Catatan Editor Buku Pena di Atas Langit: Djoko Pitono
"Talent alone cannot make a writer; there must be a man behind the book."
Ralph Waldo Emerson
MANFAAT menulis untuk pribadi juga banyak. Menulis merupakan aktivitas yang paling tinggi nilainya bagi manusia terpelajar. Ini wajar karena menulis merupakan keterampilan berbahasa paling tinggi setelah keterampilan mendengar, berbicara dan membaca.
Banyak orang besar atau tokoh yang berhasil dalam bidangnya mengawali kariernya dengan menulis dengan baik. Banyak presiden Amerika yang pintar menulis, di antaranya John F. Kennedy, Bill Clinton, dan Barack Obama.
“Kalau Anda menulis, Anda tidak akan pernah kalah karena Andalah yang menentukan segalanya,” kata Obama dalam sebuah buku karyanya.
Lee Iaccoca, Presiden Direktur Ford Corporation di era 1970-an, selalu menekankan pentingnya keterampilan komunikasi, termasuk menulis, bagi karyawan pabrik mobil tersebut.
Sebagai CEO yang mengawali karirnya sebagai salesman mobil dari pintu ke pintu, dia paham benar betapa pentingnya kemampuan komunikasi. Oleh bos yang insinyur mesin itu, para manajernya yang tidak terampil menulis diminta ikut kursus-kursus menulis.
Kepada putrinya, Iacocca juga menekankan pentingnya hal tersebut. “Kamu bisa belajar apa saja. Yang paling penting, bahasamu harus baik, lisan maupun tulisan” kata Iacocca, dalam bukunya, Iacocca: An Autobiography yang ditulisnya bersama William Novak.
Cerita tentang keterampilan komunikasi ternyata masih menjadi topik menarik 30 tahun kemudian di Amerika. Ini terkait dengan kisah kebangkrutan berbagai surat kabar cetak. Berbagai surat kabar terkemuka seperti The Times-Picayune bangkrut setelah hampir 200 tahun (terbit pertama kali tahun 1837).
Laporan dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, juga tidak berbeda.
Apa penyebab kemerosotan berbagai media terkemuka tersebut?
Dalam situasi demikian, paling gampang memang mencari kambing hitam. Dan kambing hitam yang paling mudah adalah perkembangan teknologi komunikasi seperti internet dan medsos seperti Facebook, WA, Instagram dan sejenisnya. Sekarang eranya serba digital, media cetak kertas sudah kuno dan ketinggalan zaman. Begitu kata sebagian kalangan.
Dalam batas tertentu, pengaruh Internet dan medsos memang tidak dapat dinafikan. Tetapi sebagian besar masalah media cetak terkait dengan terbatasnya kemampuan melakukan inovasi menghadapi perkembangan selera masyarakat.
Selain itu, kebanyakan awak media terlalu asyik memupuk egonya sehingga cenderung tidak bersedia mengubah sikap terhadap perkembangan baru jurnalisme.
Dalam kaitan ini, apa yang disampaikan oleh jurnalis senior dan penulis biografi terkemuka Walter Isaacson patut diperhatikan. Dalam ceramahnya di National Press Club pada 14 Mei 2012, Isaacson mengatakan, media massa dewasa ini dipenuhi opini dan omong kosong.
Menurut Isaacson pula, wartawan harus selalu berlatih menulis dan bereksperimen terus-menerus.
“Kekuatan wartawan terletak pada pelaporan, berkisah, dan bertutur dalam ragam sastra. Dalam proses internalisasi di perusahaan, kekuatan dan sosok masing-masing wartawan memperkuat kepercayaan masyarakat,” kata Isaacson.
Apa yang dikatakan oleh Isaacson tersebut 100 persen benar. Di Indonesia, terbukti media cetak.yang bertumbangan atau kembang kempis hidupmya antara lain adalah media yang penuh dengan opini-opini yang menjenuhkan. Berita-berita opini memang paling mudah membuatnya. Tinggal menelepon sumber berita dan menyesuaikan berita yang akan ditulis dengan arahan pemilik media atau keinginan penulisnya.
Sebaliknya, menulis laporan jurnalistik dengan berkisah, apalagi dalam ragam sastra sangatlah tidak mudah. Tidak mudah terutama bagi wartawan yang tidak memiliki kebiasaan membaca buku, apalagi novel-novel yang bagus dan berbobot. (Bersambung)
No comments:
Post a Comment