Presiden Jokowi meninjau kesiapan produksi vaksin di Bio Farma. (liputan6.com) |
JAKARTA (DutaJatim.com) - Pemerintah melalui Bio Farma terus berupaya memproduksi vaksin Covid-19 bagi masyarakat Indonesia. Saat ini sebanyak 20 relawan mulai mendapatkan suntikan vaksin tersebut untuk uji klinis tahap tiga. Bio Farma pun menggandeng Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengkaji kehalalan vaksin Corona buatan perusahaan China Sinovac Biotech tersebut.
Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amirsyah Tambunan, menjelaskan, kehalalan vaksin menjadi sangat penting bagi umat Muslim agar dapat bermanfaat dan berdampak baik. Dia berharap proses pembuatan vaksin-Covid-19 ini tidak menimbulkan kontradiktif dan proses audit penggunaan zat yang terkandung dalam vaksin tersebut sesuai dengan ajaran Islam.
Untuk itu, Bio Farma menyatakan, bahwa bahan baku vaksin Sinovac asal China yang saat ini sedang diuji klinis di Bandung menggunakan bahan baku halal. Walaupun, menurut Corporate Secretary Bio Farma, Bambang Heriyanto, untuk mendapat sertifikasi halal, dia harus mendapat pengujian dari LP POM MUI.
"Vaksin ini menggunakan bahan baku halal. Tapi untuk spesifikasinya, itu kewenangan MUI. Mereka yang akan tentukan. Tentu kami akan lakukan sertifikasi," kata Bambang, Rabu (12/8/2020).
Bambang menjelaskan, terkait prosesnya akan tergantung pada sistem karena perlu dilihat proses dan lainnya. Bahkan tim Indonesia baik MUI atau POM, mesti ke Sinovac untuk mengauditnya. "Dalam kondisi normal, proses sertifikasi halal bisa enam hingga satu tahun. Namun karena pandemi, kita berharap bisa satu bulan," katanya.
Menurut Kepala Divisi Surveillance dan Uji Klinis, Novilia S, Bachtiar, dia sudah beberapa kali berkoordinasi dengan MUI. "Untuk sertifikasi halal sekarang memang belum, karena belum bisa dikeluarkan ketika vaksin sedang dilakukan uji klinis. Nanti sertifikasi halal MUI akan dilakukan saat proses registrasi," ujarnya.
Dia mengatakan sudah berkomunikasi dengan Sinovac sejak awal. Bio Farma pun sempat mengajukan pertanyaan, apakah mereka produksi memakai bahan haram. "Mereka katakan tidak. Mereka ada statement letter, tidak ada bahan yang bersumber dari haram. Tapi tetap, nanti kami akan minta sertifikasi MUI," katanya.
Vaksin tersebut telah disuntikkan kepada 20 perwakilan relawan di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung pada Selasa (11/8/2020). Presiden Joko Widodo menyaksikan langsung penyuntikan perdana relawan uji klinis vaksin Covid-19.
Sebelum menyaksikan penyuntikan vaksin tersebut, Presiden terlebih dahulu meninjau fasilitas dan kapasitas produksi vaksin Covid-19 di Bio Farma. Dalam kunjungan ini, Jokowi didampingi oleh Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Erick Thohir, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir.
Jokowi berharap uji klinis vaksin Covid-19 tahap tiga dapat selesai dalam waktu enam bulan. Adapun produksi massal vaksin ditagetkan dapat dilakukan pada Januari 2021. “Kalau produksinya sudah siap, langsung diberikan vaksinasinya kepada seluruh masyarakat di Tanah Air,” kata Jokowi, kemarin.
Presiden optimistis Indonesia dapat segera menemukan vaksin covid-19 dan diproduksi massal. Ketua (KPCPEN) yang juga Menteri BUMN Erick Thohir bersyukur karena Indonesia memasuki tahapan penting dalam usaha untuk mengatasi pandemi Covid-19. Ia pun merasa bangga dengan kemampuan perusahaan BUMN, yaitu Bio Farma yang bekerja sama dengan Sinovac, karena vaksin Covid-19 sudah memasuki uji klinis tahap ketiga.
"Tidak banyak negara atau lembaga penelitian yang sudah mencapai uji klinis hingga tahap ini,” ujar Erick.
Uji klinis tahap tiga sebelum vaksin Covid-19 ini diproduksi besar-besaran merupakan tahapan yang perlu dilalui semua produk farmasi termasuk obat-obatan dan vaksin. Bio Farma menyatakan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) RI telah mengetahui hasil positif dari tahapan uji klinis vaksin Covid-19, mulai dari uji pre-klinis, uji klinis tahap satu dan uji klinis tahap dua yang dilakukan di China.
