Oleh Imam Shamsi Ali*
KEAMANAN dan stabilitas dalam negeri menjadi pilar pembangunan dan kemakmuran. Sementara pembangunan dan kemakmuran yang berkeadilan merupakan indikator peradaban yang sehat. Ketergantungan kepada orang lain, termasuk ketergantungan ekonomi, adalah antithesis dari sebuah peradaban.
Membangun Self Confidence
Di saat komunitas solid secara internal, baik secara ekonomi, politik maupun budaya dan tradisinya maka dengan sendirinya akan terbangun sebuah sikap percaya diri yang juga kuat. Percaya diri ini sesungguhnya menjadi pijakan bagi tumbuhnya keinginan untuk berubah dan maju. Tanpa percaya diri tak akan terjadi perubahan. Dan tanpa perubahan peradaban tidak akan terwujud.
Itulah sebabnya Allah menekankan urgensi perubahan sebagai prasyarat kebangkitan peradaban itu.
"Sungguh Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu sendiri memulai perubahan itu dari diri mereka sendiri" (Al-Quran).
Perubahan pada kaum itu akan terjadi secara alami jika bermula dengan perubahan mentalitas. Sebenarnya konsep “revolusi mental” dapat dipahami kalau saja punya perencanaan dan target yang jelas. Bukan sekedar sebuah wacana kosong yang tiada punya realita.
Tentu perubahan mentalitas terpenting adalah terbangunnya jiwa atau mentalitas yang confident. Bukan mentalitas yang minder (interior) yang merasa kalah sebelum bertanding.
Jika kita melihat ayat-ayat Al-Quran maupun hadits-hadits Rasulullah SAW akan didapati bahwa motivasi untuk membangun “self confidence” itu selalu ditekankan.
Dari konsep Tauhidullah (keesaan Allah), tawakkal kepada Allah, kebersamaan dengan Allah, penjagaan Allah, hingga janji-janji Allah yang akan selalu memberikan pertolongan kepada hamba-hambaNya. Semua itu adalah motivasi utama dalam membangun “self confidence” itu dalam diri orang-orang yang beriman.
Firman Allah SWT yang mengirim ribuan malaikat (3000 atau 5000) kepada pasukan Muslim pada peperangan Badr juga motivasi yang membangun self confidence itu. Demikian pula janji-janji kemenangan yang ada, semuanya ditujukan sebagai motivasi untuk membangun percaya diri tadi.
Dalam ragam statemen Rasulullah SAW selalu memotivasi masyarakatnya, khususnya mereka yang under privilege, agar membangun self confidence (atau percaya diri) itu. Misalnya kepada mereka yang miskin, Rasulullah SAW mendeklarasikan diri sebagai bagian dari mereka.
Doa yang Beliau sampaikan "Allahumma uhsyurni fii zumratil masaakin" (ya Allah masukkan saya ke dalam golongan orang-orang miskin) bukan dimaksudkan keinginan untuk memiskinkan umatnya. Justru sebaliknya untuk membangun percaya diri mereka bahwa mereka yang miskin itu bukan diabaikan apalagi dipandang sebelah mata.
Dalam sebuah hadits yang lain Beliau mengingatkan: "ahibbul masaakin. Innamaa nushirtum bil masaakiin" (cintailah orang-orang miskin. Karena sesungguhnya kalian ditolong oleh Allah karena orang-orang miskin itu).
Ini juga merupakan indikasi jelas bagaimana Beliau membangun semangat percaya diri kepada mereka yang seringkali "under estimated" (dipandang enteng) dalam masyarakat.
Di sini kita lihat bahwa peradaban yang kuat itu terbangun di atas semangat "percaya diri" yang solid. Sebuah bangsa atau kaum yang tidak percaya diri tidak akan bisa membangun peradaban. Inferioritas atau perasaan minder hanya akan menjadi beban, dan bahkan menjadi penyebab kelemahan dan keterbelakangan.
Perhatikan mayoritas dunia Islam saat ini. Hampir keseluruhan dunia Islam itu berada pada posisi "menguntungkan" secara sumber daya alam. Dari pertanian, kehutanan, hingga kelautan (kekayaan bahari) dimiliki oleh dunia Islam. Bahkan negara-negara gersang sekalipun diberikan sumber-sumber kekayaan alam lainnya, termasuk kekayaan pertambangan minyak dan gas misalnya.
Tapi kenapa umat ini masih tertinggal jauh? Salah satu faktornya adalah kejiwaan yang selalu tergantung kepada bangsa lain. Ketergantungan ini jelas disebabkan oleh hilangnya "self confidence" itu.
Akibatnya kekayaan negara-negara Islam itu kerap jadi santapan empuk, bagaikan sepotong daging yang diperebutkan anjing-anjing lapar nan buas.
Yang runyam kadang sebuah bangsa Muslim kemudian kehilangan percaya diri, justru dimainkan bagaikan boneka di tangan orang lain. Salah satu permainan itu adalah “devide et impera” di antara mereka. Perpecahan bahkan peperangan antar kelompok dalam tubuh Umat yang satu ini menjadi tontonan yang menggelikan.
Tapi itulah realita yang disayangkan, bahkan menyakitkan. (Bersambung).
New York 1 September 2020
* Imam Shamsi Ali adalah Presiden Nusantara Foundation.
No comments:
Post a Comment