JAKARTA (DutaJatim.com) - Tim Hukum Yayasan Perguruan Tinggi 17 Agustus 1945 Jakarta, kecewa terhadap putusan Majelis Pengawas Wilayah Notaris Provinsi DKI Jakarta yang menolak permohonannya dalam perkara dugaan pelanggaran kode etik oleh notaris Otty Hari Chandra Ubayani.
Otty sebelumnya dilaporkan Tim Hukum Yayasan ke Majelis Pengawas, karena diduga memalsukan akta jual beli saham PT Graha Mahardika dengan No Akta 20, tertanggal 11 Januari 2013.
"Kami keberatan dengan keputusan Majelis Pengawas Wilayah Notaris Provinsi DKI Jakarta yang menolak permohonan pengaduan kami, di saat persidangan pembahasan sebelumnya telah kami lampirkan bukti dihadapan majelis bahwa tidak hadirnya Sdri Michelle Darsono sebagai pembeli saham karena sedang berada di Amerika Serikat (AS), sehingga tidak memungkinkan untuk memberikan tanda tangan, " kata salah seorang Anggota Tim Hukum Yayasan, Diana (28/9/2020), sesaat usai sidang di Kompleks Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM DKI Jakarta.
Menurut Diana, nanti setelah menerima putusan ini, Tim Hukum akan mengajukan banding kepada Majelis Pengawas Pusat. "Kami akan mengajukan banding kepada Majelis Pengawas Pusat dengan harapan kami bahwa Majelis Pengawas Pusat Notaris akan mempertimbangkan upaya banding kami," ujarnya.
Sementara Anggota Tim Hukum lainnya, Naomi Yuni Anggarawati, mengatakan, "Kami duga bukti-bukti yang kami lampirkan tidak menjadi bahan pertimbangkan putusan majelis pengawas wilayah dan akta ini diduga untuk penipuan dan penggelapan oleh terpidana Tedja Widjaja, sesuai petikan putusan Mahkamah Agung Nomor 15K/Pid/2020 tertanggal 9 April 2020.
Akta yang diduga palsu tersebut bahkan telah dikonfirmasi dan dinyatakan langsung terpidana Tedja Widjaja dkk, baik dalam persidangan pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara 1087/Pid.B/2018/PN.JKT.UTR yang sudah berkekuatan hukum tetap sesuai dengan keputusan MA 15K/Pid/2020 tertanggal 9 April 2020 maupun pada berita acara pemeriksaan (BAP) di Polda Metro Jaya.
Lokasi tanah yang aktanya diduga dipalsukan, berada di samping Universitas 17 Agustus 1945, Sunter, Jakarta. "Akta itu seolah-olah terjadi jual-beli antara Rudyono Darsono (pelapor) dan anaknya sendiri yaitu Michele Darsono," kata saksi fakta, Bambang Prabowo.
Tim Hukum dan penyidik Polda disebut telah mendapati bukti tidak adanya tandatangan Michele Darsono dan adanya coretan-coretan yang seolah-olah dari Rudyono Darsono.
Menurut Diana, Michele ketika itu sedang berada di Amerika Serikat (AS) sehingga tak memungkinkan untuk memberikan tandatangan.
Hal itu dibuktikan dengan paspor dan termasuk keterangan yang menyebut Michele sedang berada di AS guna mengenyam pendidikan. "Sudah dibuktikan ke majelis yang menyidangkan. Bukti sudah dikasih semua dan tidak ada tandatangannya ibu Michelle " ungkap Diana.
Dan secara tegas, Ibu Michelle Darsono menyatakan dalam kesaksiannya, bahwa beliau tidak pernah membeli saham Yayasan, apalagi membayarnya.
Karena saat transaksi itu terjadi, Michelle Darsono tidak berada di Indonesia.
Maka dipertanyakan, bagaimana akta yang tidak terdaftar pada Ditjen AHU kemenkumham itu bisa terbit, sedangkan pembeli yang disebutkan, menyatakan tidak pernah membeli objek yang disebutkan dalam akta tersebut, bahkan tidak pernah melihat atau mengetahui adanya akta tersebut apalagi memilikinya.
Di sisi lain, Bambang Prabowo, yang juga merupakan karyawan Tedja Widjaja, mengatakan bahwa dalam pembuatan Akta Nomor 20, notaris Otty tersebut, ia pernah diminta Tedja widjaja untuk memalsukan tandatangan Rudyono Darsono dan Michelle Darsono. Namun permintaan tersebut ditolak Bambang.
Sementara, Ketua Dewan Pembina Yayasan Perguruan Tinggi 17 Agustus 1945 Jakarta, Rudyono Darsono, turut mempertanyakan putusan Majelis Pengawas Notaris. Keputusan tersebut dinilainya merupakan preseden buruk.
"Kalau etika dan dugaan pemalsuan akta oleh seorang notaris, yang dilaporkan di anggap bukan ranahnya pengawas notaris, lalu ini menjadi ranahnya siapa? Ini menjadi sangat berbahaya untuk masa depan hukum Indonesia," kata Rudyono.
Keputusan ini, kata Rudyono, diyakini akan semakin memperkuat posisi mafia tanah dengan menggunakan aktaakta palsu dari oknum notaris nakal. Karena keputusan tersebut dinilainya sebagai cerminan bagaimana hukum dan birokrasi diduga begitu mudah dipermainkan dan diperdagangkan
"Dari pertama persidangan kami sudah sangat merasakan dugaan permainan hukum oleh beberapa hakim pengawas yang memimpin sidang. Sangat terlihat, mereka selalu mencari cara, celah hukum dengan pertanyaan yang tidak masuk akal seorang ahli hukum, sangat terkesan majelis pengawas justru seolah tidak mengerti proses kenotariatan" tuturnya.
"Sangat terlihat pembelaan untuk menyelamatkan oknum notaris yang kami laporkan, namun ternyata tidak mampu menemukan celah hukum positifnya untuk mementahkan laporan kami, karena alat-alat bukti dan saksi sangat kuat serta sangat lengkap dan semua bukti-bukti asli. Maka satu-satunya jalan buat menolak laporan kami adalah dengan alasan, bukan ranah mereka," imbuh Rudyono.
Kendati tak puas, pihaknya tetap akan mengikuti proses hukum lanjutan. Pihak Tim Hukum Yayasan akan mengajukan banding, setelah putusan diterima. Rudyono mengaku akan terus mencari keadilan dalam perkara ini, termasuk menempuh apabila ditemukan unsur pidana disamping melapor ke institusi yang berwenang lainnya.
"Ini akan kita jadikan sebagai dasar gugatan kepada Mahkamah Konstitusi, tentang dugaan pengawas notaris justru menjadi tempat berlindungnya para oknum notaris nakal," tutur Rudyono.
"Itu kewajiban kami sebagai akademisi dan dunia pendidikan tinggi yang menjunjung tinggi moralitas. Prinsip kita sebagai umat beragama, janganlah kita memberi makan keluarga dengan uang haram," lanjutnya. (hud)
No comments:
Post a Comment