“Kini kita tunggu enam bulan ke depan. Mohon dukungan dan doa atas vaksin yang saya pastikan halal ini. Insya Allah, jika uji klinis fase tiga ini berjalan lancar, kita siapkan registrasi ke Badan POM untuk kemudian diproduksi massal dan bisa digunakan mengatasi virus Covid-19 ini,” katanya.
Terkait kehalalan vaksin, Erick beberapa kali telah menyampaikan bahwa vaksin yang sedang diproduksi Bio Farma dibuat dari bahan baku halal. Hal itu ditegaskan Erick saat meninjau laboratorum Bio Farma pada awal Agustus.
Erick mengatakan, Bio Farma sebagai perusahaan farmasi nasional yang sudah berdiri sejak 1980, terbiasa memproduksi vaksin dengan bahan baku yang halal dan sudah dipercaya lebih dari 160 negara dalam memproduksi 15 jenis vaksin. Sertifikasi halal untuk vaksin nantinya akan diterbitkan MUI.
Sementara itu Ketua Tim Peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Kusnandi Rusmil menjelaskan, kemungkinan ada dua efek samping yang muncul saat pemberian vaksin corona buatan perusahaan China Sinovac Biotech.
"Efek samping yang kita ketahui ada lokal dan sistemik. Kalau (efek) lokal, dilihat ada bengkak atau tidak, kalau ada bengkak berapa centimeter bengkaknya. Kalau merah kaya apa merahnya," tutur Kusnandi dalam konferensi pers di Bandung, kemarin.
Sedangkan efek sistemik, subjek penelitian akan merasakan perubahan suhu tubuh. Subjek wajib melaporkan kepada tim penanganan jika mengalami reaksi yang dianggap tidak wajar. "Kalau (efek) sistemik itu panas atau suhu tubuh naik. Nah berapa panasnya," ujar Kusnandi.
Kusnandi menuturkan, penyelenggara uji klinis sudah mengantisipasi jika subjek mengalami efek samping lokal maupun sistemik. "Jadi nanti mereka semua lapor ke petugas supaya langsung ditangani," ucapnya.
Proses penyuntikan akan dilakukan sebanyak dua kali. Usai penyuntikan pertama, subjek akan kembali disuntik dalam 14 hari ke depan. Selanjutnya, subjek akan dipantau kondisi kesehatannya selama enam bulan ke depan. Kusnandi menjelaskan terkait efek samping pada uji klinis tahap III di mana vaksin disuntikkan pada manusia. Menurutnya, pada tahap ini vaksin seharusnya tidak memiliki banyak efek samping.
Selain Indonesia, ada lima negara lain yang menguji vaksin fase ketiga. Kelima negara tersebut yakni, India, Brasil, Bangladesh, Chili, dan Turki. Menurut Kusnandi, otoritas yang berwenang meloloskan suatu vaksin adalah Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. Sehingga, proses uji klinis penting dilakukan untuk mengukur seberapa efektif imunisasi bekerja.
"Karena yang menentukan gagal itu bukan kita, tetapi WHO. Vaksin itu komitmen global karena akan diberikan kepada semua orang. Jadi yang bertanggung jawab itu WHO. Makanya itu dilakukan di beberapa tempat," ujarnya.
Polemik Vaksin Rusia
Sementara itu, Rusia mengumumkan hasil penemuan vaksin anti-Covid-19 yang bisa digunakan untuk menusia. Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan vaksin Covid-19 yang dikembangkan di negaranya, sudah disetujui untuk digunakan setelah kurang dari dua bulan diujikan kepada manusia.
Putin mengatakan vaksin telah melewati seluruh uji klinis. Bahkan putri Putin sendiri telah divaksinasi dengan vaksin tersebut. Untuk itu, Pemerintah Rusia berencana mulai memproduksi vaksin tersebut pada Oktober 2020 mendatang.
Peneliti Rusia sedang menguji vaksin Sputnix-V. |
Namun, kalangan ahli mempertanyakan kecepatan kerja pengembangan vaksin buatan Rusia ini. Mereka menduga para penelitinya telah mengabaikan tahapan-tahapan tertentu dalam proses ilmiah pembuatan vaksin. Di tengah keraguan mengenai keamanannya, pekan lalu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendesak Rusia untuk mengikuti pedoman internasional dalam memproduksi vaksin Covid-19.
WHO memperingatkan 'tak ada solusi sederhana' dalam pengembangan vaksin Covid-19. Selasa (11/08) kemarin, WHO mengatakan sudah berbicara dengan otoritas Rusia mengenai peninjauan vaksin yang diberi nama Sputnik-V itu. Saat ini, vaksin Rusia tidak masuk ke dalam daftar dari enam vaksin yang telah mencapai fase tiga uji coba klinis.
