Catatan Editor Buku Pena di Atas Langit: Djoko Pitono
"Talent alone cannot make a writer; there must be a man behind the book."
Ralph Waldo Emerson
TIDAK sedikit wartawan “senior” yang sudah 30 tahun menjadi wartawan praktis tidak membaik kemampuan menulisnya sejak awal menjadi wartawan.
Beruntung Tofan Mahdi, penulis buku ini. Meniti hidup dalam kehidupan keluarganya yang tersaruk-saruk, dia mempunyai kebiasaan membaca buku, antara lain dari kakaknya dan tinggalan Bapaknya. Kebiasaan inilah yang membuat dia sudah pintar menulis saat menempuh kuliah di FE Universitas Muhammadiyah Jember, dan mengirimkannya ke berbagai suratkabar.
Kemahiran menulisnya makin terasah setelah menjadi jurnalis di Jawa Pos dan digembleng oleh suhunya, Dahlan Iskan. Keakrabannya yang terus berlanjut dengan dunia buku pun membuat dia makin piawai menulis. Kariernya juga melejit hingga menjadi Wakil Pemimpin Redaksi. Ketika Tofan berpindah ke dunia korporasi, keterampilan menulisnya pun tetap melekat.
Hal yang sama berlaku untuk suhunya. Tulisan-tulisan Dahlan, yang bertutur dan ‘menyastra” selalu diikuti ribuan pembacanya. Tulisan bersambung menyangkut transplantasi livernya pada 2007 mengaduk-aduk perasaan pembaca yang tak terhitung jumlahnya.
Ketika tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan diterbitkan, bukunya jadi best seller. Begitu juga tulisan-tulisan setelah dia menjadi Dirut PLN, yang dikumpulkan dalam buku Dua Tangis dan Ribuan Tawa.
Sekarang, setelah lepas dari jabatan Menteri BUMN dan juga tidak lagi memimpin Jawa Pos, Dahlan Iskan tetap menulis. Lewat DI’Way.id, tulisan-tulisannya yang mengalir nyaris setiap hari, dibaca oleh ribuan orang.
Meski tetap sangat sibuk dengan beragam aktivitasnya, Sang Begawan Media itu tetap membaca buku, terutama novel. Dia tidak bisa meninggalkan kebiasaan membacanya, setidaknya sebulan satu novel.
Kebiasaan baca yang dimilikinya sejak sekolah menengah dalam keadaan keluarga sangat miskin di desanya, Takeran, Magetan. Media yang dibacanya pinjam sana-sini.
Mereka yang mampu menulis dengan baik memang pantas bersyukur karena penelitian di sejumlah negara menunjukkan bahwa masyarakat terdidik “semakin sulit” menulis dengan baik.
Mantan Menteri Pendidikan Amerika Serikat William Bennett era 1980-an, misalnya, mengakui hal itu. Bennett menunjukkan, kurang dari 40% siswa SMA di Amerika dapat membaca surat kabar dengan baik, sementara hanya 2% yang dapat menulis dengan jelas, “detailed and coherent narrative.”
Kecenderungan yang diakibatkan antara lain makin dominannya media elektronik itu kemudian mendorong berdirinya The National Commission on Writing in America's Schools and Colleges, sebuah lembaga nasional yang mempromosikan kegiatan menulis di sekolah dan perguruan tinggi. Komisi mengeluarkan laporan setiap tahunnya.
Dari apa yang berkembang dalam beragam diskusi, ada kekurangsadaran bahwa keterampilan menulis tak bisa dipisahkan dari kebiasaan membaca. Dalam kaitan ini, tak ada penulis yang muncul tanpa kebiasaan membaca. Kebiasaan ini mutlak dimiliki bila seseorang ingin menjadi penulis. Kebiasaan membaca akan banyak menentukan dalam membentuk kemampuan mengorganisasi pikiran dan disiplinnya.
Seperti diungkapkan penyair Amerika, Ralph Waldo Emerson, “Talent alone cannot make a writer; there must be a man behind the books.” (*)
* Djoko Pitono, veteran jurnalis dan editor buku
No comments:
Post a Comment