Bali yang melibatkan Djoko Tjandra mulai diusut oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) tahun 1999 di mana Joker sering lolos dari jerat hukum. Tahun 2000 misalnya Majelis Hakim memutuskan Djoko S Tjandra lepas dari segala tuntutan (onslag). Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan sebenarnya dakwaan JPU terhadap perbuatan Djoko Tjandra terbukti secara hukum. Namun perbuatan tersebut bukanlah merupakan suatu perbuatan pidana melainkan perbuatan perdata. Akibatnya, Djoko Tjandra pun lepas dari segala tuntutan hukum.
Oktober 2008 Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kasus korupsi cessie Bank Bali dengan terdakwa Djoko Tjandra ke Mahkamah Agung. Pada 11 Juni 2009 Majelis Peninjauan Kembali MA yang diketuai Djoko Sarwoko dengan anggota I Made Tara, Komariah E Sapardjaja, Mansyur Kertayasa, dan Artidjo Alkostar memutuskan menerima Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Jaksa. Selain hukuman penjara dua tahun, Djoko Tjandra juga harus membayar denda Rp 15 juta. Uang milik Djoko Tjandra di Bank Bali sejumlah Rp 546.166.116.369 dirampas untuk negara.
Imigrasi juga mencekal Djoko Tjandra. Pencekalan ini juga berlaku bagi terpidana kasus cessie Bank Bali lainnya, Syahril Sabirin. Mantan Gubernur BI ini divonis 2 tahun penjara.
Pada 16 Juni 2009 Djoko Tjandra mangkir dari panggilan Kejaksaan untuk dieksekusi. Djoko diberikan kesempatan 1 kali panggilan ulang, namun kembali tidak menghadiri panggilan Kejaksaan, sehingga Djoko Tjandra dinyatakan sebagai buron.
Djoko Tjandra diduga telah melarikan diri ke Port Moresby, Papua Nugini, menggunakan pesawat carteran sejak 10 Juni 2009 atau sehari sebelum vonis dibacakan oleh MA.
Lalu 10 Juli 2009 Red notice dari Interpol terbit atas nama Joko Soegiarto Tjandra. 29 Maret 2012 terdapat permintaan pencegahan ke luar negeri dari Kejaksaan Agung RI berlaku selama 6 bulan.
12 Februari 2015 ada permintaan DPO dari Sekretaris NCB Interpol Indonesia terhadap Joko Soegiarto Tjandra. Ditjen Imigrasi menerbitkan surat perihal DPO kepada seluruh kantor Imigrasi ditembuskan kepada Sekretaris NCB Interpol dan Kementerian Luar Negeri.
5 Mei 2020 ada pemberitahuan dari Sekretaris NCB Interpol bahwa dari red notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra telah terhapus dari sistem basis data terhitung sejak tahun 2014 karena tidak ada permintaan lagi dari Kejaksaan Agung RI.
13 Mei 2020 berdasar dari pemberitahuan Sekretaris NCB Interpol, Ditjen Imigrasi menindaklanjuti dengan menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari Sistem Perlintasan. Lalu 8 Juni 2020 Djoko Tjandra diketahui berada di Indonesia. Dia ditemani kuasa hukum lainnya, Anita Kolopaking, membuat e-KTP dengan nama Joko Soegiarto Tjandra. Setelahnya Djoko Tjandra menuju ke PN Jaksel untuk mengurus pengajuan PK.
Selanjutnya 19-22 Juni 2020 Djoko Tjandra diketahui mengantongi 'surat jalan' untuk pergi dari Jakarta ke Pontianak. 23 Juni 2020 Djoko Tjandra diketahui membuat paspor di Kantor Imigrasi Jakarta Utara. Pembuatan paspor dilakukan pada 23 Juni 2020. Data itu disampaikan dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi III DPR dengan Ditjen Imigrasi pada 13 Juli 2020. Dalam RDP itu, Dirjen Imigrasi Jhoni Ginting mengaku sedang melakukan penyelidikan. "(Pihak Kanim Jakut) sudah (dimintai keterangan), Inspektorat juga sudah turun. Ini lagi on going," sebut Jhoni saat RDP itu.
27 Juni 2020 terdapat permintaan DPO dari Kejaksaan Agung RI sehingga nama Djoko Tjandra dimasukkan dalam sistem perlintasan dengan status DPO. 29 Juni 2020 Sidang PK yang diajukan Djoko Tjandra digelar di PN Jaksel. Namun sidang pada hari itu ditunda lantaran Djoko Tjandra tidak hadir di pengadilan. Andi Putra Kusuma selaku kuasa hukum Djoko Tjandra menyebut kliennya sakit.
Di hari yang sama Jaksa Agung ST Burhanuddin mengaku mendapatkan informasi bila Djoko Tjandra sudah berada di Indonesia, bahkan sudah 3 bulan lamanya. Burhanuddin mengaku sakit hati mengetahui informasi itu.
"Informasinya lagi menyakitkan hati saya adalah aktanya 3 bulanan dia ada di sini," kata Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR. (det/tmp/ wis)