Pada tahap ini, uji coba dilakukan lebih luas pada manusia.
Lebih dari 100 vaksin di seluruh dunia sedang dikembangkan, sebagian di antaranya sedang diujicobakan pada manusia dalam uji klinis. Meskipun pengembangan vaksin mengalami kemajuan pesat, sebagian besar ahli berpendapat vaksin tidak akan tersedia secara luas hingga pertengahan 2021.
Namun Presiden Putin menyebut vaksin yang dikembangkan oleh Institut Gamaleya di Moskow ini sebagai pertama di dunia. Vaksin itu, menurutnya, memberikan "imunitas berkelanjutan" melawan virus corona.
Dia mengatakan bahwa dirinya mengetahui vaksin tersebut "cukup efektif", tanpa memberi penjelasan lebih rinci. Dia juga menekankan bahwa vaksin itu telah melewati "seluruh tahapan uji yang dibutuhkan"
Putin juga mengatakan vaksin ini sudah diberikan kepada salah satu putrinya, yang merasa baik-baik saja, meski sempat mengalami peningkatan suhu badan. "Menurut saya, dalam hal ini, dia ikut bagian dalam eksperimen," kata Putin, tanpa spesifik menyebut siapa di antara dua putrinya yang telah menerima vaksin.
"Setelah suntikan vaksin pertama, suhu tubuhnya mencapai 38 derajat, sehari kemudian 37,5 derajat, dan hanya itu. Setelah suntikan kedua, suhu tubuhnya naik sedikit, tapi kemudian kembali normal."
Jarang bagi Presiden Putin untuk membicarakan dua putrinya di depan umum dan dikutip media. Kedua putri Putin, Maria Vorontsova dan Katerina Tikhonova, hidup dengan kerahasiaan.
Kalangan ilmuan Rusia mengatakan percobaan tahap awal vaksin sudah selesai dan hasilnya sangat memuaskan. Vaksin buatan Rusia ini menggunakan galur-galur adenovirus, sebuah virus yang biasanya menyebabkan flu umum, untuk memicu respon imun tubuh. Tapi pemerintah Rusia menyetujui penggunaan vaksin ini sebelum dilakukan percobaan pada ribuan orang, yang dikenal sebagai uji coba fase ketiga.
Para ahli menganggap uji coba fase ketiga ini merupakan bagian penting dari proses pengembangan vaksin. Meski demikian, Menteri Kesehatan Rusia, Mikhail Murashko mengatakan, vaksin telah "terbukti sangat efektif dan aman", dan menyebutnya sebagai langkah besar "kemenangan umat manusia" melawan Covid-19.
Pemerintah Rusia mengatakan vaksin diberi nama Sputnik-V, untuk menghormati satelit pertama dunia. Sputnik dalam bahasa Rusia bermakna satelit. Mereka mengaitkan penelitian vaksin ini serupa dengan persaingan pengembangan teknologi ruang angkasa Uni Soviet dan AS selama Perang Dingin.
Rusia membuat vaksin Covid-19 dengan kecepatan yang luar biasa. Mereka memulai uji klinis pertama pada 17 Juni, beberapa bulan setelah tim China, Amerika, dan Eropa. Tidak seperti tim lainnya, Institut Gamaleya di Moskow tidak menyertakan data keamanan dan imunitas dari penelitian ini. Ini membuat para ilmuwan independen mustahil membuat sebuah penilaian.
Presiden Putin ingin menunjukkan pesan yang jelas kepada dunia tentang kehebatan ilmu pengetahuan Rusia. Tapi, untuk menjadi yang pertama saja itu tidak cukup.
Tidak ada satu pun vaksin Covid-19 yang sedang dikembangkan terbukti memberikan perlindungan terhadap virus corona. Itulah pertanyaan utama yang masih belum terjawab.
Proses pengembangan vaksin buatan Rusia ditanggapi miring oleh pejabat kesehatan dan media di AS dan Eropa. Bulan lalu, ahli epidemiologi Amerika, Anthony Fauci, mengungkapkan keraguan atas ketelitian proses pengujian dalam upaya mencari vaksin dengan jalur cepat, baik di Rusia dan China.
Juru bicara WHO, Christian Lindmeier, ikut menimpali. Ia mengatakan kepada wartawan 4 Agustus lalu: "Terkadang ilmuwan mengklaim mereka telah menemukan sesuatu, yang tentu saja berita luar biasa. Tapi, antara menemukan petunjuk, mendapatkan vaksin yang berhasil, dan telah melalui semua tahapan, adalah dua hal yang berbeda." (det/wis/kcm)
No comments:
Post a Comment