Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Dongeng Socrates dan Kritikan Isaacson (1)

Monday, August 31, 2020 | 15:20 WIB Last Updated 2020-08-31T08:20:20Z

 




Catatan Editor Buku Pena di Atas Langit: Djoko Pitono



"Talent alone cannot make a writer; there must be a man behind the book."


Ralph Waldo Emerson


SYAHDAN  dari yang empunya kisah, ketika bangsa Yunani mulai mengenal huruf yang disebut alfabet, Socrates masihlah belum mengenal aksara. Oleh karena itu, seandainya Plato, sang murid, tidak merekam dialog-dialog sang guru dan muridnya, karya-karya filsuf besar itu pun tidak akan pernah sampai kepada kita. 


Meskipun begitu, Plato mengikuti pendapat gurunya bahwa tulisan dapat menumpulkan ingatan manusia.

Prof Dr Wuri Soedjatmiko, mantan Guru Besar Bahasa Inggris di Universitas Widya Mandala Surabaya,  suatu saat berkisah tentang “dongeng Socrates” mengenai dewa Mesir yang terkenal , Thoth, penemu berbagai kreasi seperti ilmu hitung, geometri, astronomi. Penemuannya yang terbesar adalah tulisan.

Thoth berkata, "Dengan memakai tulisan, bangsa Mesir akan menjadi makin bijak dan akan memiliki ingatan yang lebih baik. Tulisan merupakan alat yang sangat khas bagi ingatan dan kebijaksanaan."


Tapi Raja Thamus berkata: "O Thoth yang maha pintar, seorang penemu tidak selamanya dapat menentukan manfaat temuannya. Dan dalam hal ini, sebagai bapak tulisan, Engkau telah terusik untuk memberikan kualitas yang tidak mungkin dimiliki anak-anakmu. Penemuan ini hanyalah membawa kealpaan bagi para pelajar karena mereka, tidak akan menggunakan ingatan mereka lagi. Mereka akan bergantung pada huruf-huruf yang tertulis di luar kepala mereka dan tidak lagi percaya akan kekuatan ingatan mereka sendiri."

"Penemuanmu tidak merupakan alat bantu bagi ingatan tetapi penyebab kepunahan. Engkau bukannya memberi murid­-muridmu kebenaran, tetapi sekedar sesuatu yang mirip kebenaran.”

Menurut Prof Wuri, sekarang kita hidup dalam segala jenis keberaksaraan. Informasi tertulis berlimpah ruah di atas kertas maupun di dunia maya. 


“Dengan informasi tulis yang tak terhingga ini, tidak dapat kita bayangkan apabila kecurigaan Socrates terhadap tulisan ini berlanjut hingga masa sekarang,” katanya.

Apa yang disampaikan Prof Wuri tersebut benar belaka. Dan di saat kita berbicara literasi, tentang buku-buku dan keterampilan menulis, kita perlu sejenak mengingat dongeng Socrates tersebut.


Keberadaan tulisan bahkan sekarang sudah menjadi ukuran budaya bangsa. Apabila suatu bahasa tidak dapat mewadahi pemikiran-pemikiran dan inovasi kemajuan ilmu pengetahuan, bisa-bisa penutur bahasa tersebut diberi label primitif. 


Kekayaan sastra juga merupakan ukuran tingkat budaya bangsa. Buku-buku cerita anak, remaja serta karya sastra klasik dan kontemporer di negara maju menempati tempat yang luas baik di toko buku maupun perpustakaan. 

Kemampuan menulis juga menjadi ukuran keterpelajaran seseorang. Dalam dunia akademik, keunggulan ilmiah diukur dari frekuensi disitirnya suatu tulisan ilmiah oleh peneliti lainnya.

Hingga sekarang, pembicaraan tentang buku-buku dan keterampilan menulis kaum terpelajar di negeri ini banyak dipenuhi keluhan. Ini negeri nol buku. 

Para guru dan dosen tak tertarik menulis, apalagi menulis buku. Tak terhindarkan memang keluhan-keluhan seperti itu. Apalagi dewasa ini, saat penggunaan media sosial lewat internet makin menyeruak ke mana-mana. 


Di Frankfurt Book Fair beberapa waktu yang lalu, saya pun sempat mendengar diskusi bagaimana Jerman pun terguncang oleh menurunnya minat baca dan menulis, terutama generasi muda. Pengaruh medsos memang luar biasa “merusak” dan belum semuanya dapat diprediksi.

Namun, rasanya lebih baik kita melihat fakta lain yang juga menggembirakan bahwa dunia anak-anak muda yang sangat antusias dalam kegiatan membaca dan menulis. Berbagai pelatihan menulis dilakukan di berbagai sekolah/universitas dan juga institusi lain. Berbagai kegiatan tersebut patut diapresiasi.


Teramat banyak untuk mendaftar apa saja manfaat menulis. Maju tidaknya suatu bangsa dapat dilihat antara lain dari jumlah karya tulis yang diciptakan dan dibaca oleh anggota masyarakat. Karya-karya itu dapat berupa buku, tulisan-tulisan di jurnal-jurnal ilmiah, dan juga artikel-artikel ilmiah populer di media massa lainnya. Berbagai karya tulis itu dibutuhkan untuk mencerdaskan masyarakat. (Bersambung)

No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update